jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum KNPI Haris Pertama menyampaikan sejumlah catatan negatif terkait kinerja pemerintah di bidang ekonomi. Isu yang disorotinya mulai dari bahaya ketimpangan sosial hingga buruknya kinerja menteri bidang perekonomian.
“Pertama, terdapat ketimpangan yang terus meningkat selama kurun waktu 2019 hingga saat ini yang sudah sangat membahayakan karena jumlah orang kaya yang terus meningkat. Sementara orang yang menjadi pengangguran baru meningkat,” ucap Haris.
BACA JUGA: Google Ungkap Pertumbuhan Ekonomi Digital Indonesia Bakal Mencapai USD 140 Miliar
Lebih lanjut Haris menjelaskan ketimpangan tersebut tidak hanya karena pandemi Covid-19, melainkan karena juga kebijakan-kebijakan yang dibuat menteri bidang ekonomi.
Dia mencontohkan kebijakan perlindungan sosial yang terlambat diberikan selama pandemi sebagai salah satu sangat mempengaruhi.
BACA JUGA: Ekonomi Mulai Pulih, CINT Targetkan Peningkatan Penjualan
"Tercatat, jumlah orang kaya baru naik 65 ribu, tingkat Gini ratio khususnya di perkotaan mencapai 0,4", jelas Haris.
Menurutnya ketimpangan ini adalah suatu hal yang harus diwaspadai. Sebab ketimpangan yang terlalu melebar akan sangat mengganggu stabilitas ekonomi dan politik dalam waktu yang cukup panjang.
BACA JUGA: Menkeu Sri Mulyani Punya Firasat Baik soal Pemulihan Ekonomi
"Kedua, mengenai pertumbuhan ekonomi semasa pandemi tidak solid. Sebab pada Kuartal II 2021 pemerintah terlalu terburu-buru melakukan pelonggaran ekonomi, sehingga pada kuartal II ekonominya tumbuh 7,07%, kemudian setelah itu muncul gelombang ke 2 penularan Covid-19 yang mengakibatkan penularan Covid-19 kembali meningkat," papar Haris.
Haris pun membeberkan kelemahan mendasar dari kinerja buruk pemerintahan bidang perekonomian, mengenai koordinasi kebijakan ekonomi yang tidak jelas.
"Seharusnya peran-peran yang diisi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian malah dikerjakan oleh kementerian lainnya. Sementara Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) malah dialihtangankan oleh Kemenko Perekonomian bukan di bidang yang terkait dengan kesehatan, sehingga terdapat koordinasi yang tidak jelas," jelas Haris.
Ketiga, kelemahan Kemenko bidang Perekonomian yang sangat buruk dalam mengelola dana penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
"Jika kita merujuk pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (KPCPEN) terdapat borok yang luar biasa dengan temuan BPK RI selisih dana KC yang mencapai Rp 146,69 triliun, ini semua uang rakyat loh harus dipertanggungjawabkan," beber Haris.
Lebih lanjut Haris menjelaskan, persoalan temuan BPK ini berakar dari adanya 887 kelemahan pada sistem pengendalian internal, 715 ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, dan 1.241 permalahan ekonomi yang mencakup efisiensi dan efektivitas.
"Dalam pemeriksaan PC-PEN tersebut, BPK mengidentifikasi sejumlah masalah terkait serta realisasinya, kemudian pertanggungjawaban, pelaporan PC-PEN, dan manajemen program kegiatan pandemi. Nah loh, ini menteri nya kerja atau tidur? Atau hanya sibuk nyapres 2024?" kata Haris.
Keempat, masalah kebijakan kartu Prakerja yang tidak tepat sasaran dan rawan penyimpangan.
"Implementasi kebijakan kartu Prakerja banyak masalah, dari sistem pendaftaran yang tidak tepat sasaran, berikutnya fitur face recognition untuk kepentingan pengenalan peserta dengan anggaran Rp 30,8 miliar tidak efisien. Harusnya cukup dengan data NIK KTP, kan NIK sudah terintegrasi dengan data kependudukan lainnya," ujar Haris.
Sorotan aspek lainnya adalah pelaksanaan metode program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara karena metode pelatihan hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme kontrol atas penyelesaian pelatihan yang baik.
"Ada dua faktor yang menjadi alasan program pelatihan berpotensi fiktif. Pertama, lembaga Pelatihan sudah menerbitkan sertifikat meskipun peserta belum menyelesaikan keseluruhan paket pelatihan yang telah dipilih. Kedua, peserta sudah mendapatkan insentif meskipun belum menyelesaikan seluruh pelatihan yang sudah dibeli, sehingga negara tetap membayar pelatihan yang tidak diikuti oleh peserta," ujar Haris.
Kelima, adalah persoalan kelangkaan minyak goreng dan kebijakan larangan ekspor CPO yang berimbas pada keresahan masyarakat, petani sawit maupun sektor swasta akibat lemahnya kebijakan yang dikeluarkan oleh jajaran kementerian bidang perekonomian menambah carut marut perekonomian dan politik nasional.
"Larangan ekspor CPO malah menimbulkan masalah baru yaitu tidak terserapnya produksi tandan buah segar (TBS) petani sawit," kata Haris.
Ketika sudah ada larangan ekspor kemudian keuntungan perusahaan kelapa sawit jauh berkurang, maka berdampak ke petani, dimana pembelian TBS ditekan untuk mengatasi masalah profit perusahaan.
"Menteri jajaran bidang perekonomian khususnya Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan sejak awal tidak memiliki pemahaman komprehensif dari rantasi pasok (supply chain) sawit. Hal ini terlihat dari dampak kebijakan larangan eskpor CPO kepada petani sawit yang tidak diantisipasi. Situasi ini akan membuat kolaps industri sawit dan yang paling menjerit pasti petani,” jelas Haris.
Berdasarkan kelima alasan tersebut,lanjut dia, presiden sepatutnya memberikan kartu merah terhadap jajaran menteri bidang perekonomian.
Jika terus dibiarkan, Haris khawatir kondisi ekonomi nasional bisa terus memburuk, terlebih sudah menjelang tahun politik 2024.
"Presiden layak berikan kartu merah kepada Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian dengan kinerja buruk," tutup Haris. (jpnn)
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Muhammad Amjad