RAPBN 2022, Pemulihan dan Keberlanjutan ke Depan

Oleh: MH Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR RI

Kamis, 13 Mei 2021 – 11:28 WIB
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI MH Said Abdullah. Foto: Humas DPR RI

jpnn.com - Pada 27 April 2021 lalu pemerintah telah membicarakan Kerangka Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022.

Pada hari yang sama, saya telah melayangkan rilis ke publik terkait Kerangka ekonomi makro dan kebijakan fiskal untuk APBN 2022. Pada kesempatan ini, saya akan memberikan catatan atas KEM PPKF 2022 yang dibuat oleh pemerintah.

BACA JUGA: Soroti Masalah Ketahanan Pangan, Gerindra Berikan 4 Catatan untuk RAPBN 2021

Desain KEM PPKF 2022 melihat pentingnya tiga kebijakan strategis sebagai bagian fundamental reformasi struktural; pembangunan sumber daya manusia, penyediaan infrastruktur, dan reformasi regulasi dan birokrasi.

Target dari ketiga kebijakan strategis tersebut adalah terjadi pembesaran komposisi tingkat produktivitas dan modal dalam penopang pertumbuhan ekonomi.

BACA JUGA: Said Abdullah: Semangat Bung Karno Harus Dicontoh Dalam Membangun Papua

Modal kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah adalah Undang Uncang Ciptaker dan pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI).

Sesungguhnya ketiga agenda strategis tersebut bukan hal baru, dan tidak salah bila pemerintah menetapkannya sebagai jawaban tantangan di tahun 2022.

BACA JUGA: Catatan untuk Presiden Jokowi: Perlu Anggaran Khusus untuk Mewujudkan Ekonomi Hijau

Berkaca atas pelaksanaan program program strategis yang telah dijalankan selama ini, kami sulit menemukan susunan puzzle yang utuh, yang menggambarkan korelasi antara masalah, output dan outcome antar sektor.

Sejak perintah konstitusi anggaran pendidikan 20% APBN, dan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 20  tahun 2003 sampai sekarang hasilnya sangat tidak memuaskan.

Angkatan kerja kita hingga kini masih 59% lulusan SMP. Sektor pertanian yang menyerap 29,76% tenaga kerja hanya tumbuh kisaran 2-3%, kalah jauh dengan sektor tersier, lebih ironis sebagian besar pangan pokok rakyat ditopang dari impor.

Poin saya, harus ada kaitan sistemik antara upaya membuka investasi, penguatan UMKM sebagai mesin ekonomi, kompatibilitas lapangan kerja dengan postur tenaga kerja, kemandirian pangan dan energi sebagai sektor strategis. Sehingga Indikator keberhasilan program antara K/L harus konvergen, tidak berdiri sendiri, lebih celaka lagi bila antar K/L berjalan sendiri sendiri.

Pemerintah menyadari bahwa respon atas pembesaran defisit fiskal, setidaknya dalam dua tahun anggaran ini berdampak pada membesarnya risiko utang pemerintah, karena membesarnya pembayaran bunga dan Pokok utang. Atas pemahaman itu, pemerintah memandang penting menjaga tingkat utang yang aman dan fiskal yang sehat.

Membesarnya belanja utang dua tahun terakhir ini memang anomali, utang lebih dominan untuk konsumsi. Langkah ini memang pilihan sulit pemerintah, sebab penerimaan perpajakan terkoreksi atas dua hal; skala ekonomi kita menurun, otomatis berakibat pula menurunnya penerimaan perpajakan, kedua, potensi penerimaan pajak terkoreksi karena dialokasikan untuk berbagai insentif pajak.

Sementara belanja pemerintah kian membesar, selain ditujukan sebagai bantalan konsumsi (demand), banyak program program baru yang memang membutuhkan biaya besar seperti penanganan covid19.

Saya berharap pemerintah secara khusus membuat road map kebijakan pembiayaan, khususnya kebijakan utang pemerintah. Road map ini tentu mengacu dari arah pembangunan jangka menengah dan pendek.

Dengan peta ini semua pihak dapat “pegangan” dan bisa menguji secara scientific kebijakan utang yang di tempuh oleh pemerintah, sehingga arena diskursusnya lebih produktif.

Rencana kebijakan utang di tahun 2022 sebesar 43,76-44,29% PDB menurut saya terlalu besar, Kebijakan ini tidak nyambung dengan agenda memperbesar investasi berbekal UU Ciptaker dan LPI, serta kesadaran pemerintah atas makin membesarnya beban bunga dan pokok utang yang menekan ruang fiskal.

Seharusnya porsi investasi makin membesar dalam skema pembiayaan APBN. Pemerintah harus mulai shifting  sumber pembiayaan dari utang ke investasi. Idealnya pembiayaan utang maksimal 42% PDB dari posisi saat ini 38,5% PDB.

Postur RAPBN 2022

Pandemi Covid19 masih menjadi sumber ketidakpastian ekonomi, terutama dalam menyusun asumsi ekonomi makro tahun 2022. Proyeksi pemerintah atas asumsi Ekonomi Makro 2022 antara lain; pertumbuhan ekonomi 5,2-5,8%, inflasi 3%, kurs rupiah 13.900-15.000, ICP 45-55 USD/barel, lifting minyak 686-726 ribu barel/hari, lifting gas 1.031-1.103 ribu barel/hari.

Rencana Indikator ekonomi makro ini tidak berbeda jauh dengan usulan yang saya sampaikan pada rilis 27 April 2022 lalu, terutama pada target pertumbuhan, inflasi dan kurs rupiah.

Saya mengusulkan pertumbuhan ekonomi 5,0-5,5%, inflasi kisaran 3%, dan kurs Rp. 14.100-14.600. Berbeda dengan pemerintah ICP saya perkirakan di 60 USD/barel, lifting minyak bumi 775 ribu barel/hari.

Pada kuartal I 2020 ICP sudah bertengger di kisaran 59 USD/barel. Posisi ini tidak terlalu volatile di tahun depan, terlebih bila pemulihan ekonomi global terus bisa konsisten kearah yang positif.

Saya perkirakan tahun depan ICP dikisaran 60 USD/barel. Berbeda dengan asumsi pemerintah yang mematok rendah lifting migas. Memang sumur migas kita adalah sumur sumur tua, namun mematok target lifting minyak lebih rendah dari realisasi tahun 2019 sebesar 746 ribu barel/hari sangat minimalis. Padahal tahun 2022 pemerintah mematok PNBP lebih tinggi, dan penerimaan sumber daya alam adalah penopang PNBP Kita.

Selama lima tahun ini kontribusi penerimaan migas kita rata rata 35, 8% dari total PNBP. Rentang 2016-2018 penerimaan migas kontribusi terhadap PNBP terus naik 2016 sebesar 24,7%, 2017 sebesar 35,7%, dan 2018 sebesar 44,1%.

Pada tahun 2019 mengalami penurunan karena lifting minyak yang rendah, sehingga kontribusi miga terhadap PNBP 37,8%. Pada tahun pandemi kemarin kian mengalami kontraksi ke level 36,7%.

Seharusnya pemerintah menarget lebih tinggi lifting minyak pada tahun 2022 lebih tinggi, setidaknya seperti usulan saya diatas, sebesar 775 ribu barel/hari.

Lifting gas juga trus mengalami penurunan, tahun 2018 seebsar 1.145 ribu barel/hari, 2019 sebesar 1.057 ribu barel/hari, dan tahun 2020 sebesar 1.007 ribu barel/hari). Saya sepakat dengan target lifting gas yang ditetapkan oleh Pemerintah di tahun 2022.

Namun, target itu pada patokan atas. Patokan atas pemerintah di level 1.103 ribu barel/hari, dan usulan saya di 1.100 ribu barel/hari.

Pemerintah mengusulkan RAPBN 2022 dengan komposisi, pendapatan negara dikisaran Rp. 1.823,5-1.895,4 triliun. Pendapatan negara di topang dari penerimaan perpajakan Rp. 1.499,3- 1.528,7 triliun, PNBP Rp. 322,4 – 363,1 triliun dan hibah Rp. 1,8-3,6 triliun.

Sedangkan belanja negara dikisaran Rp. 2.630,6-2.776,6 triliun, dengan komposisi belanja pusat Rp. 1.859,6 – 1.991,6 dan transfer ke Daerah dan desa Rp. 771 – 785 triliun. Sehingga tingkat defisit dikisaran Rp. 807-881,3 triliun (4,5-4,8% PDB).

Komposisi pendapatan, belanja, dan defisit APBN 2022 yang saya sampaikan 27 April 2021 lalu sejalan dengan usulan pemerintah untuk target pendapatan, berbeda dibesaran belanja negara dan tingkat defisit APBN.

Saya mengusulkan reformasi belanja negara lebih efisien dengan pembaruan tata kelola subsidi LPG, pupuk, listrik dan penghapusan dana kompensasi BBM dan Listrik, termasuk evaluasi pembangunan infrastruktur.

Hanya infrastruktur yang top prioritas yang bisa dilanjutkan pembangunannya; menopang ekspor, produktivitas KEK, transformasi bisnis UMKM, peningkatan sektor primer seperti pangan dan energi, pemulihan kesehatan rakyat akibat pandemi, dan penguatan pendidikan vokasi.

Dengan efisien belanja negara tersebut maka saya mengusulkan pendapatan negara Rp. 1.802,18 triliun yang ditopang dari penerimaan perpajakan Rp. 1.481,08 triliun, PNBP Rp. 320 triliun dan hibah Rp 1,1 triliun.

Belanja negara Rp. 2.510 triliun yang dipergunakan untuk belanja pusat Rp. 1.714 triliun, transfer ke daerah dan desa Rp. 796, sehingga defisit APBN menjadi Rp. 707,82 PDB atau 4,2%.

Porsi defisit RAPBN 2022 yang lebih rendah dari tahun ini akan memudahkan pemerintah untuk softlanding di tahun 2023, agar bisa kembali ke defisit APBN maksimal 3% PDB.

Lebih penting lagi pemerintah tidak mengalami tekanan fiskal yang berkelanjutan, dan mewariskan kelonggaran fiskal bagi pemerintahan selanjutnya, paska 2024.(***)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler