Radinas Ekasaputra Adukan Dirut RSAB Harapan Kita ke Menteri Kesehatan

Sabtu, 02 Februari 2019 – 18:45 WIB
Kuasa hukum PR Radinas Ekasaputra menggelar jumpa pers. Foto: source for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - PT Radinas Ekasaputra meminta Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengambil tindakan tegas untuk Direktur Utama Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita, DD, karena dianggap menghentikan secara sepihak kontrak kerja sama.

Kuasa hukum PT Radinas Ekasaputra, Adi Warman mengatakan, pihaknya telah mengadukan Dirut RSAB ke Menkes RI melalui surat resmi Nomor: 18/AW/I/2019, tertanggal, 24 Januari 2019.

BACA JUGA: Setelah Fatwa MUI, Kemenkes Tanpa Ragu Menggunakan Vaksin MR

Dalam surat tersebut, kuasa hukum PT Radinas Ekasaputra meminta agar menkes mengambil tindakan tegas untuk menertibkan aparaturnya yang dianggap tidak patuh terhadap isi perjanjian kerja sama Nomor: HK.02.02.120, Tertanggal, 21 Juni 2013.

"Meminta kepada Menteri Kesehatan RI agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menertibkan aparatur yang arogansi dan memberi arahan guna menyelesaikan perselisihan terkait dengan pelaksanaan perjanjian kerja sama nomor: HK. 02.02.120,” ujar Adi, Jumat (1/2).

BACA JUGA: Soal Susu Kental Manis, Menkes: Jangan Bikin Penyakit Ya

Tak hanya diadukan ke Menteri Kesehatan, Dirut RSAB Harapan Kita ini juga dilaporkan ke polisi dengan laporan Nomor: LP/B/1451/2018 /BARESKRIM, tertanggal 8 November 2018.

Adi terpaksa melaporkan Dirut RSAB Harapan Kita karena diduga melakukan serangkaian perbuatan melawan hukum berupa tindak pidana penipuan dan perbuatan curang terhadap hasil pelaksanaan perjanjian kerja sama renovasi dan pengelolaan Wisma Harapan Kita, RSAB Harapan Kita.

BACA JUGA: Dua Pertiga Penderita TBC di Indonesia Belum Dilaporkan

"Kami sudah adukan ke Bareskrim Mabes Polri pada November 2018 lalu. Sementara perjanjian kerja sama bernomor 02.02.120 yang ditandatangani pada 21 Juni 2013," kata pria yang juga Wakil Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini.

Menurut Adi, perselisihan antara kliennya dengan terlapor berawal dari terbitnya surat pemberitahuan pemutusan perjanjian kerja sama pengelolaan wisma yang dilakukan oleh terlapor.

"Tindakan terlapor yang juga memasang pemberitahuan mengenai pemberhentian pengelolaan wisma terhitung 8 Februari 2019 dan berakhirnya perjanjian kerja sama merupakan perbuatan tidak terpuji dan meresahkan klien kami," ujarnya.

Kliennya merasa dirugikan karena telah menggelontorkan investasi untuk merenovasi dan penambahan fasilitas pada wisma tersebut sebesar Rp19,1 miliar akibat pemutusan kerja sama secara sepihak.

Dalam rangka mencari keadilan, pihaknya juga telah membawa masalah pemutusan kerja sama tersebut ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga peradilan yang berwenang mengadili persoalan pemutusan kerja sama.

 

Akan tetapi, proses hukum tersebut berjalan di tempat karena DD enggan membayar biaya administrasi, pemeriksaan dam arbiter. Padahal pembayaran biaya-biaya yang dibebankan kepada kedua belah pihak yang berperkara merupakan syarat mutlak pelaksanaan persidangan.

"Pasal 17 ayat 2 dari perjanjian kerja sama mewajibkan kedua belah pihak menempuh jalur arbitrase jika terjadi perselisihan dalam kerja sama itu," pungkasnya. (adk/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menkes Pastikan Orang Gila Tak Bisa Diajari Menganiaya Ulama


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler