Setelah empat belas tahun lamanya wara-wiri di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR, Revisi Undang-undang No.32 Tahun 2022 tentang Penyiaran disebut-sebut sudah hampir rampung.
Wakil Ketua Komisi I Abdul Kharis Almasyhari mengakui jika Baleg DPR RI sudah melakukan beberapa kali rapat dan diharapkan RUU penyiaran tersebut bisa segera diselesaikan.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Aktivis Thailand Meninggal Setelah Mogok Makan di Penjara
"Insya Allah tidak lama lagi akan diparipurnakan untuk disahkan. Yang terpenting kedua media, TV digital dan konvensional mendapat perlakuan sama di tengah kemajuan teknologi saat ini," ujar Abdul Kharis akhir Maret lalu.
Namun, RUU yang pertama kali masuk prolegnas di masa persidangan DPR 2009-2014 itu nampaknya masih harus menunggu, menyusul gelombang kritik dan penolakan dari sejumlah elemen masyarakat seperti organisasi jurnalis, pegiat media, dan Dewan Pers.
BACA JUGA: Tanggapan Mahasiswa Asing Soal Rencana Australia Membatasi Jumlah Mereka
Pasal-pasal bermasalahABC Indonesia berhasil memperoleh draft naskah revisi UU Penyiaran versi 'Bahan Rapat BALEG 27 Maret 2024'.
Draft tersebut berisi 14 bab dan 63 Pasal, dan di dalamnya terdapat 96 pasal baru (misalnya, pasal 5A, pasal 8A dan 8B, pasal 10A sampai 10D) jika dibandingkan dengan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 yang saat ini berlaku.
BACA JUGA: Caleg Terpilih Harus Mundur Jika Ditetapkan Jadi Calon Kepala Daerah
Selain pasal-pasal baru, kami juga menemukan satu bab dan sembilan pasal yang dihapus.
Di antara perubahan yang termuat dalam RUU Penyiaran tersebut, setidaknya ada empat pasal yang dianggap bermasalah dan dua di antaranya marak dibahas beberapa waktu belakangan.
Yang pertama soal wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), seperti disebutkan di Pasal 8A ayat 1 butir q, yakni "menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran", dan Pasal 42 ayat 2 yang berbunyi: "penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Yang kedua adalah menyangkut panduan kelayakan isi siaraan, ditulis pada Pasal 50B ayat 2 butir c yang menyebut bahwa Standar Isi Siaran (SIS) "memuat larangan mengenai penayangan eksklusif jurnalistik investigasi."
Pasal lain yang tak kalah pentingnya namun masih luput dari diskusi publik adalah perubahan Pasal 17 yang mengatur tentang Lembaga Penyiaran Swasta, serta dihapuskannya Pasal 18 yang mengatur tentang pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta. 'Makin dilarang, harus makin berkarya'
Sebelum dikenal dengan karya-karya dokumenternya (Alkinemokiye, Yang Ketu7uh, Sexy Killers, Pulau Plastik, Dirty Vote), Dandhy Dwi Laksono adalah jurnalis yang menekuni liputan investigasi.
Liputan investigasi kematian aktivis HAM Munir Said Thalib pada 2004 adalah salah satu karya yang pernah ia kerjakan.
Ia juga menulis buku 'Jurnalisme Investigasi' yang menjadi rujukan jurnalis dan akademisi media hingga saat ini.
Dandhy menilai larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi adalah teror hukum yang kontraproduktif bagi jurnalisme secara umum, dan juga untuk publik.
"Sebagai jurnalis dan content creator, saya enggak peduli, saya akan tetap melanggar hukum, saya akan tetap membuat konten seperti yang dilarangkan karena [saya] seperti sudah desperate dengan cara pikir pejabat publik dan politikus kita," ujarnya.
"Makin dilarang, sebaiknya semua content creator, semua jurnalis, harus makin membuat karya-karya investigatif, artinya kita ramai-ramai melakukan pembangkangan sipil atas aturan ini."
Sebagai pembayar pajak atau sebagai publik, Dandhy menyayangkan aturan ini karena publik akan kehilangan kesempatan mendapatkan informasi yang dikerjakan dengan metode jurnalisme yang benar lewat investigasi.
"Pembayar pajak juga akan dirugikan karena akan kehilangan referensi bagaimana media mengawasi jalannya pemerintahan yang menghabiskan uang pajak mereka."
Ia juga mempertanyakan perumusan isi RUU penyiaran yang dinilainya memuat hal-hal yang saling bertentangan atau paradoks.
"Aturan ini sangat aneh, karena di pasal lain dalam UU yang sama juga disebut bahwa fungsi penyiaran adalah kontrol sosial ... nah, saya penasaran banget, apa yang ada di isi kepala orang yang menulis naskah akademik, atau politikus, atau siapa pun yang menulis draft undang-undang ini, ketika mereka mencantumkan fungsi kontrol sosial dalam tujuan UU ini tetapi di saat yang sama melarang karya investigatif ada dalam program siaran."
"Jadi saya enggak mengerti apa yang mereka maksud dengan kontrol sosial, sementara bentuk tertinggi dari produk kontrol sosial secara jurnalistik adalah investigasi yang justru enggak bisa masuk."
"Sangking sesatnya cara berpikir undang-undang ini, sampai saya berpikir: melanggar undang-undang ini nanti, kalau pun disahkan, adalah sebuah puncak karir tertinggi sebagai jurnalis."
Ia juga menilai pasal-pasal yang bermasalah ini akan membuat Indonesia makin jauh dari iklim penyampaian informasi yang simetris, yang padahal merupakan ukuran kualitas demokrasi.'Senayan akan berhadapan dengan komunitas pers'
Suara penolakan juga datang dari Dewan Pers dan sejumlah organisasi dan komunitas pers.
Ketua Dewan Pers Dr Ninik Rahayu dalam keterangannya, kemarin (14/05), mengatakan RUU Penyiaran akan "menyebabkan pers kita tidak merdeka dan independen, dan jika diteruskan akan menyebabkan produk pers yang buruk."
Ia mengingatkan jika dari sisi proses, RUU tersebut telah menyalahi keputusan MK tahun 2020 yang mengharuskan adanya meaningful participation, sementara dalam perumusan RUU ini Dewan Pers tidak dilibatkan.
Terkait pasal yang melarang konten jurnalistik investigasi, Dr Ninik Rahayu juga menyebut aturan ini bertentangan dengan mandat UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 4.
"Kita melalui UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan, dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas," katanya.
"Nah, penyiaran jurnalistik investigatif itu adalah satu modalitas kuat dalam karya jurnalistik profesional."
Dr Rahayu juga mempermasalahkan pasal soal sengketa jurnalistik yang kewenangannya ada pada KPI.
"Di dalam RUU ini, penyelesaian itu justru akan dilakukan oleh lembaga yang sebenarnya tidak punya mandat penyelesaian etik terhadap karya jurnalistik."
"Mandat penyelesaian [sengeketa] karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers dan dituangkan dalam Undang-undang," tuturnya.
Senada dengan Dewan Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga menolak draft RUU Penyiaran serta mendesak DPR menangguhkan proses revisi ini sampai masa persidangan DPR yang baru.
"Karena ini prosesnya sangat kompleks, ... kami dari AJI juga minta partisipasi masyarakat, terutama orang atau kelompok yang ada hubungannya dengan penyiaran," kata Nani Afrida, Ketua Umum AJI.
"Kami melihat rencana menegasikan jurnalisme investigasi itu benar-benar di luar nalar, ... karena bagaimana pun jurnalisme investigatif itu adalah strata tertinggi jurnalisme dan tidak semua orang bisa, dan itulah yang kadang-kadang membantu aparat keamanan mendapatkan informasi," tambahnya.
Wahyu Dhyatmika dari Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mengatakan semua konstituen Dewan Pers "satu frekuensi dengan para komisioner Dewan, menegaskan penolakan terhadap revisi UU Penyiaran."
"Kami sebagai asosiasi publisher digital dengan kurang lebih 400 media online di seluruh Indonesia akan menyuarakan penolakan ini, dan kalau DPR tidak mengindahkan aspirasi ini maka Senayan akan berhadapan dengan komunitas pers," tutupnya.
Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran dari Komisi I DPR, Nurul Arifin mengakui banyak kritik terhadap sejumlah pasal-pasal di dalam revisi UU Penyiaran yang kini dibahas DPR.
Namun, ia membantah intensi pembungkaman pers melalui undang-undang yang direvisi.
"Tidak ada tendensi untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini," ucap Nurul.
"RUU yang beredar bukan produk yang final sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran," katanya melalui keterangan tertulis.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Empat Warga India Tewas Tertimpa Papan Reklame