Rapat Gelap

Oleh: Dahlan Iskan

Senin, 07 Maret 2022 – 08:08 WIB
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - PEMBANGKIT listrik Ukraina yang dikuasai Rusia, listrik di Taiwan yang mati. Nyaris total. Di seluruh negara. Rabu lalu.

Hari itu tokoh Amerika Serikat baru saja mendarat di Taipei: Mike Pompeo, menteri luar negeri di zaman Presiden Donald Trump. Siang itu Pompeo dijadwalkan bertemu Presiden Taiwan Tsai Ing-wen.

BACA JUGA: Menunggu Joker

Acara itu akan disiarkan secara luas lewat live streaming. Seolah Tsai Ing-wen bisa menenangkan warganya: Amerika di belakang kita.

Tiba-tiba lampu mati. Hampir di seluruh Taiwan. Pertemuan tetap dilangsungkan. Siaran langsungnya yang dibatalkan.

BACA JUGA: Mari Mas

Sejak sehari sebelumnya, sebuah delegasi pertahanan Amerika juga ada di Taiwan. Bertemu tim pertahanan Taiwan.

Keduanya membahas isu yang lagi hot saat ini: kemungkinan Tiongkok berbuat seperti Rusia atas Ukraina.

BACA JUGA: Sanksi Isolasi

Tiongkok sewot dengan istilah itu. Yang dilakukan Rusia ialah menyerang negara lain, sedangkan Taiwan adalah salah satu provinsinya sendiri.

Tiongkok telah menawarkan kompromi: satu negara tiga sistem. Ada sistem di Tiongkok daratan yang sosialistis, ada sistem kedua di Hong Kong, dan sistem ketiga di Taiwan yang demokratis.

Taiwan, di bawah Tsai Ing-wen, tetap berkehendak sebagai negara merdeka yang berdaulat.

Isu Tiongkok akan menyerbu Taiwan memang santer. Dan harus berhasil dalam satu malam.

Sudah harga mati bagi Tiongkok: Taiwan harus kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Secara damai. Kalau perlu dengan kekerasan.

Dari kalimat terakhir itulah muncul analisis: Tiongkok akan menyerbu Taiwan. Kapan? Hanya Xi Jinping yang tahu.

Konon hanya Xi Jinping pula yang tahu kapan Rusia menyerang Ukraina: "jangan sebelum Olimpiade musim dingin di Beijing". Maka seminggu setelah Olimpiade serangan pun dimulai.

Apakah kalau Tiongkok menyerang Taiwan, Amerika juga bersikap sama dengan Ukraina? Apakah Amerika sudah benar-benar tidak mau kirim tentara ke mana pun –sejak yang di Afghanistan pun ditarik?

Itulah pokok pembicaraan berbagai delegasi Amerika ke Taiwan. Setidaknya, kedatangan delegasi itu membuat tenang Taiwan –di tengah berita perang di Ukraina.

Taiwan telanjur jadi produsen cip terbesar bagi Amerika Serikat –dan hanya pabrik itu yang listriknya tidak ikut mati.

Bagi Amerika, Taiwan amat rumit. Tidak semudah melepas tangan seperti di Ukraina.

Bagi Tiongkok, Taiwan juga rumit. Buntut serangan pada Taiwan sangat panjang.

Akan ada serangan atau tidaknya ke Taiwan harus menunggu momentum. Pemantik momentum itu hanya satu: kapan Taiwan berani mengumumkan proklamasi sebagai negara merdeka.

Hanya itu.

Begitu proklamasi itu dinyatakan, Tiongkok tidak punya pilihan lain: menggempurnya. Itu amanat UUD Tiongkok: untuk menyatukan seluruh wilayah negara –termasuk Taiwan.

Sepanjang proklamasi itu tidak dilakukan, rasanya Tiongkok masih sabar menanti. Persoalannya: penyatuan itu telah menjadi sumpah Xi Jinping –harus terjadi dalam masa kepemimpinannya.

Untunglah konstitusi yang membatasi masa jabatan presiden maksimal dua periode sudah dicabut. Berarti Xi Jinping masih punya waktu lebih lama.

Di tengah kegemparan perang Ukraina ini, Tiongkok justru lebih menyuarakan isu dalam negeri: bagaimana ekonomi bisa bertahan di tengah gelombang keempat Covid dunia. Pertumbuhan ekonominya yang 6 persen tahun lalu bisa turun tinggal 5,5 persen tahun ini.

Maka, minggu ini, ketika di Tiongkok dilakukan sidang pleno Partai Komunis, agenda utamanya hanya soal ekonomi itu. Diputuskanlah untuk memotong pajak usaha menengah dan kecil.

Potongan pajak yang diberikan sampai 75 persen, bahkan usaha kecil menengah tertentu potongan pajaknya sampai 100 persen. Sama sekali tidak ada agenda perang di sidang itu.

Namun, kenapa listrik mati tiba-tiba hampir di seluruh Taiwan? Di pagi hari pula? Ketika jalan raya lagi padat lalu-lintas –sehingga semua lampu bang-jo mati?

Penyebabnya ternyata sangat teknis: ada alat yang rusak di pembangkit listrik di Xinda, setengah jam di utara kota terbesar kedua Kaohsiung.Lima pembangkit di Xinda ikut mati semua, padahal semua berkapasitas raksasa: masing-masing 1.000 MW.

Hilangnya pasok listrik dalam jumlah besar yang tiba-tiba (tidak direncanakan) membuat sistem transmisi "jatuh".  Satu "jatuh" yang lain ikut "jatuh".

Merembet ke utara. Sampai ke Taichung di tengah. Lalu menular ke Taipei di utara. Dalam sekejap.

Pagi itu, selama beberapa jam Taiwan kacau sekali, tetapi pembicaraan antara Tsai Ing-wen dan Pompeo tidak sampai disebut "rapat gelap". (*)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar https://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mati Lagi


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler