JAKARTA – Kalangan pengamat hukum tata negara memertanyakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi pasal 18-19 Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012 tentang tanggungjawab negara terhadap para korban lumpur Lapindo di luar peta terdampak sesuai Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2007. Putusan MK itu dinilai janggal, karena dianggap negara diharuskan menalangi kewajiban Lapindo.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Airlangga Surabaya, Emanuel Sudjatmiko mengatakan, keputusan MK itu hanya akan menguntungkan pihak yang seharusnya bertanggungjawab penuh akan kerugian masyarakat. “Jelas keputusan ini kurang arif. Bagaimana bisa pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi terhadap masyarakat di luar peta berdampak,” kata Emanuel saat dihubungi wartawan, Senin (7/1).
Ia menjelaskan, luasan peta berdampak sesuai Perpres tidak akan berubah sementara luasan wilayah di luar peta berdampak akan terus bertambah karena semburan lumpur Lapindo yang belum bisa dihentikan hingga kini. “Sehingga otomatis luas wilayah di luar peta berdampak akan semakin besar dan tanggungjawab pemerintah akan semakin besar pula,” katanya.
Karenanya Emanuel menilai MK bertindak janggal karena menguji UU APBN-P 2012 tidak dengan Undang-undang Dasar, melainkan dengan Perpres. “Yang aneh itu adalah Perpres ini kenapa membatasi peta terdampak dan tidak terdampak? Memangnya yang di luar peta bukannya korban Lapindo?” jelasnya.
Karena anehnya putusan itu, kata Emanuel, tidak ada salahnya juga KPK melakukan penyelidikan. ”Saya tidak mau berburuk sangka. Tapi ini memang tidak wajar. Kalau KPK mau menyelidiki maka saya rasa bisa saja hal itu dilakukan terhadap hakim-hakim ini,” kata Emanuel.
Sedangkan pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf mengatakan bahwa negara memang harus melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya adalah semua korban lumpur Lapindo tanpa dibatasi oleh peta terdampak atau tidak terdampak. Namun dalam kasus Lapindo, kata dia, negara baru bisa dimintai tanggungjawabnya setelah Lapindo dan pemiliknya membayar semua ganti rugi dengan seluruh aset yang mereka miliki.
“Jadi sebelum negara bertanggungjawab, Lapindo harus membayar seluruh kerugian masyarakat dengan seluruh harta yang dimilikinya, baru kalau hartanya sudah tidak ada lagi, negara yang mengambil tanggungjawab tersebut,” kata dia.
Direktur Constitutional and Elektoral Reform Centre Refly Harun menilai aneh jika tanggungjawab Lapindo dibatasi pada peta terdampak saja sementara yang tidak terdampak menjadi tanggungjawab pemerintah. Seharusnya, kata dia, semua warga masyarakat yang menjadi korban baik yang masuk di peta terdampak dan tidak terdampak menjadi tanggungjawab Lapindo. Sebab, yang berada di luar wilayah peta terdampak juga mengalami kerugian akibat semburan lumpur Lapindo.
”Mereka kan juga korban, kalau Lapindo tidak mengebor sembarangan kan mereka tidak akan jadi korban,” kata Refli.(boy/jpnn)
Pakar hukum tata negara dari Universitas Airlangga Surabaya, Emanuel Sudjatmiko mengatakan, keputusan MK itu hanya akan menguntungkan pihak yang seharusnya bertanggungjawab penuh akan kerugian masyarakat. “Jelas keputusan ini kurang arif. Bagaimana bisa pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi terhadap masyarakat di luar peta berdampak,” kata Emanuel saat dihubungi wartawan, Senin (7/1).
Ia menjelaskan, luasan peta berdampak sesuai Perpres tidak akan berubah sementara luasan wilayah di luar peta berdampak akan terus bertambah karena semburan lumpur Lapindo yang belum bisa dihentikan hingga kini. “Sehingga otomatis luas wilayah di luar peta berdampak akan semakin besar dan tanggungjawab pemerintah akan semakin besar pula,” katanya.
Karenanya Emanuel menilai MK bertindak janggal karena menguji UU APBN-P 2012 tidak dengan Undang-undang Dasar, melainkan dengan Perpres. “Yang aneh itu adalah Perpres ini kenapa membatasi peta terdampak dan tidak terdampak? Memangnya yang di luar peta bukannya korban Lapindo?” jelasnya.
Karena anehnya putusan itu, kata Emanuel, tidak ada salahnya juga KPK melakukan penyelidikan. ”Saya tidak mau berburuk sangka. Tapi ini memang tidak wajar. Kalau KPK mau menyelidiki maka saya rasa bisa saja hal itu dilakukan terhadap hakim-hakim ini,” kata Emanuel.
Sedangkan pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf mengatakan bahwa negara memang harus melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya adalah semua korban lumpur Lapindo tanpa dibatasi oleh peta terdampak atau tidak terdampak. Namun dalam kasus Lapindo, kata dia, negara baru bisa dimintai tanggungjawabnya setelah Lapindo dan pemiliknya membayar semua ganti rugi dengan seluruh aset yang mereka miliki.
“Jadi sebelum negara bertanggungjawab, Lapindo harus membayar seluruh kerugian masyarakat dengan seluruh harta yang dimilikinya, baru kalau hartanya sudah tidak ada lagi, negara yang mengambil tanggungjawab tersebut,” kata dia.
Direktur Constitutional and Elektoral Reform Centre Refly Harun menilai aneh jika tanggungjawab Lapindo dibatasi pada peta terdampak saja sementara yang tidak terdampak menjadi tanggungjawab pemerintah. Seharusnya, kata dia, semua warga masyarakat yang menjadi korban baik yang masuk di peta terdampak dan tidak terdampak menjadi tanggungjawab Lapindo. Sebab, yang berada di luar wilayah peta terdampak juga mengalami kerugian akibat semburan lumpur Lapindo.
”Mereka kan juga korban, kalau Lapindo tidak mengebor sembarangan kan mereka tidak akan jadi korban,” kata Refli.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Uang Kuburan Dikorupsi, Kena Setahun Bui
Redaktur : Tim Redaksi