Rangkap Jabatan Luhut Binsar Berpotensi Membebani Prabowo di Masa Depan

Selasa, 22 Oktober 2024 – 16:41 WIB
Luhut Binsar Pandjaitan resmi merangkap jabatan menjadi Penasihat Presiden Khusus Bidang Digitalisasi dan Teknologi Pemerintahan sekaligus Ketua Dewan Ekonomi. Foto ilustrasi: arsip JPNN.com/Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Luhut Binsar Pandjaitan resmi merangkap jabatan menjadi Penasihat Presiden Khusus Bidang Digitalisasi dan Teknologi Pemerintahan sekaligus Ketua Dewan Ekonomi.

Pelantikan Luhut Binsar dilakukan dua hari berturut-turut, yakni Ketua Dewan Ekonomi pada Senin (21/10) dan Penasihat Presiden Khusus Bidang Digitalisasi dan Teknologi Pemerintahan, hari ini, Selasa (22/10).

BACA JUGA: Prabowo Lantik 7 Penasihat Presiden, Ada Wiranto hingga Luhut Binsar

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai penugasan Luhut Binsar kembali sebenarnya menimbulkan tiga permasalahan laten bagi Prabowo di masa depan.

Pertama, penunjukan Luhut dalam dua posisi kunci ini mengabaikan potensi sumber daya manusia (SDM) berkualitas lainnya yang bisa mengisi peran-peran strategis tersebut.

BACA JUGA: Apa Fungsi Luhut Binsar di Kabinet Merah Putih?

Di Indonesia, terdapat banyak profesional dan teknokrat yang berkompeten, tetapi keputusan untuk tetap memilih Luhut Binsar mencerminkan lemahnya komitmen pemerintah dalam mendorong regenerasi kepemimpinan.

"Hal ini seolah menutup peluang bagi munculnya figur-figur baru yang dapat membawa ide dan inovasi segar dalam kebijakan ekonomi dan digitalisasi pemerintahan," ungkap Nur Hidayat.

Kedua, kata dia, rawan kepentingan dan transparansi, karena Luhut Binsar dikenal memiliki jaringan bisnis keluarga yang luas dan terhubung dengan berbagai proyek besa.

"Memperbesar risiko konflik kepentingan. Beberapa proyek besar seperti hilirisasi nikel dan infrastruktur sering dikritik karena kurangnya transparansi dalam pengelolaannya, serta dugaan keterlibatan perusahaan yang terafiliasi dengan Luhut dan keluarganya," beber Nur Hidayat.

Selain itu, dalam posisi sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Digitalisasi dan Teknologi Pemerintahan, potensi konflik kepentingan ini bisa makin parah, mengingat pesatnya perkembangan teknologi dan keterlibatan sektor swasta.

"Kurangnya transparansi dalam proyek-proyek ini dapat semakin mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah?," tegas Nur Hidayat.

Ketiga, Nur Hidayat menyebut dengan menugaskan Luhut Binsar pada dua posisi strategis, pemerintahan Prabowo berisiko mengulangi pola sentralisasi kekuasaan yang berlebihan, seperti yang terjadi di era Jokowi.

Konsentrasi kekuasaan pada satu individu tidak hanya menciptakan ketergantungan yang tinggi pada keputusan pribadi, tetapi juga dapat melemahkan tata kelola yang demokratis.

Hal ini berbahaya bagi perkembangan kebijakan publik yang seharusnya dihasilkan melalui mekanisme yang lebih terbuka dan partisipatif.

"Alasan ini mencerminkan bahwa penunjukan Luhut bukan hanya soal kapasitas individu, tetapi juga soal bagaimana tata kelola yang baik, transparansi, dan regenerasi kepemimpinan seharusnya diprioritaskan dalam pemerintahan," kata Nur Hidayat.

Dia menuebut perlu evaluasi kinerja pejabat yang pernah memegang jabatan penting dalam pemerintahan.

Penilaian yang terbuka terhadap kebijakan yang dijalankan oleh pejabat sebelumnya menjadi penting karena hal ini tidak hanya memengaruhi perkembangan kebijakan di masa depan, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Nur Hidayat menegasakan evaluasi terhadap kinerja pejabat masa lalu diperlukan untuk mengukur sejauh mana kebijakan dan program yang mereka jalankan berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

"Tanpa evaluasi yang transparan, kebijakan yang mungkin tidak efektif atau bahkan merugikan kepentingan publik bisa terus dilanjutkan tanpa perbaikan," pungkas Nur Hidayat.(mcr10/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler