Rasendriya Membawa Rizal Abdulhadi ke Puluhan Negara

Sabtu, 09 September 2017 – 00:12 WIB
Rizal Abdulhadi menunjukkan dan memainkan Rasendriya, alat musik yang dia buat dengan bahan dasar bambu. FOTO : SAHRUL YUNIZAR/JAWA POS

jpnn.com - Rasendriya menggabungkan alat musik petik, tiup, dan pukul, yang terbuat dari bambu. Berkat instrumen ciptaannya itu, Rizal Abdulhadi bisa melahirkan album.

Dia menjadi satu-satunya wakil Indonesia ke Kongres Bambu Dunia, dan menyebarkan pesan lingkungan.

BACA JUGA: Kreatif Banget, Ada Radio Bambu Made In Bali

SAHRUL YUNIZAR, Gianyar

DALAM waktu dekat, lima negara Asia sudah menunggu Rizal Abdulhadi. Dimulai dari Malaysia, lanjut ke India, lalu Thailand, Singapura, dan Filipina.

BACA JUGA: Utang Menumpuk, Stres Berat, Kini Omzet Rp 200 Juta

Dalam kurun lima pekan itu, dia tak hanya tampil di festival. Musisi folk alias musik rakyat tersebut juga dijadwalkan mengadakan workshop. ”Membagi ilmu soal bambu,” katanya.

Kalau dikalkulasi, dalam lima tahun terakhir, sudah puluhan negara dia kunjungi. Di berbagai benua.

Begitu pula di dalam negeri. Kecuali Papua, semua pulau-pulau besar telah dia singgahi. Entah untuk tampil, berkolaborasi dengan musisi setempat, atau ya itu tadi, membagi ilmu soal bambu.

Ya, bambu. Dari bahan itulah Rizal menciptakan rasendriya lima tahun silam. Itulah alat musik yang menggabungkan tiga instrumen: gitar, didgeridoo atau celempung, dan perkusi mini.

”Ketiganya mewakili alat musik petik, tiup, dan pukul,” tutur Riza sembari memainkan rasendriya di kediamannya di Petulu, Ubud, Gianyar.

Kamis siang dua pekan lalu (24/8) itu dia tengah menyetel rasendriya. Sebab, esoknya (25/8) alat musik tersebut dia pakai untuk pentas. ”Satu senarnya putus,” ucap pria kelahiran 1988 itu.

Rasendriya lahir dari proses yang tidak sebentar. Juga tidak mudah. Bermula dari Majalengka, Jawa Barat, tanah kelahiran Rizal, yang memperkenalkannya dengan musik kontemporer.

Persisnya, dia belajar dari komunitas musik Konser Kampung Jatitujuh yang bermarkas di Desa Jatitujuh. Pengetahuan musiknya bertambah.

Dia mengetahui bahwa instrumen musik kontemporer bisa dipadukan dengan alat musik lain. Cocok untuk dibuat kolaborasi. Sehingga melahirkan karya luar biasa.

Proses selanjutnya membawa dia dalam perjalanan dari Bandung, tempatnya berkuliah sebelum kemudian drop out ke Lombok, tempat musisi idolanya, Ari Julian, berada. Hanya bermodal gitar akustik pemberian seniman asal Bandung, Herry Dim.

Jadilah Rizal yang ketika itu masih berusia 19 tahun membuka konser kecil dari rumah ke rumah. Dari komunitas ke komunitas.

Itu dilakukan Rizal tidak sebatas demi menuntaskan asa bertemu sang idola. Tapi juga membantu sesama. Semampu yang dia bisa.

”Dapat uang, dikasih ke anak-anak kecil. Buat kaus untuk panti asuhan,” ungkap putra pasangan Enok Wiwin dan almarhum Emeng Supriatman itu.

Sampai menginjakkan kaki di tanah Lombok dan bertemu Ari Julian, dia konsisten melakoni aksi sosial tersebut. Sebab, bagi Rizal, tujuan bermusik bukan untuk punya nama.

Pria yang berulang tahun setiap 30 Agustus itu punya pendirian teguh. ”Bermusik untuk menyampaikan pesan,” ucap Rizal.

Keteguhan tersebut dia pertahankan sampai sekarang. Itu, misalnya, bisa dilihat di album bertajuk Hope yang dia buat dengan memanfaatkan rasendriya.

Dalam album berisi 15 lagu yang dirilis tahun lalu tersebut, dia mengisahkan harapan. Tentang orang-orang yang tidak pernah berhenti berharap.

”Orang-orang yang mendedikasikan hidup mereka untuk perubahan,” ujarnya.

Orang-orang yang dia maksud, antara lain, Ir Soekarno, RA Kartini, Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, Bob Marley, dan Nelson Mandela. Semuanya tokoh besar yang juga punya pengaruh besar.

Bukan cuma di album. Misi musik rakyat sebagai musik perjuangan itu juga direalisasikan di keseharian. Rizal pernah berdiri tegak ketika sebuah sekolah di Sumatera hendak dirobohkan demi kepentingan satu–dua pihak.

Dia juga sudah mengalami jadi sasaran teror orang-orang tidak dikenal karena berada di barisan paling depan untuk membela penduduk salah satu desa di Majalengka. Tepatnya ketika rumah mereka tidak kunjung diperbaiki pemerintah setelah diterjang bencana.

Dia turut pula merasakan pedihnya nasib para petani yang menjahit mulut di depan istana presiden.

Rizal juga pernah berjalan kaki sejauh 40 kilometer untuk mendampingi kelompok minoritas yang tertindas. Semua dia lakukan dengan musik.

Sejak dia mengkreasi rasendriya pada 2012, ranah perjuangannya juga kian lebar. Dia jadi aktif mengedukasi masyarakat soal bambu. ”Buka workshop di sini (Ubud, Red) dan Australia,” imbuhnya.

Hal serupa dia lakukan di setiap tempat yang didatanginya. Dengan rasendriya, Rizal berusaha menunjukkan bahwa bambu bisa menjadi bahan untuk berkarya.

”Untuk mandiri, membuat sendiri. Tidak konsumtif,” jelas dia.

Rasendriya memang tidak dia buat dalam jumlah banyak. Dia juga tidak menjualnya. Hanya dia yang pakai. Tapi, setiap ada yang datang untuk belajar, pasti dia dampingi.

Dia membagikan ilmu untuk memanfaatkan bambu. Mengubahnya menjadi berbagai alat bantu. Bukan hanya instrumen musik.

Rizal memberikan contoh. Bingkai kacamata yang dia kenakan dibuat sendiri. Bahan dasarnya bambu. Lalu, pengeras suara yang dia pakai pun terbuat dari bahan serupa.

Bambu juga dia pakai untuk membuat beragam pajangan dan perkakas di tempat tinggalnya. Bambu pula yang membuat dia diundang ke Kongres Bambu Dunia di Meksiko pada 2015. Menjadi satu-satunya wakil Indonesia di ajang tersebut.

”Saya jelaskan bagaimana bambu bisa sangat membantu,” kata Rizal, berbagi kisah.

Dia mencontohkan gitar yang terbuat dari kayu. Jika ingin berkualitas, kayu yang dibuat untuk gitar harus berasal dari pohon yang ditanam puluhan tahun.

Harganya juga mahal. ”Teman-teman saya di kampung sulit beli,” ucapnya.

Tapi, dengan bambu, gitar berkualitas tidak perlu menunggu puluhan tahun. Bambu bisa tumbuh cepat. ”Lebih sustainable (terbarukan, Red),” jelas Rizal.

Terlebih bagi Indonesia yang kaya sumber daya bambu. Karena itu pula, Rizal ingin menggaet lagi musisi dari luar Indonesia untuk berkolaborasi dengan dirinya. Bukan hanya dalam bermain musik, melainkan juga dalam social project. Termasuk dalam pemanfaatan bambu.

Sampai sekarang pun masih banyak musisi yang dulu berjuang seperti dirinya yang datang ke tempat tinggalnya di Ubud. Belajar dan berkarya bersama.

Rizal juga masih terus berkomunikasi dengan Komunitas Konser Kampung Jatitujuh. Sebab, dari sanalah apa yang dia bisa raih sekarang berasal. ”Mereka yang menginspirasi saya,” katanya. (*/c11/ttg)


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler