Rakyat Dinilai Akan Muak, Jika Gibran Terus Didorong Jadi Cawapres

Sabtu, 21 Oktober 2023 – 08:30 WIB
Wali Koto Solo sekaligus kader PDI Perjuangan Gibran Rakabuming Raka. ANTARA/Aris Wasita

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) seharusnya mengakhiri masa jabatannya dengan meninggalkan warisan yang baik, setelah menjadi kepala negara dua periode.

Hal ini dikatakan Ikrar setelah Presiden Jokowi diduga ikut campur di Pilpres 2024, dengan mendorong putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal cawapres.

BACA JUGA: Ganjar Masih Pegang Omongan Gibran, Begini

"Presiden Jokowi itu sudah bagus, warisan pembangunannya sudah bagus, pendapatan perkapita sudah baik, dia membangun Papua, maka sebaiknya meninggalkan warisan yang baik dan smooth landing," kata Ikrar, Sabtu (19/10).

Ikrar menilai adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sangat bermuatan politik demi kepentingan pihak tertentu. 

BACA JUGA: Heran dengan Sikap Jokowi & Gibran, Politikus Senior: PDIP Salah Apa? Bu Mega Salah Apa?

Hal ini karena MK memutuskan individu yang sedang atau telah pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara yang terpilih melalui pemilu, dapat diajukan sebagai calon presiden atau wakil presiden, meskipun usianya belum mencapai 40 tahun.

"Politisasi MK itu kental sekali. MK sudah menjadi lembaga yang melakukan yudisialisasi terhadap hal-hal yang berbau politik. Dan jangan menyalahkan kalau orang mencurigai putusan ini ada kepentingannya Gibran," katanya.

Ikrar menilai, putusan MK itu memperlihatkan adanya sinyal untuk menjaga kepentingan kekuasaan dari penguasa, sehingga tidak memikirkan kepentingan masyarakat.

"Seperti seolah jadi raja menurunkan ke putra mahkota," ucapnya.

Karena itu, dia menorong agar Presiden Jokowi melarang Gibran supaya tidak berlaga dalam Pilpres 2024. Pasalnya sikap tersebut itu akan membuat rakyat melunak.

Akan tetapi, jika Presiden Jokowi terus mendorong Gibran, maka akan muncul kegaduhan politik di dalam negeri.

"Kalau enggak, ini bukan mustahil terjadi perlawanan rakyat. Bukan dalam artian amuk massa, tapi mereka kemungkinan akan berbalik, dari yang tadinya mendukung menjadi muak. Bisa-bisa akhir jabatannya hard landing, atau bisa jadi crash landing," tegasnya.

Ikrar mengatakan, jika ada kegaduhan itu terjadi maka Presiden Jokowi harus membayar mahal atas kerusakan yang ditimbulkan dari permainan politik melalui proses hukum.

Padahal menurut Ikrar, bangsa Indonesia sudah sepakat tidak kembali ke masa Reformasi 1998 dan menuju kematangan demokrasi pada 2039. Sebab reformasi adalah masa kelam dalam sejarah Indonesia.

"Tetapi kalau sekarang terjadi seperti ini, ini namanya dia memutarbalikkan reformasi. Padahal di 1998 kita sepakat ini adalah point of no return. Bayangkan kalau kita kembali ke titik nol dalam persoalan politik. Itu akan lama mengembalikannya dan menghabiskan banyak uang," pungkas Ikrar.(mcr8/jpnn)


Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Kenny Kurnia Putra

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler