Putusan UU Pilpres Mengubah Paradigma Hakim MK

Sabtu, 25 Januari 2014 – 07:01 WIB

JAKARTA - Uji materi (judicial  review) terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres yang usai dibacakan hakim konstitusi telah merubah paradigma hakim konstitusi selama ini dalam mengambil keputusan. Pasalnya, putusan UU Pilpres tersebut trgolong unik karena tidak diberlakukan seketika, namun baru berlaku pada 2009.
      
Hal tersebut disampaikan oleh salah satu hakim konstitusi Harjono di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (24/1). "Ini jelas ada perubahan paradigma dari hakim-hakim. Kemudian ini dimungkinkan sseperti itu apalagi ini menyangkut persoalan konstitusi dalam artian tiap bagian mengenai hubungan lembaga negara," kata Harjono kepada awak media.
      
Harjono menjelaskan bahwa pada Maret 2013, sebenarnya hakim konstitusi memang telah mengambil keputusan terhadap permohonan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Sipil (AMS) untuk Pemilu Serentak. Namun, keputusan yang diambil hanya pada poin penyelenggaraan Pemilu serentak.
      
"Tapi hal-hal lain selain pemilu serentak belum diambil putusan. Tapi pengambilan putusan saat itu adalah diambil berdasarkan pendapat-pendapat hakim secara lisan," ujar Harjono.
      
Harjono juga menjelaskan, penyebab putusan UU Pilpres tersebut lama dibacakan adalah karena banyaknya agenda hakim konstitusi untuk pengucapan putusan sengketa Pilkada. Selain itu, adanya pergantian sejumlah hakim konstitusi juga dijadikan alasan atas keterlambatan tersebut.
      
"Kemudian ditambah dengan beberapa perubahan hakim. Sebelum perubahan dari Mahfud M.D. selesai, diganti oleh Akil Mochtar. Lalu Sodiki keluar digantikan Patrialis Akbar," terangnya.
      
Harjono melanjutkan, kendala pembacaan putusan UU Pilpres tersebut semakin bertambah dengan ditangkapnya mantan Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun lalu. "Kita semua membuang energi untuk mempertahankan kredibilitas MK. Jadi terpaksa tertunda," ujarnya.
      
Dia melanjutkan, pada saat Akil dicokok KPK, draf putusan UU Pilpres tersebut masih berada dalam tanggung jawabnya. "Setelah kita berdiskusi, draf yang dipegang Akil harus dipindahkan ke hakim lain. Jadi akhirnya yang bertanggung jawab adalah Pak Hamdan (saat itu sebagai Wakil Ketua MK). Saat itu, kita mulai untuk membicarakan itu," terangnya.
      
Masalah belum selesai. Permasalahan baru timbul karena hakim konstitusi saat itu tinggal lima orang setelah ditinggal Akil, Mahfud, dan Ahmad Sodiki.
      
Harjono melanjutkan bahwa majelis hakim kemudian membicarakan batas ambang bawah dan atas pencalonan presiden (presidential treshold). Karena saat itu hakim tinggal enam, maka terjadilah perbedaan pendapat hakim dimana ada hakim menyatakan Pemilu memerlukan presidential treshold.
     
"Kalau ada dua pendapat sedangkan yang memberi suara enam, kalau tiga-tiga (tiga hakim setuju tiga hakim tidak) tidak mungkin diambil putusan. Kalau mau ditambah keluar, persolannya Pak Mahfud sudah nyapres. Dua hal itu berpengaruh pada kepentingan Pak Mahfud. Kalau diminta pertimbangan, apa tidak ada persoalan interestnya," beber Harjono.
      
Dia menyatakan bahwa MK memilih untuk menghindari hal tersebut. akhirnya diputuskan, dalam menyertakan pendapat, suara Hakim konstitusi Maria Farida Indrati dianggap tidak ada karena bersikap dissenting opinion (pendapat berbeda). "Itu baru clear," kata dia.
      
Sementara itu, pemohon uji materi UU Pilpres Effendi Ghazali mengatakan bahwa terdapat beberapa bukti adanya upaya sistematis untuk melakukan pembohongan, atau mengutip dari istilah Fadjroel Rachman, sengaja menggagalkan Pemilu Serentak dilaksanakan 2014.
      
"Coba lihat bukti yang mencolok mata. Saya dan kawan-kawan mengajukan PUU 10 Januari 2013. Sidang selesai 14 Maret 2013. Pada kesimpulan yang dimasukkan pemohon jelas pada bagian akhir dituliskan, kami meminta MK memberi keputusan sebelum 9 April 2013 agar tidak mengganggu tahapan Pemilu 2014 yang sedang berlangsung," terang Effendi.
      
Efendi juga membeberkan bawha pada Putusan MK UU Pilpres kemarin tertulis bahwa keputusan diambil pada RPH tanggal 26 Maret 2013. Padahal, Ketua MK saat itu Mahfud berjanji akan membacakan keputusan di awal April 2013. "Tapi apa? Keputusan MK akhirnya dibacakan 23 Januari 2014," pungkasnya.
      
Dia juga menuturkan bahwa pembacaan putusan yang ditunda hingga 10 bulan tersebut sangat penuh dengan alasan dari MK. Beberapa alasan yang dimaksud antara lain adalah tidak bisa dilakukan 2014 karena keterbatasan waktu, masalah teknis, dan akan mengacaukan tahapan-tahapan Pemilu 2014 yg sedang berlangsung, juga butuh UU baru, dan sosialisasi.
      
Di tengah-tengah urutan kronologis tersebut, lanjutnya, ada peristiwa di mana kuasa hukum pemohon Wakil Kamal mengirim surat ke MK pada 20 Mei 2013 untuk menanyakan kapan keputusan tersebut dibacakan. "Dijawab oleh Panitera MK dengan mengutip arahan ketua MK bahwa RPH masih berjalan secara tertutup," ungkapnya.
      
Dia menyatakan bahwa surat balasan dari MK tersebut semakin menunjukkan adanya upaya menggagalkan Pemilu Serentak yang sesuai Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 secara sistematis dan berkali-kali. "Buktinya keputusan RPH yang sudah ada pada 26 Maret 2013, dalam surat MK 30 Mei 2013 dinyatakan bahwa RPH masih berjalan sehingga belum ada keputusan," bebernya.
      
Sementara itu, Mabes Polri tampak senang dengan keputusan MK menyatukan pemilu 2019 dalam satu waktu. Wakapolri Komjen Oegroseno mengatakan, penyatuan pemilu akan berdampak baik bagi sektor pengamanan. Polisi tidak perlu bekerja dua kali sehingga bisa segera berkonsentrasi lagi untuk melayani masyarakat.
      
Oegros mengatakan, Polri sudah memiliki pengalaman yang cukup melalui pemilu-pemilu sebelumnya. Jika dengan dua kali pemilu saja pihaknya sukses mengamankan, tentunya jika hanya satu kali akan lebih mudah. "Lebih enak jadi satu, pengamanan lebih efektif," ujarnya usai Salat Jumat di mabes polri kemarin.
      
Selain efektivitas pengamanan, mantan Kapolda Sumatera Utara itu juga menyinggung dampak terhadap anggaran pengamanan pemilu. Jika pemilu disatukan, otomatis biaya pengamanan akan lebih irit. Setidaknya, akan bisa berkurang cukup signifikan dari anggaran untuk dua kali pemilu.
      
Untuk itu, pihaknya akan segera membahas putusan MK tersebut dengan jajaran pejabat tinggi Polri lainnya. "Sekarang sedang kami rumuskan renstra 2015 sampai 2019. Keputusan MK baru (akan) masuk di situ," tambahnya.  
      
Di sisi lain, mantan ketua MK Mahfud MD ogah mengomentari putusan MK pembacaannya mundur jauh itu. Meskipun, Mahfud merupakan bagian dari majelis hakim konstitusi yang memutus perkara tersebut pada maret 2013. "Kok tanya saya? Saya kan bukan ketua MK," ujarnya usai membuat laporan pencemaran nama baik di Bareskrim Polri kemarin.
      
Menurut Mahfud, semua hal tentang MK sudah tidak ada kaitannya lagi dengan dirinya. Termasuk, putusan tentang Pemilu serentak itu. "Itu bukan urusan saya, itu urusan yang baca dong. Saya ndak punya pendapat," tutupnya. (dod/byu)

BACA JUGA: Banjir Rusak Logistik Pemilu

BACA ARTIKEL LAINNYA... NasDem Tolak Saksi Parpol Dibayari Negara


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler