Hari Pahlawan 2018

Rahasia Persatuan Pahlawan Kemerdekaan Indonesia (2)

Jumat, 09 November 2018 – 20:30 WIB
Jam Gadang Tempo Doeloe. Foto: Public Domain.

jpnn.com - SILA KETIGA Pancasila; Persatuan Indonesia. “Barang langka” sejak kemerdekaaan republik ini diproklamasikan. Peristiwa bersejarah di Ranah Minang pada 1947, memberi sedikit banyak pelajaran akan arti penting persatuan.
 
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
 
Bung Hatta undur diri. Sang proklamator kemerdekaan Indonesia kelelahan setelah menempuh perjalanan darat dari Sumatera Timur.
 
Diiringi Residen Mr. Sutan Mohd. Rasyid dan Komandan Divisi Kolonel Ismail Lengah, Wakil Presiden Republik Indonesia itu meninggalkan ruang rapat di rumah tamu agung, seberang Jam Gadang, Bukittinggi.
 
Sebelum beranjak pergi, Hatta terlebih dahulu berpesan betapa pentingnya persatuan rakyat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
 
Rapat kembali berlangsung. Alih-alih bersatu, orang-orang di ruang rapat itu malah berdebat.
 
Almanak bertarekh 1947. Kala itu, sebagaimana di Minangkabau, suasana psikologis massa di seluruh wilayah Republik Indonesia nyaris serupa.
 
Semua orang ingin berjuang. Semua orang berkobar semangatnya. Tetapi niat menyatukan tenaga, belumlah tumbuh. Sama sekali hanya hendak mengemukakan kekuatan sendiri dan hendak berjasa sendiri. Dan yang satu mencemburui yang lain.
 
Hamka yang duduk di barisan belakang pun beranjak keluar. Seorang reporter, berbekal tape recorder meminta  Hamka berpidato untuk disiarkan di corong Radio Bukittinggi.
 
“Setelah pidato yang kira-kira 10 menit itu,” tulis Buya Hamka dalam buku Kenang2an Hidup jilid 4, dirinya hendak pulang ke penginapan, dan kembali ke Padang Panjang. “Tetapi di muka Jam Gedang, bertemu dengan seorang teman,” sambungnya.
 
Teman itu mengajak Hamka kembali memasuki ruang pertemuan di rumah tamu agung.
 
Berdasarkan pengakuan Hamka, sebetulnya dia agak malas karena jemu mendengar orang berdebat. Tetapi, karena keras ajakan kawan itu, dia pun ikut serta.
 
Dia bercerita, “sesampai di dalam, kelihatan di ruangan luar beberapa orang perwira, di antaranya Kolonel Ismail Lengah, Kolonel Syarif Usman dan Kolonel Dahlan Jambek.”
 
Melihat kedatangan Hamka, Syarif Usman berseri-seri. Seraya bersorak, “cobalah dengar! Di dalam telah terjadi debat sengit. Masuklah ke dalam. Campurilah dan ketengahilah.”
 
Hamka masuk. Dia mendapati Datuak Batuah memimpin rapat. Dengan ilmu jiwanya yang mempuni, menurut Hamka, perdebatan tersebut dikelola pimpinan tua dari Partai Komunis Indonesia itu menjadi musyawarah yang terarah.
 
Tajuk rapat seputar bagaimana melaksanakan seruan Bung Hatta; membangun persatuan.
 
Kembali duduk di bangku belakang, Hamka mendapati beberapa pihak belum puas, dan mengeluarkan perasaan masing-masing.
 
“Beberapa pemuda menuduh Divisi Komandan melalaikan kewajibannya (saat agresi militer Belanda Juli 1947 yang mengakibatkan gugurnya Walikota Bagindo Aziz Chan--red). Tidak bertahan, sehingga beberapa tempat penting jatuh ke tangan Belanda,” tulis Hamka.
 
Ada juga yang menuduh Residen Mr. Sutan Mohd. Rasyid tidak cakap menjalankan kewajibannya.
 
Sebagai tabiat anak Minangkabau, untuk melepas kasam, keluarkan apa yang terasa. Begitulah cara Datuak Batuah selaku pimpinan mengendalikan rapat.
 
Dia bertanya, ada lagi yang mau menyampaikan uneg-uneg?
 
Hamka pun menunjuk tangan. Datuak Batuah mempersilahkan lakon Muhamadiyah yang pernah jadi muridnya semasa di Sumatera Thawalib itu bersuara.
 
Semua mata menengok ke belakang. Ke arah Hamka.
 
“Supaya lekas sampai apa yang terasa,” kata Hamka, “panggilah Residen dan Divisi Komandan itu. Dakwa berhadapan. Cuma satu yang harus diingat, dakwa haruslah cukup bukti dan tuduhan haruslah beralasan. Karena sebagai manusia, mereka yang dituduh berhak pula mempertahankan diri.”
 
Pimpinan rapat bersetuju. Yang akan menuduh dicatat namanya. Rupanya, hanya dua orang yang menunjuk tangan. Seorang pemuda Hizbullah dan seorang ulama. Pimpinan mempersilahkan Residen Mr. Mohd. Rasyid dan Kolonel Ismail Lengah masuk ruangan.
 
Pemuda Hizbullah menuduh Komandan Divisi lalai menjaga kewajiban dan tidak bertanggungjawab. Dan ulama itu memberikan nasihat supaya pemimpin-pemimpin pemerintahan mendekati rakyat dan jangan melalaikan perintah Tuhan.
 
Tuduhan pertama dijawab Ismail Lengah. Kata dia, ilmu strategi tidak selalu menghendaki pertempuran berhadap-hadapan. Kalau persenjataan musuh lengkap, seratus kali lebih lengkap dari persenjataan kita, tidaklah boleh mengorbankan tentara kita berates-ratus dengan percuma.
 
“Mundur pada setengah waktu adalah taktik perjuangan belaka. Pertempuran menghadapi musuh mempunyai simpang siur yang bukan sedikit, dan sulit, di samping semangat yang berkobar, haruslah otak dingin dan ilmu yang luas dalam soal itu. Semangat saja tanpa perhitungan, artinya ialah bunuh diri,” papar Ismail Lengah, sebagaimana dikisahkan lagi oleh Hamka.
 
Si Pemuda Hizbullah tak lagi mendebat.
 
Kemudian giliran Residen Rasyid. Dia menerima nasehat ulama itu dengan penuh takzim. Bahkan bersedia meletakkan jabatan, kalau ada yang lebih ahli.
 
Tetapi kalau hanya akan menambah kesulitan, dia tidak akan melepaskan jabatannya, walau  pun bagaimana. Sebab ini adalah tanggungjawab di hadapan Tuhan dan di hadapan tanah air.
 
Lapanglah perasaan hati masing-masing. Tidak ada debat lagi.
 
Kemudian, Hamka kembali unjuk tangan minta bicara. Setelah dipersilahkan Datuak Batuah, dia berdiri dengan wajah gembira. Panjang lebar dia memberikan pandangannya…
 
“Teranglah bahwa selama ini niat kita masih tetap satu, yaitu sama-sama menuju kemerdekaan! Cuma karena kurang bertemu, maka kita renggang! Sebab itu, mulai sekarang, pakailah filsafat saya…basuo-suo.
 
Bertemu-temulah kita sewaktu-waktu, buka yang terasa di hati. Menuduh-nuduh dari jauh dengan tidak dipertemukan sangatlah berbahaya. Dia akan memecah belah kita.”
 
Sumua orang tertawa. Suasana menjadi jernih. Filsafat basuo-suo itu lama hidup dalam ingatan urang awak. Basuo-suo dalam bahasa Indonesia artinya bersua-sua. Bertemu-temu. Berjumpa muka dan bertukar pikiran.
 
Menangkap suasana itu, pimpinan sidang pun memajukan topik rundingan. Menganjurkan menyusun tenaga dan menyatukannya, menghadapi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan Soekarno-Hatta.       
 
Anjuran itu mulai diterima dan dibicarakan dengan lancar. Tak ada bantah-bantahan lagi.
 
“Hampir semua wakil partai turut bicara. Semuanya menganjurkan persatuan. Tetapi wakil-wakil Masyumi yang dikepalai oleh Ilyas Ya’akub, kelihatan bersikap tenang saja, tidak ada yang bicara,” Hamka mengenang peristiwa bersejarah di malam panjang bulan puasa itu.
 
Akhirnya, sambung Hamka, Sutan Sulaiman wakil dari Partai Nasional Indonesia berkata, “kita sekarang minta penjelasan dari pihak Masyumi. Kalau mereka menyetujui pergabungan tenaga ini, membentuk front pertahanan rakyat, jadilah front ini. Tetapi kalau Masyumi berdiam diri tidak ada kerja yang akan menjadi.”
 
Semua muka menengok kepada wakil-wakil Masyumi, dan wakil Masyumi menengok ke wajah Ilyas Ya’akub. Akhirnya beliau minta bicara.
 
Tidak panjang. Dengan tenang, dia sampaikan, “segala usaha untuk mempertahankan tanah air dan mengerahkan rakyat kepada perjuangan, adalah kehendak Masyumi. Seruan wakil presiden wajib dilaksanakan dan Masyumi akan bekerjasama dalam segala usaha untuk itu.”
 
Orang-orang bertepuk tangan. Suasana kian jernih. Rapat pun bersepakat membentuk Front Pertahanan Nasional.
 
Untuk mengurus front tersebut, dari sayap kiri Khatib Sulaiman. Dari kaum ibu Rasuna Said. Dari Masyumi Oedin. Dari pihak pemuda Karim Halim.
 
Saat memilih ketua, Khatib Sulaiman langsung lantang bersuara, “Hamka!”.
 
“Hamka,” seru Sutan Sulaiman dari PNI. “Hamka,” sahut Datuak Batuah dari PKI. Dan seluruh unsur yang menghadiri rapat itu pun sahut menyahut menyebut nama, “Hamka!”.
 
Orang yang namanya disebut-sebut hanya terdiam. Tawa-nya pun terlihat hambar. Dalam hati dia berpikir, ini adalah politik. Sementara jauh-jauh hari sebelumnya dia telah berjanji tidak akan masuk politik. Dia pernah kecewa berat dengan politik. Semenjak itu, dia menempuh jalur jurnalistik dan menulis buku.
 
Dalam kehampaan lamunan, tiba-tiba Residen Rasyid bersorak, “Hamka! Tampil kemuka!”
 
Apa yang terjadi selanjutnya? Dan, bagaimana nasib front persatuan rakyat itu? –bersambung (wow/jpnn)

BACA JUGA: Nuansa Kepahlawanan dalam Segelas Kopi

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rahasia Persatuan Pahlawan Kemerdekaan Indonesia (1)


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler