Qatar dan Perang Peradaban

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 14 Desember 2022 – 20:48 WIB
Stadion Al Bayt, tempat laga pembuka Piala Dunia 2022 digelar. Foto: qatar2022

jpnn.com - Sepak bola bukan sekadar olahraga.

Rumitnya globalisasi dunia bisa dijelaskan melalui sepak bola, dan sengkarutnya persaingan peradaban juga bisa tergambarkan melalui sepak bola.

BACA JUGA: Piala Dunia 2022: 2 Bintang Inggris Bawa Oleh-Oleh Tak Biasa dari Qatar

Itulah yang terlihat pada Piala Dunia di Qatar tahun ini. Fenomena globalisasi dan perang peradaban terhampar pada perhelatan sepak bola dunia terbesar ini.

Franklin Foer menulis  buku "How Soccer Explain The World: The Unlikely Theory Of Globalization" (2004).

BACA JUGA: Bela Qatar, ILO Bilang Begini soal Kematian Pekerja Piala Dunia 2022

Dia mengungkap bagaimana sepak bola sudah menjadi industri tempat persaingan dan peperangan bisnis, politik, dan bahkan agama.

Foer mengungkap rivalitas di luar nalar yang tercipta antara dua tim Skotlandia, Glasgow Celtic dan Rangers.

BACA JUGA: Tiket Piala Dunia Qatar Dijual di Pasar Gelap, Harganya Jadi Edan-Edanan

Pertandingan "Old Firm Derby" antara kedua tim selalu mencekam karema ancaman kekerasan hooligan garis keras kedua tim.

Bukan cuma adu kuat di atas lapangan, Celtic dan Rangers merupakan representasi konflik sektarian berkepanjangan yang banyak memakan korban.

Celtic mewakili minoritas Katolik, sedangkan Rangers menjadi perpanjangan tangan kaum Protestan yang menjadi agama resmi negara.

Di Italia,  klub AC Milan menjadi contoh bagaimana Silvio Berlusconi--dibantu dengan jejaring media--mampu memanfaatkan kekuatan sepak bola untuk menaikkan elektabilitas dan menjadikannya perdana menteri melalui partai ‘’Forza Italia’’.

Awalnya Forza Italia adalah nama kumpulan suporter AC Milan, lalu berubah menjadi nama partai politik.

Anda bisa membayangkan di Indonesia Bonek ikut pemilu dengan nama ‘’Partai Bonek’’.

Gerakan separatisme untuk memisahkan diri menjadi negara merdeka tergambang dalam kompetisi sepak bola Spanyol.

Barcelona mewakili gerakan wilayah Catalunia untuk memisahkan diri menjadi negara merdeka.

Real Madrid adalah representasi pemerintah pusat yang dengan sepenuh daya ingin meredam gerakan pemisahan itu.

Konflik itu tergambar dalam setiap kali pertandingan El Clasico.

Zionisme dan gerakan anti-semitisme juga mewarnai sepak bola di kompetisi Eropa.

Ajax Amsterdam adalah klub yang didirikan oleh komunitas Yahudi Belanda, demikian pula Tottenham Hotspur adalah klub orang-orang Yahudi di London.

Piala Dunia Qatar kali ini adalah panggung perang peradaban.

Samuel Huntington mengungkapkan tesisnya mengenai Perang Peradaban dalam buku ‘’The Clash of Civilization; and the Remaking of World Order’’ (1993).

Penyulut perang di masa depan, kata Huntington, adalah benturan peradaban, terutama antara Barat yang Nasrani melawan Timur yang Islam.

Peradaban lain yang berpotensi saling berbenturan adalah budaya Konfusianisme di Asia dan Kristen Ortodoks di Eropa Timur dan Rusia.

Qatar adalah representasi peradaban Islam. 

Negeri kecil itu mencatat rekor sebagai negara Timur Tengah pertama yang menjadi penyelenggara piala dunia.

Dan yang tak kalah penting, Qatar adalah negara Islam pertama yang menjadi tuan rumah Piala Dunia.

Turnamen di Qatar ini tercatat sebagai perhelatan yang paling kontroversial, terutama karena isu politik mendominasi wacana.

Sejak awal ada serangan terstruktur terhadap Qatar sebagai tuan rumah.

Media-media Barat lebih banyak memberitakan isu-isu hak asasi manusia dan suap ketimbang memberitakan persiapan teknis Qatar sebagai tuan rumah. 

Isu lain yang menonjol adalah LGBTQ (lesbian, gay, bisexual, transgender, queer).

Media Barat menyoroti Qatar yang dianggap represif terhadap kelompok gay dan lesbian.

Sebagai negara Islam Qatar tegas mengharamkan LGBTQ dan tidak menoleransi kampanye untuk medukungnya.

Qatar melarang pemakaian ban kapten pelangi yang menunjukkan dukungan terhadap LGBTQ.

Timnas Jerman menjadi sorotan karena aksi tutup mulut menjelang pertandingan melawan Jepang.

Jerman kalah 1-2, dan publik melampiaskan kekesalan dengan menuduh Jerman lebih sibuk bermain politik ketimbang bermain bola.

Jerman menjadi tim paling vokal dalam mendukung hak-hak LGBTQ.

Jerman kemudian secara tragis gagal lolos ke babak 16 besar, setelah Jepang memastikan kemenangan sensasional atas Spanyol dengan skor 2-1.

Kemenangan Jepang atas Jerman dan Spanyol adalah kemenangan peradaban Asia Timur vs peradaban Barat.

Arab Saudi membuat kejutan dengan mengalahkan Argentina yang diperkuat pemain GOAT (greatest of all time) Lionel Messi.

Meskipun Arab Saudi gagal lolos ke babak 16 besar, tapi kemenangan melawan Argentina adalah sebuah kemenangan peradaban Timur Tengah yang Islam melawan Amerika Latin yang Katolik.

Di babak 16 besar reperesentasi peradaban Islam diwakili oleh Maroko yang menjadi juara Grup F mengungguli dua wakil Barat, Belgia dan Kanada, serta Kroasia yang menjadi wakil Slavic.

Maroko menjadi juara grup dan Kroasia menjadi runner up di bawah Maroko.

Amerika lolos ke babak 16 besar dengan mengalahkan Iran sebagai musuh bebuyutannya.

Presiden Joe Biden pun sangat kegirangan oleh kemenangan ini.

Selama ini, perang Amerika vs Iran bukan sekadar perang militer, tetapi perang ideologi dan peradaban.

Orang boleh meragukan tesis perang peradaban Huntington. Akan tetapi, Piala Dunia kali ini menjadi bukti bahwa perang antarperadaban memang ada. (***)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler