Rapor Merah dari KontraS untuk Jaksa Agung

Minggu, 25 Oktober 2015 – 15:18 WIB
Jaksa Agung M.Prasetyo. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Tiga lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera mencopot Jaksa Agung M Prasetyo.

Koalisi ini terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Bila ICW mencatat lemahnya kinerja Jaksa Agung dalam memberantasan korupsi, KontraS juga punya penilaian sendiri, yakni terkait penegakan Hukum dan HAM.

BACA JUGA: Kinerja Jeblok, Jaksa Agung Harus Diganti

"Berdasarkan pemantauan KontraS setidaknya ditemukan tiga persoalan yang menunjukkan Kejaksaan d ibawah kepemimpinan Jaksa Agung HM Prasetyo gagal menjalankan fungsinya dalam upaya penegakan hukum dan HAM," kata Koordinator KontraS, Haris Azhar di kantor ICW, Kalibata, Minggu (25/10).

Dalam paparannya, Haris menyampaikan catatan KontraS. Pertama, penyidikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak dilakukan oleh Jaksa Agung. Selama 13 tahun (2002-2015), Jaksa Agung tidak pernah mau melakukan penyidikan atas 7 berkas perkara pelanggaran HAM berat yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM.

BACA JUGA: IPW: Ada Apa di Balik Kasus Risma?

Jaksa Agung, lanjutnya, selalu mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM dengan berbagai macam alasan yang berubah-ubah, dan alasan yang digunakan bertentangan dengan sejumlah undang-undang serta putusan Mahkamah Konstitusi.

Kedua, Jaksa Agung HM Prasetyo melakukan penyalahgunaan wewenang dengan membentuk tim kasus masa lalu untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui rekonsiliasi atau proses penyelesaian di luar hukum.

BACA JUGA: Asap Mulai Masuk Pulau Jawa

Tindakan Jaksa Agung tersebut bertentangan dengan tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI jo. Pasal 21 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

"Selain itu, HM Prasetyo juga melanggar sumpah Jaksa Agung untuk senantiasa menegakkan hukum dan keadilan," tegas Haris.

Ketiga, inkonsistensi penegakan hukum dengan terus dilakukannya penerapan pidana mati terhadap terpidana kasus narkotika oleh Kejaksaan Agung. Hal ini tentunya telah mengesampingkan prinsip supremasi hukum di Indonesia.

Berkaca pada kasus eksekusi mati gelombang I dan II yang telah dilakukan Januari dan April 2015 lalu, tidak ada mekanisme koreksi dan ruang evaluasi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung seperti misalnya terkait dengan ruang transparan bagi terpidana mati, tim kuasa hukum maupun publik untuk mendapatkan keterangan yang valid tentang proses hukum dari ke-16 terpidana mati tersebut.

"Dalam monitoring KontraS, Kejaksaan Agung tidak pernah memberikan akses hukum yang adil bagi terpidana mati," tukas Haris.

Dia memberi contoh, seperti tidak adanya akses hukum yang memadai bagi terpidana, termasuk akses bantuan hukum bagi terpidana miskin, tidak diberikannya penterjemah tersumpah khususnya bagi terpidana yang merupakan warga Negara asing, keterlambatan menginformasikan pihak Kedutaan Besar, hingga mengeksekusi mati terpidana yang mengalami kelainan jiwa.

"Inkonsistensi Kejaksaan Agung juga dibuktikan dengan minimnya informasi tentang pelaksaan eksekusi mati yang diberikan terhadap terpidana mati dan kuasa hukumnya sehingga berakibat pada peliknya proses hukum yang tengah diproses oleh setiap terpidana, baik melalui Peninjauan Kembali, uji materil konsep grasi dan upaya-upaya hukum lainnya yang masih potensial dilakukan oleh seluruh terpidana mati," pungkasnya. (fat/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahasiswa Indonesia di Inggris Galang Aksi #freedomtobreathe, Mau Ikut?


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler