Radikalisme Tidak Selalu Negatif dalam Agama

Selasa, 06 Februari 2018 – 19:16 WIB
Dialog publik 'Radikalisme Agama dan Ancamannya Terhadap NKRI' di Jakarta, Selasa. Foto: Ist

jpnn.com, JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat Generasi Muda Mathla’ul Anwar mengatakan hampir di setiap agama selalu ada kelompok radikal.

Karena itu, menurutnya, sikap radikal tidak bisa selalu dinilai secara negatif. Pasalnya, radikal juga bisa bermakna positif.

BACA JUGA: Tunggu Dulu! Jangan Sedikit-sedikit Bilang Radikal

"Semula istilah ‘radikal’ merujuk pada karakter berpikir filsafat yang mendalam hingga menyentuh akar (radix) suatu masalah. Jika dilihat secara filsafat bisa diartikan sebagai berpikir secara radikal yang bermakna positif. Sifat berpikir filsafat yang lain adalah bebas, menyeluruh, dan obyektif," ujar Anwar dalam dialog 'Radikalisme Agama dan Ancamannya Terhadap NKRI' di Jakarta, Selasa.

Menurut Anwar, dalam khazanah pemikiran Islam, contoh berpikir radikal yang menghasilkan produk positif adalah konsep tauhid radikal (radical monotheism) yang dicetuskan Nurcholis Madjid.

BACA JUGA: Tangkal Paham Radikalisme

Ini bermuara pada sikap hidup beragama yang percaya diri dan inklusif di tengah kemajemukan.

Namun, diakuinya, lambat laun makna positif tersebut bergeser menjadi negatif.

Yaitu sikap extreme, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

"Pada konteks beragama, maka radikalisme agama bermakna sikap ekstrem dalam beragama. Sikap ekstrem ini wujud dari cara berpikir eksklusif yang mengedepankan truth claim sehingga berujung pada sikap intoleran, dan bisa dipastikan hampir di setiap agama ada kelompok kelompok radikal tersebut," imbuhnya.

Menurutnya, sikap radikalisme dalam agama bisa berupa merasa menjadi pribadi/kelompok paling benar, merasa pendapatnya paling baik, merasa agama dan keyakinannya paling menyelamatkan. Sedangkan yang lain sesat, tidak baik, dan merugi.

"Sikap ekstrem dalam beragama tersebut ada di dalam semua agama sehingga tidak bisa disematkan hanya pada satu agama saja.
Logika radikalisme agama tersebut menjadi bermasalah jika merambah ke ruang publik yang serba heterogen dengan beragam keyakinan, agama, ras dan warna kulit, suku bangsa, dan bahasa," lanjutnya.

Karena itu dia menyatakan perlu ada ‘logika penyeimbang’ yang responsif, relevan, dan kokoh di tengah kondisi radikalisme negatif semacam ini.

Harapannya heterogenitas tidak memicu munculnya konflik dan kekerasan yang bisa berujung pada runtuhnya NKRI.

"Istilah ‘radikal’ tidak semata-mata selalu berkonotasi negatif sehingga membahayakan bangsa, tetapi hanya radikalisme yang berujung pada sikap ekstrem yang mengancam terhadap keutuhan bangsa," pungkasnya. (flo/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler