Rachel High, warga Australia yang tinggal di Adelaide adalah salah satu dari ribuan mahasiswa di Australia yang merayakan kelulusan tahun ini.
Namun, perjalanan studinya di universitas cukup unik.
BACA JUGA: Mendaur Ulang Ampas Kopi Menjadi Sepatu Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan
Flinders University di Adelaide, tempat Rachel kuliah, yakin jika ia adalah orang pertama yang hidup dengan 'down syndrome' yang lulus dengan gelar universitas di Australia.
"Itu membuat saya merasa luar biasa," kata Rachel, sambil merenungkan 10 tahun kerja kerasnya.
BACA JUGA: Petani Australia Masih Kekurangan Pekerjaan Karena Belum Berlakunya Visa Pertanian
"[Yang terbaik adalah] kemampuan saya untuk benar-benar belajar dan benar-benar mendalami saat melakukan penelitian."
"Saya tumbuh dewasa di masa-masa kuliah, kemudian berpikir inilah jalan saya."
BACA JUGA: Omicron Pecahkan Rekor Harian, Australia Tetap Pilih Ekonomi di Atas Kesehatan
"[Universitas] memperluas pemikiran kita, dan memperluas perspektif saya di seni teater dan bidang pertunjukan.
"Pengalaman ini benar-benar membuat saya berkembang." Mengalami isolasi sosial
Lebih dari sepuluh tahun lalu, Rachel bergabung dengan program bernama 'Up The Hill' untuk mengambil kursus.
Kemudian perempuan berusia 44 tahun itu memperoleh angka yang cukup untuk kuliah di program Bachelor of Arts, setara dengan S1. Ia mengambil jurusan drama dan studi film.
Sekarang, dengan ijazah di tangannya, ia mengaku sangat senang dan bangga karena berhasil melalui "perjalanan panjang".
Tapi perjalanannya tidaklah mudah, karena ada beberapa momen yang membuatnya nyaris menyerah di awal masa studinya.
"Terus terang, saya gugup dan sedikit takut karena saya tidak tahu apa yang diharapkan dari universitas," katanya.
"Ada satu orang, sebut saja inisialnya, 'H', yang tidak ingin saya berada di kelompoknya."
"Itu adalah bagian terburuk dan saya merasa sangat sedih. Saya berpikir: 'mengapa saya di sini?'"
Ibu Rachel, Miriam High, mengatakan isolasi sosial yang dialami anaknya sempat jadi penghalang utama di awal masa kuliah.
"Tidak ada mentor, tidak ada yang menemuinya di gerbang kampus dan membawanya ke ruang kelas, tidak ada yang berbagi pengalaman dengannya … dan itu menyebabkan isolasi yang luar biasa, sehingga awalnya dia tidak ingin melanjutkan studi," kata Miriam.
"Dia merasa sudah cukup [dan] berkata, 'saya tidak suka di sana, saya sendirian, tidak ada yang berbicara dengan saya'".
"Bukan pembelajaran yang menjadi masalah, tapi isolasi yang menjadi masalah."
"Itu karena penyandang disabilitas intelektual tidak kuliah dan [universitas] tidak dibentuk untuk mendukung mereka." 'Banyak air mata' saat kuliah
Miriam dan suaminya, John, kemudian mencari"teman" berbayar yang bisa membantu Rachel. Sementara Flinders University menawarkan mentor di tengah-tengah masa studi Rachel.
Rachel mengatakan berhubungan dengan orang lain dan "bertemu orang baru" menjadi salah satu yang ia sukai dalam perkuliahan.
"Saya mendapat beberapa teman melalui mentor, teman-teman mereka juga," katanya.
"Saya seorang peneliti, inilah yang membuat saya terus maju, dan saya mencari teman dengan cara saya sendiri."
Miriam mengatakan pengalaman kuliah putrinya sama seperti "mahasiswa lain", yakni "mengalami banyak hari buruk dan banyak air mata".
"Tapi ia bertekad dan ia berhasil melakukan banyak hal," kata Miriam.
"Kami menjadi bagian dari kelompok belajarnya, jadi kami membawa pulang informasi, dan membantunya mengembangkannya serta menemukan hal-hal relevan yang dia butuhkan."
"Kami juga terlibat dalam proses menerjemahkan [bahasa akademis], memahaminya, hingga kemudian dia dapat mengerjakan tugasnya." Universitas diminta tingkatkan akses
Peneliti keragaman dan inklusi di Australia, Sally Robinson adalah dosen pembimbing penelitian akhir Rachel yang berjudul 'Graduating University as a Woman with Down Syndrome: Reflecting on My Education' (Lulus Universitas sebagai Perempuan dengan Down Syndrome: Sebuah Refleksi Pendidikan yang Saya Jalani).
Makalah ini diterbitkan dalam jurnal 'peer-review' bulan lalu.
"Ini adalah proyek yang sangat ambisius dan kami benar-benar perlu menggali lebih dalam," kata Profesor Robinson.
"Saya sangat yakin karyanya akan bermanfaat, juga makalah akademis yang sudah ditinjau oleh rekan sejawat adalah bukti empiris jika ini adalah karya akademik yang berkualitas tinggi."
Makalah ini terdiri dari tinjauan literatur yang meneliti pengalaman universitas dari orang-orang yang hidup dengan disabilitas intelektual dan autoetnografi yang membahas pengalaman Rachel sendiri.
Profesor Robinson mengatakan universitas masih harus berusaha untuk mendukung siswa penyandang disabilitas intelektual dan kognitif dalam mengakses pendidikan tinggi.
"Sudah waktunya kita melihat kembali bagaimana penyandang disabilitas intelektual bisa mendapatkan dukungan universitas, dan memikirkan harapan mereka."
Ia juga mengatakan peningkatan akses harus berfokus pada penyediaan bantuan praktis, seperti perpanjangan tenggat waktu tugas, penyesuaian kurikulum, juga pada perubahan sikap masyarakat.
"Kita harus meningkatkan harapan kita jika penyandang disabilitas intelektual bisa juga berhasil di universitas," katanya.
"Rachel menunjukkan kepada kita betapa hal tersebut mungkin terjadi." 'Mengubah dunia saya'
Rachel mengatakan dia senang ada "sesuatu yang bisa ia tunjukkan" selama satu dekade, yang ia habiskan dengan mendengar, membaca, menulis, dan belajar.
Dia berharap prestasinya akan menjadi bukti bahwa orang yang hidup dengan disabilitas intelektual dapat mengejar kesuksesan akademis, asalkan dengan dukungan yang tepat.
"Mereka harus mengabaikan stereotip," katanya.
"Orang-orang seperti saya harus mengabaikannya dan mau melakukannya [kuliah] untuk memberi mereka sebuah pengalaman hidup."
"[Belajar di Universitas] benar-benar mengubah dunia dan hidup saya."
Miriam mengaku ia merasa senang dengan keberhasilan putrinya.
"Semua menelepon kami dan berkata, 'bukankan ini adalah sebuah hasil yang luar biasa?', dan memang itu hasilnya," katanya.
"Kami benar-benar tidak percaya … ini lebih dari yang pernah kami impikan."
"Ketika Rachel lahir 44 tahun yang lalu, kami diberi tahu jika sebaiknya kami menempatkannya di rumah perawatan dan memiliki anak lagi."
Tapi mereka tidak melakukannya.
"Inilah bayi, yang saat itu harapan dari orang-orang sangat kecil untuknya, tapi sekarang ia bisa mengubah dunia untuk orang lain karena prestasinya."
Diproduksi oleh Mariah Papadopoulos dari artikel dalam bahasa Inggris yang bisa dibaca di sini.
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penularan COVID-19 di Sydney Terus Naik, Angka Kasus Harian Mencapai Lebih dari 20 Ribu