jpnn.com, JAKARTA - LBH Jakarta meminta Presiden Joko Widodo membatalkan rencana penandatanganan rancangan perpres tentang Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme.
Menurut Kepala Advokasi dan pengacara LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamor, banyak pasal yang bermasalah dalam perpres itu sehingga tidak layak dilanjutkan.
“Seharusnya draf itu diganti. Kalau DPR saja menolak draf perpres itu, maka enggak boleh disahkan,” tegas Nelson di Jakarta, Sabtu.
Nelson menegaskan masalah utama dalam rancangan perpres itu ialah aturan dan definisi yang terlalu luas dan cenderung menjadi pasal karet. Itu akan menjadi pintu masuk pelibatan TNI dalam kehidupan sipil.
BACA JUGA: Dua Minggu, Densus 88 Antiteror Sikat 20 Terduga Teroris di Jatim
"Ini yang bisa jadi legitimasi TNI secara hukum beroperasi di masa damai terhadap warga sipil. Dalam hal sosial-politik," kata Nelson.
Beberapa waktu lalu sejumlah organisasi besar Indonesia menguraikan pasal-pasal bermasalah dalam perpres itu.
BACA JUGA: Azis Minta Densus 88 Lebih Gencar Memburu Teroris
Pasal-pasal itu disebut akan mengubah model penanganan terorisme di Indonesia dari model sistem kontrol kejahatan melalui penegakan hukum (crime control model) menjadi model perang (war model).
Sejumlah kalangan yang tergabung Koalisi Masyarakat Sipil itu terdiri dari Elsam, Imparsial, PBHI, KontraS, YLBHI, Setara Institute, HRWG, LBH Pers, YPII, PPHD Univ. Brawijaya, Pusham Unimed, Public Virtue Research Institute, IDeKa Indonesia, Centra Initiatives, LBH Jakarta, dan ICJR
Koalisi Masyarakat Sipil tersebut juga mengungkap masalah lain dalam perpres tersebut yaitu menyangkut potensi pertentangan pasal dengan peraturan di atasnya seperti UU TNI.
Misalnya, dalam UU TNI, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang salah satunya mengatasi terorisme bisa dilakukan jika sudah ada keputusan politik negara (Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU TNI).
Kemudian mengenai penggunaan APBD untuk TNI ketika terlibat dalam penanganan terorisme. Itu bertentangan dengan Pasal 66 UU TNI yangh mengatur anggaran TNI hanya dari APBN.
Sebelumnya, pada November 2020, Komisi III DPR RI sempat memberi catatan terkait Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Menurut Komisi III, pelibatan TNI membutuhkan payung hukum yang jelas dan komprehensif sesuai maksud dan tujuan Pasal 43I UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Selain itu, Komisi III juga meminta pemerintah berhari-hati dalam menetapkan perpres tersebut. Perpres itu diketahui akan mengatur ketentuan tentang mekanisme penggunaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap tugas TNI dalam lingkup UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. (flo/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Natalia