Ramadan Bulan Kasih Sayang

Senin, 23 Juli 2012 – 09:53 WIB

RAMADAN adalah bulan kasih sayang. Tapi ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day). Bahkan sangat bertolak belakang dengan hari yang selalu diperingati muda mudi setiap 14 Februari itu. Sebab, dalam praktiknya, Valentine’s Day banyak menyimpang dari ajaran Islam. Sepasang kekasih ke luar rumah tanpa didampingi muhrim, duduk berdua-duaan di tempat sepi hingga melakukan hal yang lebih jauh dari itu. Lalu, apa yang dimaksud bulan kasih sayang itu?

Kasih sayang di sini mempunyai pengertian lebih luas. Bukan dalam pengertian sempit dan cenderung peyoratif seperti orang dimabuk asmara. Tapi, kasih sayang terhadap sesama, melampaui batas-batas agama, suku, ras, golongan, atau batas negara. Kasih Hubungannya adalah rasa kemanusiaan. Saling menolong, membantu, dan meringankan penderitaan orang lain. Dengan catatan, tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Bukan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.
 
Mengapa Ramadan disebut bulan kasih sayang? Sebab, di bulan penuh rahmat dan ampunan ini umat Islam diajarkan saling menyayangi sesama. Puasa yang disyariatkan kepada orang-orang beriman diharapkan dapat menumbuhkan kepekaan sosial. Lebih peduli terhadap sesama. Itu sebabnya, Nabi Muhammad SAW menyebut bulan Ramadan sebagai Syahr al Muwasat, berarti Bulan Kepekaaan Sosial (HR Ibn Khuzaimah).

Orang berpuasa telah merasakan rasa lapar dan dahaga, mulai terbit matahari hingga tenggelamnya sang surya. Ternyata, tidak enak sekali kalau perut kosong dan tenggorokan kering. Padahal, rasa lapar dan dahaga kita hanya sebentar. Di Indonesia, rata-rata waktu puasa kita 13-14 jam. Itu pun kita sudah menyiapkan berbagai menu serta berbagai suplemen dan vitamin di waktu sahur dan berbuka. Di sini, kita dapat merasakan penderitaan orang lain.
 
Bagaimana dengan para fakir miskin? Mereka tentu berbeda dengan masyarakat mampu. Mereka seringkali berpuasa tapi tidak mendapatkan kepastian sahur dan berbuka. Tidak ada yang disantap ketika sahur maupun berbuka. Puasa mereka terkadang juga tidak hanya di bulan suci Ramadan. Di luar Ramadan pun mengalami hal serupa.

 Dengan pengalaman empiris inilah diharapkan orang berpuasa dapat menumbuhkan kepekaan terhadap sesama, khususnya terhadap mereka yang kurang mampu, baik secara ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Lahir sifat tolong menolong (wata’awanu ala al birri wa al taqwa). Peduli pula terhadap anak yatim dan fakir miskin. Kita menjadi lebih peduli terhadap mereka, sehingga kita terhindar dari orang-orang yang disebut di dalam Alquran Surat Al-Ma’un sebagai pendusta agama.
 
Dengan demikian, puasa sebetulnya dapat mengentaskan kemiskinan. Berapa banyak orang berpuasa di Indonesia ini. Berapa banyak orang berpuasa di dunia ini. Kalau kepekaan sosial ini tumbuh, lalu melahirkan kepedulian sosial dengan membantu sesama yang kekurangan, lambat laut keterbelakangan sosial dan ekonomi dapat terkikis. Lebih luas lagi, kepedulian sosial ini tidak hanya dalam lingkup nasional, namun bisa lebih luas lagi dalam skala regional dan global. Puasa telah mengingatkan bahwa tantangan menonjol dan nyata bagi mereka di era global adalah kemiskinan.

Kepedulian sosial ini menjadi modal dasar bagi upaya pengikisan perbedaan kelas sosial ekonomi masyarakat. Kelompok masyarakat yang mempunyai kepedulian sosial berpotensi mampu menyelesaikan persoalan sosial ekonomi kelompoknya. Di sinilah titik strategis umat Islam. Agamanya mempunyai konsepsi dan strategi pengentasan kemiskinan¬, tentunya juga agama-agama lainnya. Kepedulian sosial dalam Islam menjadi bagian dari sebuah sistem yang menjanjikan gerakan massif dan kolosal. Puasa tidak diragukan lagi mempunyai sakralitas yang mampu menimbulkan perasaan khidmat keagamaan saat menghadapi bahaya kemiskinan.
 
Kepedulian sosial semacam ini secara tegas disebut Nabi Saw sebagai ciri seorang mukmin. Rasulullah bersabda: "Tidak dianggap sebagai orang beriman apabila seseorang tidur dalam keadaan kenyang, sementara para tetangganya kelaparan di sampingnya." (HR Bukhari).

Dengan semangat universalisme nilai puasa, mengendalikan hawa nafsu individu dan sosial bukan hanya menjadi kewajiban umat Islam. Tapi juga menjadi titik temu (common platform) bagi semua komunitas anak bangsa di negeri ini untuk bersatu dan lebih peduli dalam rangka memperbaiki kondisi ke arah lebih baik.

Dengan kepedulian sosial, hikmah puasa sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk membebaskan beban derita kaum duafa (kaum lemah), sehingga mereka diwajibkan berpuasa karena karena kondisi sosial-ekonomi yang memungkinkan bukan dengan beban hidup yang sulit mereka tanggulangi. Selamat berkasih saying. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Potensi Haji Non Kuota Masih Ada


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler