Putusan MA Bisa Mengundang Kembali Polemik Hukum Hasil Pilpres

Selasa, 07 Juli 2020 – 20:50 WIB
Pedagang bingkai di Jalan Raya Pasar Minggu memperlihatkan foto Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Foto: ANTARA/Laily Rahmawaty

jpnn.com, JAKARTA - Pada 3 Juli 2020 lalu, Mahkamah Agung meng-upload hasil putusannya yang bisa menimbulkan kembali polemik tentang hasil pemilu 2019 lalu. Putusan Mahkamah Agung No 44 P/HUM/2019 tertanggal 28 oktober 2019 itu berpotensi menimbulkan polemik mengenai kesahan hasil Pilpres 2019.

Intinya putusan itu menganggap Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

BACA JUGA: Respons Mentan Syahrul Saat Kalung Antivirus Corona Jadi Polemik

Pangkal persoalannya mengenai pasangan capres-cawapres yang hanya dua orang. Peraturan KPU mengisi celah ruang kosong yang tidak diatur oleh UU Pemilu. Sehingga tanpa perlu ada putaran kedua dan tanpa perlu mempertimbangkan syarat kemenangan suara dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia, KPU menetapkan pasangan capres-cawapres dengan suara terbanyak sebagai pemenangnya. Namun aturan yang dibuat KPU ini dibatalkan MA.

Pembatalan putusan itu, menurut Dosen Senior Fakultas Hukum Monash University Australia, Nadirsyah Hosen, punya dua implikasi. Pertama, Apakah penetapan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019 menjadi batal demi hukum.

BACA JUGA: Cerita di Balik Penemuan Kalung Antivirus Corona

"Menurut saya tidak. Putusan MA tertanggal 28 Oktober ini tidak berlaku surut (non-retroaktif). Keputusan KPU menetapkan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang itu tanggal 30 Juni 2019. Empat bulan sebelum adanya putusan MA. Karena itu Jokowi-Ma’ruf Amin tetap sah sebagai Presiden -Wapres periode 2019-2024," kata Nadirsyah dalam rilisnya, Selasa (7/7).

Kedua, jikalau putusan MA hanya bersifat proaktif dan hanya berlaku untuk ke depan, maka implikasinya adalah UU No 7 Tahun 2017 harus diamandemen, untuk mengantisipasi hanya ada dua pasangan calon di Pilpres 2024 seperti yang terjadi pada Pilpres 20014 dan 2019.

BACA JUGA: Kalung Antivirus Corona Jadi Ejekan, Fahri Hamzah Bela Kementan

Repotnya, kata dia, asal 416 UU No 7 Tahun 2017 itu merupakan norma yang disadur dari Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Artinya, ada kemungkinan UU Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi, selama Pasal 6A UUD 1945 tidak diamandemen untuk mengakomodir Pilpres hanya diikuti 2 pasangan.

Tapi celah itu sudah tertutup sebenarnya dengan adanya dua putusan MK masing-masing No. 50/PUU-XII/2014 dan No. 39/PUU-XVII/2019.

"Ini artinya putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU itu bukan saja tidak logis tetapi juga berbeda dengan penafsiran MK di kedua putusannya tahun 2014 dan 2019," ujarnya. (m12/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Fajar W Hermawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler