Putusan PN Ende Hingga MA Dilaporkan ke Bawas dan KY, Ini Alasannya

Kamis, 18 Juli 2024 – 00:16 WIB
Palu hakim simbol putusan pengadilan. Foto/ilustrasi: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Jan Djou Gadi Gaa, ahli waris almarhum Gaa Lada bakal melayangkan gugatan terkait kepemilikan tanah di wilayah hukum Pengadilan Negeri (PN) Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), tahun 1973 hingga 1993 atau 20 tahun.

Ia telah menunjuk advokat senior Petrus Selestinus SH dan Vincent A Baraputra SH dari Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) sebagai kuasa hukum dalam perkara tersebut.

BACA JUGA: Kementerian ATR/BPN: Girik Bukan Bukti Kepemilikan Tanah

Sebab itu, TPDI akan meneruskan pengaduan itu ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY) dan sebagainya, Kamis (18/7/2024).

Adapun substansi pengaduan Jan Djou Gadi Gaa dkk melalui Ignatius Iriyanto kepada TPDI, kata Petrus Selestinus dalam rilisnya, Rabu (17/7/2024), adalah soal dugaan pelanggaran administrasi dan hukum acara perdata dalam pembuatan putusan-putusan perkara antara Jan Djou Gadi Gaa dkk sebagai penggugat melawan Amir Nggase dkk sebagai tergugat di PN Ende, tahun 1973 hingga 1993.

BACA JUGA: MA Perkuat Kepemilikan Tanah Tonny Permana di Salembaran Jaya

"Bermula dari gugatan perkara No.13/1973/Pdt tertanggal 20 Agustus 1973 yang diajukan Yan Djou Gadi Gaa dkk melawan Amir Nggase dkk di PN Ende, dan yang menjadi objek sengketa adalah bidang tanah Watu Mbawu seluas 20 hektare yang diklaim sebagai warisan dari alm Gaa Lada kepada keturunannya yaitu Jan Djou Gadi Gaa dkk," kata Petrus yang juga asal NTT.

Atas gugatan tertanggal 20 Agustus 1973 itu, kata Petrus, PN Ende telah memutus perkara tersebut pada 14 Januari 1974 dengan mengabulkan gugatan Jan Djou Gadi Gaa dkk dan menyatakan tanah Watu Mbawu adalah harta peninggalan alm Gaa Lada dan yang berhak adalah Jan Djou Gadi Gaa dkk, serta menghukum tergugat Amir Nggase dkk untuk mengosongkan tanah sengketa dan menyerahkan kembali kepada Jan Djou Gadi Gaa dkk.

BACA JUGA: Klaim Memiliki Mandat, Penggarap Gugat Kepemilikan Tanah di Sawangan

Atas putusan PN Ende tersebut, Amir Nggase dkk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Nusa Tenggara di Denpasar, Bali, dengan No 239/PTD/1976/Pdt dan pada 30 September 1976, diputus majelis hakim dengan amar menerima permohonan banding Amir Nggase dkk, membatalkan putusan PN Ende No 28/1967/Pdt yang dimohonkan banding.

"Putusan banding dalam perkara No 239/PTD/1976/Pdt tersebut menciptakan malapetaka besar, karena hakim banding justru membatalkan Putusan PN Ende No 28/1967/ Pdt yang tidak dikenal, tidak dimohonkan banding dan bukan objek pemeriksaan banding pada PT Nusa Tenggara di Denpasar dalam Perkara No 239/ PTD/1976/Pdt," cetus Petrus.

Selain itu, kata Petrus, di dalam putusan banding No 239/PTD/1976 hakim menyatakan para penggugat terbanding dengan surat gugatannya tertanggal 20 Juni 1973, padahal surat gugatan Jan Djou Gadi Gaa tanggal 20 Agustus 1973.

"Ini juga masalah besar, karena yang dinilai hakim banding adalah gugatan yang bukan diajukan Jan Djou Gadi Gaa tanggal 20 Agustus 1973," paparnya.

Putusan aneh No 28/1976/Pdt, lanjut Petrus, tidak pernah didalilkan di dalam memori banding, tidak ada sangkut-pautnya dengan putusan PN Ende No 13/1973/Pdt yang dimohonkan banding, tetapi muncul dalam amar putusan yang berbunyi:

"Membatalkan putusan PN Ende No 28/1967/Pdt antara kedua belah pihak yang dimohonkan dalam pemeriksaan banding", dan gugatan yang dipertimbangan adalah gugatan tanggal 20 Agustus 1973 yang tidak pernah diajukan dan tidak ada sangkut-pautnya dengan gugatan Jan Djou Gadi Gaa dkk.

"Kesalahan PN Ende adalah putusan PT Nusa Tenggara No 239/ PTD/1976/Pdt, pemberitahuan putusannya dikirim kepada pihak Jan Djou Gadi Gaa dkk dua kali, yaitu, pertama, pada 15 Mei 1977, dimohon kasasi pada 30 Mei 1977 menjadi perkara kasasi No 1720 K/Sip/1979, diputus 30 Juni 1980, dan kedua dikirim lagi pada 28 Oktober 1980, dimohonkan kasasi lagi 8 Desember 1980, menjadi perkara kasasi No 1310 K/Sip/1981, diputus 31 Oktober 1981," urainya.

Artinya, tegas Petrus, pada saat kasasi yang kedua No.1310 K/Sip/1981 diajukan ke MA, ternyata perkara No 1720 K/Sip/1979 sudah diputus MA yaitu tanggal 30 Juni 1980.

"Putusan PT Nusa Tenggara No 239/PTD/1976 mengandung cacat hukum formil dan materiil, karena pada butir 2 muncul amar putusan, "Membatalkan putusan PN Ende No 28/1967/Pdt antara kedua belah pihak yang dimohonkan", kemudian dipersoalkan di tingkat kasasi oleh Jan Djou Gadi Gaa dkk bahwa terdapat 3 versi putusan PT Nusa Tenggara No 239/PTD/1976, namun hal itu tidak digubris oleh Mahkamah Agung (MA)," tambahnya.


"Timbul pertanyaan, lanjut Petrus, mengapa putusan yang tidak menghasilkan keadilan dan kepastian hukum bagi kedua belah pihak diulang kembali dan diakomodir oleh hakim kasasi MA dengan membiarkan maladministrasi dan anomali putusan PT Nusa Tenggara No 239/PTD/1976/Pdt dalam dua kali kasasi, yaitu No 1720 K/Sip/1979 tanggal 30 Juni 1980 dan No 1310 K/Sip/1981 tanggal 31 Oktober 1981?" tanya Petrus.

"Ini jelas wujud peradilan sesat oleh hakim-hakim sesat pada waktu itu, di mana sengketa-sengketa tanah belum banyak seperti sekarang ini, tetapi permainan calo dan mafia peradilan kampung sudah merajalela di semua tingkat peradilan," sambungnya.

Putusan MA No 1720 K/Sip/1979, masih kata Petrus, amarnya menyatakan permohonan kasasi dari penggugat untuk kasasi Jan Djou Gadi Gaa dkk tidak diterima karena memori kasasi yang diajukan telah lewat waktu.

"Meskipun putusan kasasi MA menyatakan permohonan kasasinya tidak diterima, namun Juan Djou Gadi Gaa tidak menyerah begitu saja, sehingga mengajukan kasasi untuk kedua kalinya atas putusan PT Nusan Tenggara No 239/PTD/1976/Pdt, tetapi MA dalam putusannya menolak permohonan kasasi Jan Djou Gadi Gaa, sehingga putusan MA a quo menjadi kontroversial dan melahirkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum," urainya.

Sementara itu, masih tentang objek sengketa yang sama, kata Petrus lagi, para pihak yang sama di PN yang sama atau sama tingkatnya, dengan dalil yang sama, muncul kembali gugatan perdata dari pihak Amir Nggase dkk melawan Jan Djou Gadi Gaa dkk, dan mengklaim kepemilikan atas 50 hektar tanah Watu Mbawu dalam perkara No 16/Pdt/G/1989/PN.END, diputus tanggal 17 Juli 1989, kemudian diajukan banding ke PT Kupang No 117/PDT/1989/PTK, diputus tanggal 4 November 1989, hingga kasasi ke MA No 2367 K/Pdt/ 1990 tanggal 21 Januari 1993, yang amar putusannya menolak gugatan Amir Nggase dkk untuk seluruhnya.

"Substansi perkara No 16/Pdt.G/1989/PN.END juncto banding No 117/PDT/1989/PTK juncto kasasi No 2637 K/Pdt/1990, justru hendak menguji kembali segala putusan gugatan, putusan banding dan putusan kasasi MA No 1720 K/Sip/1979 juncto putusan banding No 239/PTD/1976/Pdt juncto No 13/1973/Pdt tanggal 14 Januari 1974."

"Juga putusan kasasi No 1310 K/Sip/1981 tanggal 31 Oktober 1981 juncto putusan banding No 239/PTD/ 1976/Pdt tanggal 30 September 1976 juncto putusan gugatan No 13/1973/Pdt tanggal 14 Januari 1974, dan oleh MA dalam putusannya No 2367 K/Pdt/1990 tanggal 21 Januari 1993 tersebut menolak seluruh gugatan Amir Nggase dkk," tuturnya.

"Itu artinya, MA menegaskan Amir Nggase dkk tidak punya hak apa pun atas objek sengketa di atas tanah Watu Mbawu, apalagi dengan menambah luas tanah menjadi 50 hektare, sehingga kesimpulannya tanah sengketa Watu Mbawu adalah milik Jan Djou Gadi Gaa dkk hingga sekarang," ucapnya.

Yang menjadi masalah sekarang, tegas Petrus, adalah saat ini Ketua PN Ende entah atas bujuk rayu pihak ketiga atau dari pihak Amir Nggase dkk membuat tafsir sesat, memberi harapan semu bahwa Amir Nggase dkk adalah pemilik objek sengketa dengan Surat Ketua PN Ende Nob528/ PAN.PN. W26-U2/HK2.4/IV/2024 tanggal 3 April 2024 perihal Penjelasan Fasilitas Mediasi.

"Penjelasan Ketua PN Ende ini jelas suatu permainan yang jika dibiarkan akan berpotensi memicu konflik sosial secara horisontal antara para pihak. Oleh karena itu Badan Pengawasan MA harus bertindak tegas, menindak oknum-oknum PN Ende mulai dari Ketua hingga Panitera dan Juru Sita, yang saat ini patut diduga sedang bekerja sama dengan makelar kasus memancing di air keruh, sehingga berbagai putusan pengadilan sering dikacaukan dengan ulah dan kepentingan mereka," tutupnya.(ray/jpnn)


Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler