jpnn.com - Made Putra Wisatawan atau yang akrab disapa De Awa (46) membetot perhatian masyarakat. Pasalnya, perajin bambu itu mampu berinovasi membuat karya unik.
IB INDA PRASETIA, Bangli
BACA JUGA: Bawa Buku Hukum Sihir dan Bertingkah Aneh, Yusuf Diserahkan ke Polisi
SEBUAH bengkel di Banjar Nyalian, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli penuh dengan bambu. Di tempat itu, De Awa sejak tahun 2000 mengolah bermacam kerajinan dari bahan bambu.
De Awa menuturkan, sebenarnya dia punya basik keterampilan di bidang elektronik. Dari situ, dia terinspirasi untuk membuat bodi radio berbahan bambu.
BACA JUGA: Bule Kabur dari Kerobokan dan Meledek Polri, Beginilah Respons Polda Bali
Karena menggunakan bambu, untuk pembuatan satu buah radio membutuhkan waktu satu hari saja. Untuk komponen radio, dia peroleh dari membelinya di toko elektronik.
Dia merakit komponen radio sendiri. Dari tangan De Awa, pecahan dan potongan bambu dirangkai menjadi seperangkat radio kecil.
BACA JUGA: Sate Babi Sangeh, Tiap Warung Punya Cita Rasa Berbeda
Radio berbentuk unik itu ditawarkan kepada masyarakat via online. Harganya antara Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu.
“Harga tergantung besaran watt. Semakin besar watt maka harga semakin mahal. Selain memang melihat model atau desainnya,” ujar De Awa.
Untuk bahan baku bambu, De Awa mencarinya di wilayah Desa Belega, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Kebetulan Desa Belega merupakan sentra kerajinan bambu.
Bedanya, bambu di Belega dibuat kursi, lemari dan benda rumah tangga yang sudah umum. Sedangkan bambu yang dibuat bodi radio adalah jenis tali dan petung.
“Dua jenis bambu ini yang biasa digunakan. Karena bambu tidak terlalu tebal dan kadar airnya tidak banyak jadi mudah dirangkai,” ujarnya.
Mengenai harga bambu tali Rp 20.000 per batang dengan diameter 6 sentimeter. Sedangkan untuk bambu petung Rp 40.000 per batang.
De Awa mengaku memasarkan karyanya melalui pameran dan memajangnya di Facebook. Sejauh ini produknya sudah dipasarkan di seluruh Bali.
Bahkan, sebelumnya radio buatan De Awa juga dikirim ke luar negeri. Namun, kini permintaan dari luar negeri ataupun dalam negeri sedang turun.
“Kurang tahu juga kenapa pesanan menurun. Apa karena daya beli masyarakat rendah, atau apa, saya juga kurang tahu,” ujarnya.
Lantaran modal membuat radio termasuk komponen radio cukup mahal, dia tidak berani membuat stok. Sebab, dia tak mau menanggung ririkonya jika stok tak laku.
“Kalau ada pesanan baru dibuatkan. Untuk stok saya belum bisa, modal belum ada,” ujar bapak dua anak ini.
De Awa sebenarnya pengin ikut pameran atau festival. Namun, kendalanya pada persoalan dana untuk sewa stan, transportasi dan membeli bahan baku.
Walau begitu, dia tetap optimistis menjalani usaha kerajinan itu. Agar tidak kalah bersaing, De Awa berusaha membuat karyanya berciri khusus.
“Saya disuruh membuat desain luar. Kalau untuk membeli komponen sendiri, saya belum pernah. Ke depan saya akan kembangkan itu,” terangnya.
Radio buatan De Awa menggunakan power bank sebagai catu daya. Harga satu power bank berdaya 10 ribu mAH yang bisa diisi ulang melalui listrik ataupun tenaga matahari adalah Rp 150 ribu.
De Awa pun mengharapkan bantuan pemerintah daerah untuk memfasilitasi promosi. “Selama ini dari Disperindag cukup mendukung kegiatan kami,” tukasnya.(rb/dra/mus/JPR)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nyam..Nikmatnya Makan Sate Babi Bumbu Kacang di Tepi Hutan Monyet
Redaktur & Reporter : Antoni