Ramadan Menuntut Kita untuk Peka Terhadap Lingkungan

Rabu, 24 Juni 2015 – 11:31 WIB

jpnn.com - HIKMAH yang terkandung dalam syariat puasa pada bulan Ramadhan salah satunya mengajarkan kita untuk merasakan nasib orang-orang miskin. Menahan lapar dan haus di siang hari bagi orang-orang mampu secara ekonomi sebenarnya adalah pilihan yang berat.

Karena memang mereka jarang, bahkan tak pernah, merasakan apa yang dinamakan dengan kelaparan. Di luar bulan Ramadhan, misalnya, setiap pagi sebelum beraktifitas dan berangkat ke kantor, aneka sarapan lezat yang tersedia di meja makan disantap.

BACA JUGA: Menjadi Anak Didik Ramadhan yang Sukses

Jika buru-buru dan takut terlambat masuk kantor maka orang mampu selalu membawa bekal sarapan. Jika di perjalanan nanti terjebak macet, mereka pun menggunakan waktu macet tersebut untuk menyantap sarapan yang tersedia.

Selanjutnya, saat siang hari datang, mereka menghentikan seluruh pekerjaan dan menggantinya dengan makan siang. Begitulah siklus hidup yang seakan sudah terjadwal rapi bagi orang-orang yang mampu.

BACA JUGA: Memaksimalkan Ibadah Ramadan di Malam Hari

Praktis tidak ada celah bagi kelaparan hinggap pada diri mereka. Tapi bagi mereka yang miskin, kelaparan adalah bagian dari cerita mereka dalam melewati hari-harinya.

Lewat bulan Ramadhan Allah SWT menghentikan sejenak siklus hidup orang mampu yang sedemikian sempurna itu. Mereka pun 'dipaksa' untuk tidak makan dan minum sepanjang hari.

BACA JUGA: Surya University Gandeng Kabupaten Landak untuk Kembangkan Potensi Ekonomi

Tidak ada dispensasi dan kompromi. Harga mati. kecuali bagi mereka yang sakit atau dalam keadaan safar. Tidak makan dan minum membuat 'nasib' mereka hampir sama seperti yang kerap dirasakan oleh orang-orang miskin.

Allah SWT seakan memberi pelajaran kepada hamba-Nya bahwa sebenarnya manusia tidak punya daya dan kekuatan ketika syariat-Nya sudah ditetapkan. Sekaya apapun seseorang ketika ketentuan Allah SWT datang, maka kekayaan itu tidak akan ada artinya.

Seberapa banyak dan lezat pun makanan dan minuman yang kita punya, tetap tidak bisa dimakan di siang hari saat dalam keadaan berpuasa. Apalagi, Allah SWT dan Rasul-Nya beberapa kali menyinggung bahwa yang Dia lihat dari hamba-Nya hanya keimanan dan ketaqwaan, bukan harta benda. Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada fisik dan kekayaan kalian. Akan tetapi melihat hati dan amalan kalian," Hadits Riwayat Imam Muslim.

Allah SWT sangat tegas dengan syariat puasa Ramadhan ini. Ancaman keras bagi orang-orang beriman yang tidak melaksanakan ibadah Ramadhan, khususnya ibadah shaum juga sudah ditegaskan oleh Rasulullah SAW.

Beliau bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ya’la dan Imam Dailami. "Ikatan dan basis agama Islam itu ada tiga. Siapa yang meniggalkan salah satu darinya, maka ia telah kafir; halal darahnya: Syahadat Laa ilaaha illallah, sholat fardhu (5 X sehari) dan shaum Ramadhan."

Ketegasan Allah SWT dan Rasulullah SAW menjadi pelajaran untuk kita bagaimana memaknai ibadah puasa. Sebagai salah satu bagian dari lima rukun Islam, maka puasa tentu punya pengaruh besar terhadap keimanan dan keislaman kita.

Kita pun harus yakin bahwa Allah SWT tidak pernah memisahkan ajaran-Nya dari kekayaan hikmah di dalamnya. Salah satu hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa adalah agar orang-orang mampu bisa 'berbagi' nasib dengan orang-orang miskin.

Ketika kita sudah bisa merasakan penderitaan orang-orang miskin dalam menghadapi kelaparan, maka Allah SWT berharap agar kepekaan dan perhatian kita terhadap orang miskin pun tumbuh.

Caranya dengan memberikan sebagian dari harta yang kita miliki untuk mereka. Oleh sebab itu, hikmah kewajiban membayar zakat dilakukan di penghujung Ramadhan karena Allah SWT percaya bahwa kelaparan yang kita derita saat berpuasa di dalam bulan Ramadhan telah mencapai hasil.

Sehingga harus dibuktikan dengan membayar zakat yang nantinya akan dibagikan kepada orang-orang miskin. Semangat membayar zakat tersebut tidak boleh berhenti hanya pada saat membayar zakat saja. Tapi setelah Ramadhan semangat itu harus tetap tertananam kuat di dalam keimanan kita.

Misalnya, dengan semakin gemar bersedekah dan berbagi dengan orang-orang yang tidak mampu. Bahkan, salah satu cara untuk mengukur sukses dan tidaknya seseorang dalam melewati ibadah Ramadhan adalah seberapa besar sikap sosialnya ketika berada di bulan Syawal dan bulan-bulan lain setelah Ramadhan.

Ibarat sebuah perguruan tinggi, berhasil dan tidaknya pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa, bukan dilihat pada saat mahasiswa tersebut ada di kampus, tapi dilihat saat mahasiswa itu menjadi alumni dan berbaur dengan masyarakat.

Oleh sebab itu, sebaiknya kita bercermin pada para sahabat Rasulullah SAW dalam merefleksikan nilai sosial dalam bulan Ramadhan ini. Para sahabat selalu meningkatkan bobot sedekah mereka saat memasuki bulan Ramadhan.

Bahkan, tak jarang dari beberapa sahabat rela memberikan seluruh kurma yang mereka miliki di rumahnya untuk diberikan kepada sahabat-sahabat yang lebih membutuhkan untuk berbuka puasa.

Apalagi, pahala yang diberikan Allah SWT kepada orang yang memberikan makanan dan minuman berbuka bagi orang puasa sangat luar biasa. Rasulullah SAW bersabda,

"barangsiapa yang memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahala yang semisal orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikit pun," Hadits Riwayat At Tirmidzi. Tak cukup sampai di situ, di luar Ramadhan pun sikap sosial para sahabat masih tertanam kuat.

Hal itu terlihat dari cara mereka yang seakan tidak ada batasan lagi dengan sahabat-sahabat yang lain. Hubungan darah dan nasab ditaklukkan oleh hubungan persaudaraan tingkat tinggi yang dibingkai persaudaraan Islam.

Mereka menjadi penyanyang kepada semua orang, khususnya orang-orang yang tidak mampu. Dengan demikian, keberadaan ummat Islam persis seperti yang digambarkan Rasulullah SAW sebagai lebah yang selalu memberikan manfaat untuk orang lain.

"Perumpamaan orang beriman itu bagaikan lebah. Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap di tempat yang bersih dan tidak merusak atau mematahkan (yang dihinggapinya)," Hadits Riwayat Imam Ahmad, Imam Al-Hakim, dan Imam Al-Bazzar.(adv/*)

Oleh : DR. Adhyaksa Dault
(Ketua Kwartir Nasional Pramuka)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Memanfaatkan Setiap Waktu di Dalam Ramadhan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler