PWI Gelar Diskusi Menuju HPN 2022, Kuliti UU Minerba Hasil Revisi

Kamis, 20 Januari 2022 – 17:38 WIB
Suasana Focus Group Discussion (FGD) sesi kedua yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 Februari mendatang berlangsung secara secara hybrid di Gedung Dewan Pers Lantai 4, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Kamis (13/1). Foto: Humas Dewan Pers

jpnn.com, JAKARTA - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menggelar diskusi kelompok terpumpun atau focus group discussion (FGD) sebagai rangkaian kegiatan menuju Hari Pers Nasional (HPN) 2022 yang diperingati di Kendari, Sulawesi Tenggara, awal Februari 2022.

Kali ini, PWI membahas isu bidang energi dan pertambangan dalam diskusi yang digelar selama tiga sesi di Jakarta, pada Rabu (19/1).

BACA JUGA: HPN 2020: Menteri Siti Nurbaya Sebut Indonesia Akan Pamer Mangrove kepada Pimpinan G20

Diskusi pada sesi pertama dan kedua mengkaji transisi energi dan perubahan iklim. Sesi terakhir fokus membahas kontroversi seputar terbitnya UU Nomor 3 Tahun 2020 yang merupakan revisi dari UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Sebanyak tujuh narasumber hadir menguliti UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba hasil revisi saat diskusi sesi ketiga.

BACA JUGA: Ahok Diisukan Jadi Kepala Otorita IKN, Anak Buah Megawati Bereaksi, Simak

Mereka mengkaji peran, kewenangan, dan hak pemerintah daerah (pemda) yang tidak lagi masuk dalam konteks penguasaan pertambangan minerba setelah tersentralisasi di pusat.

Dirjen Minerba periode 2005-2008 Simon F. Sembiring dalam forum itu mengkritisi terbitnya UU Nomor 3 Tahun 2020. Revisi aturan itu dinilai menjadi sebuah kemunduran.

BACA JUGA: Ingat Brigjen Junior? Dia Penasihat Warga Bojong Koneng dan Hadir di DPR, Lihat!

”Tidak mungkin pengelolaan sumber daya alam tambang dilakukan semua oleh pemerintah pusat. Itu omong kosong,” ucapnya.

Simon kemudian menyebut setidaknya ada delapan pasal terkait kewenangan dalam UU Nomor Tahun 2020 yang rancu.

Pasal 6 Ayat 1(f) menyatakan pemerintah pusat berwenang menetapkan wilayah pertambangan setelah ditentukan oleh pemerintah daerah provinsi dan berkonsultasi dengan DPR RI.

Sementara itu, Pasal 6 Ayat 1(t) menyinggung kewajiban meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dalam menyelenggarakan pengelolaan usaha pertambangan.

Dia menyebut bunyi ayat 1 sub f dan sub t menunjukkan ada kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola usaha pertambangan yang telah dihapus pada Pasal 7 UU Nomor 4 Tahun 2009.

"Hal itu menunjukkan, UU Nomor 3 Tahun 2020 ini tidak konsisten,” kata Simon.

Kerancuan juga terdapat pada Pasal 8A, yang berbunyi (1) "Menteri menetapkan rencana pengelolaan mineral dan batubara nasional secara sistematis, terpadu, terarah, menyeluruh, transparan, dan akuntabel".

Kemudian ayat (3) berbunyi "Rencana pengelolaan mineral dan batubara nasional sebagaimana disebut pada ayat (1) harus disesuaikan dengan: Rencana pembangunan nasional, dan e. Rencana pembangunan daerah".

”Hal itu menunjukkan ada ketergantungan pemerintah pusat (menteri) kepada pemerintah daerah,” ujar Simon, seraya mengajak para pengambil keputusan untuk berpikir lebih jernih.

Simon selanjutnya menyinggung Pasal 4 dan Pasal 35 UU Minerba. Beleid aturan itu menyatakan semua perizinan usaha pertambangan berada di pemerintah pusat.

”Saya menyarankan agar Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia mengkaji secara komprehensif UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020," ungkap dia.

Pakar hukum Universitas Hasanuddin Makassar Abrar Saleng mengatakan UU Minerba yang baru membuat pemda menjadi apatis pada kelestarian lingkungan.

Dia mencontohkan, saat pengelolaan tambang mengancam lingkungan, bukan mustahil pemda akan bersikap tak peduli.

”Itu bukan salah mereka. Mereka tidak memberi izin, tidak saling mengenal, lalu berharap ikut bertanggung jawab pada lingkungan di daerahnya? Sulit terjadi,” ujar Abrar.

Abrar mengingatkan bahwa sumber daya alam berupa tambang berlokasi di daerah. Semestinya, masyarakat yang dekat dengan SDA tambang harus lebih awal sejahtera.

Masyarakat daerah juga harus sejahtera ketimbang hanya sebagai penerima dampak negatif dari usaha pertambangan.

”Selain itu, prioritas penggunaan tenaga kerja lokal harus menjadi regulasi, bukan sekadar imbauan. Seharusnya, pemerintah daerah menolak TKA yang akan bekerja di usaha pertambangan,” pungkas Abrar.

Selain Simon dan Abrar, lima narasumber lain yang ikut berbagi pendapat dalam diskusi sesi ketiga ialah mantan Menteri Pertambangan Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Umum Asosiasi Tambang Batuan Indonesia (ATBI) Probo Yuniar.

Ada pula Ketua Umum Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Gatot Sugiharto, pakar hukum pertambangan Universitas Indonesia Tri Hayati, dan pakar hukum Universitas Tarumanegara Ahmad Redi. (ast/fat/jpnn)


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler