Rasialisme dan Politik Luar Negeri Indonesia di Pasifik: Teman atau Lawan?

Oleh: Arman Wakum

Rabu, 03 Februari 2021 – 09:00 WIB
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, Arman Wakum. Foto: Dokpri

jpnn.com - Di awal tahun 2021, publik Tanah Air dikejutkan dengan ujaran rasial yang ditujukan kepada pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) asal Papua, Natalius Pigai.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan rasisme atau rasialisme sebagai berikut: Pertama, prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda. Kedua, paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul.

BACA JUGA: Inilah Hasil Rapat Komite I DPD RI dan Menteri Tito Soal Revisi UU Otsus Papua

Beberapa penulis menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada preferensi terhadap kelompok etnis tertentu sendiri (etnosentrisme), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antar-ras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotipe). 

Rasisme yang menimpa minoritas di negara ini bukan merupakan hal yang baru. Tentu publik masih mengingat rasisme yang menimpa mahasiswa Papua pada 2019 di Surabaya yang berujung pada bentrokan, kekacauan, dan kerusuhan di seantero Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat).

BACA JUGA: Natalius Pigai Diserang Kasus Rasial, Uskup Agung Merauke Ikut Merespons, Simak Kalimatnya

Kerusuhan yang meluas menyebabkan tidak hanya harta benda, melainkan korban jiwa dan berbuntut pada aksi sweeping dan pengusiran para pendatang (non-Papua) di beberapa kota di Tanah Papua. Hal ini menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk sigap dalam mencegah kasus-kasus serupa agar tidak terulang di kemudian hari.

Persoalan Papua yang telah menumpuk bertahun-tahun bagaikan jerami kering yang siap untuk terbakar kapan saja. Bagaikan bensin yang disiram ke dalam api. Hanya dibutuhkan pemicu (trigger) dan sebuah persoalan akan membesar tidak terkendali.

BACA JUGA: Pigai Diserang Kasus Rasial, Hiron: Ingat, Luka Belum Kering

Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa, etnis, dan agama. Jika dikategorikan dalam rumpun etnis utama, maka negara ini terbagi dalam dua etnik besar, yaitu Melayu dan Melanesia. Orang Asli Papua (OAP) adalah termasuk Etnis atau Ras Melanesia.

Etnik Melanesia memiliki ciri utama memiliki kulit cokelat hingga hitam serta berambut keriting. Jumlah OAP hingga akhir 2020 tercatat tidak lebih dari 3 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang jumlahnya 169 juta jiwa, maka OAP jelas merupakan minoritas di Indonesia.

Perjalanan Papua bersama Indonesia pun bukanlah sebuah perjalanan yang mulus. Sering sekali mengalami pasang surut dan ketegangan.

Sejarah kemerdekaan Indonesia memotretnya dengan jelas. Bagaimana Hatta dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) memilih untuk tidak memasukkan Papua ke dalam bagian wilayah Indonesia karena faktor etnisitas.

Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Deen Haag, Belanda 1949 pun Papua belum mendapatkan status kepemilikan yang jelas. Tahun 1961 melalui seruan Trikora (Tri Komando Rakyat) oleh Bung Karno mengultimatum Belanda agar secepatnya menyerahkan Papua kepada Indonesia. Melalui proses panjang New York Agreement 1962, Roma Agreement 1962, Pepera 1969 status Papua kemudian beralih kepemilikan kepada Indonesia.

Papua semasa Orde Baru (1967-1998) belum begitu “diperhatikan”. Bahkan menurut sebuah laporan berjudul: Stop Sudah! Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan & Pelanggaran HAM, 1963-2009 yang merupakan hasil dokumentasi bersama kelompok kerja pendokumentasian kekerasan dan pelanggaran HAM Perempuan Papua mengungkapkan bahwa kurang lebih terjadi 15 kali Operasi Militer di Papua sejak 1963-2004.

Ketika angin reformasi melanda Indonesia, barulah negara sedikit demi sedikit mulai memberikan perhatian yang lebih kepada Papua. Hal ini bukan tanpa sebab. Tim 100 yang beranggotakan perwakilan OAP datang menghadap Presiden BJ. Habibie di Istana Negara dan meminta untuk keluar secara baik-baik dari Indonesia (Merdeka Penuh). Hal ini menjadi perenungan dan catatan pemerintah untuk secepatnya mencari win-win solution.

Di masa pemerintahan Megawati, ditandatanganilah UU No. 21 Tahun 2001 untuk memberikan Status Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua. Pemberlakuan Otsus Papua telah memasuki tahun ke-19 (2021). Namun tampaknya Papua masih sulit untuk mengejar ketertinggalannya dari wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Papua masih berada di urutan terbawah dari 34 provinsi diukur memakai beberapa indikator utama kesejahteraan, misalnya angka kemiskinan, tingkat pendidikan, dan kesehatan.

Di samping fakta-fakta di atas, beberapa saat lalu masyarakat Indonesia dikejutkan dengan pemberitaan di media tentang tudingan Vanuatu tentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia di Papua. Indonesia tentu tidak tinggal diam. Melalui diplomat mudanya di PBB, berusaha menjawab tudingan tersebut.

Publik di Tanah Air segera merespons dengan cara menyerang hingga mengancam akan meng-hack situs resmi pemerintahan Vanuatu dengan alasan telah berani mengutak-atik Papua yang adalah bagian sah dari Indonesia.

Sebenarnya ini bukan kali pertama Vanuatu melakukannya. Sejak 2016, Vanuatu konsisten dengan sikapnya terhadap Papua dengan membantu gerakan separatis Papua di luar negeri yang disebut United Liberation Movement of West Papua (ULMWP).

Apa motivasi Vanuatu melakukan semuanya ini? Mengapa Vanuatu konsisten terus melakukannya dan mendukung gerakan pemisahan Papua dari Indonesia?

Jika kita menengok ke belakang, maka kita akan mendapati fakta yang menarik. Dukungan Vanuatu kepada Papua bukan sebuah hal yang datang secara tiba-tiba.

Sejarah mencatat dukungan negara kecil di kawasan Pasifik Selatan ini telah dimulai sejak Pepera 1969, bahkan sebelum Vanuatu merdeka dari Inggris dan Prancis dan Inggris pada 1981.

Vanuatu menolak hasil Pepera 1969 yang menyatakan Papua bergabung dengan Indonesia. Vanuatu bahkan meminta International Court Justice (ICJ) untuk meninjau kembali hasil Pepera 1969 dengan alasan adanya kecurangan Indonesia dan pihak Barat yang ingin mengeruk hasil kekayaan negeri Melanesia itu.

Vanuatu juga meminta agar diadakannya Pepera ulang. Sejak saat itu, dukungan Vanuatu bagi Papua selalu menjadi prioritas negara itu entah siapa saja yang akan memimpin negara tersebut.

Samudera Pasifik sendiri adalah rumah bagi 3 etnik utama, yakni Micronesia, Melanesia, dan Polinesia. Saat ini terdapat dua organisasi utama yang beranggotakan semua negara-negara Pasifik, yang terbentang dari bagian utara hingga selatan.

Ada 2 organisasi utama di kawasan ini, Pasifik Island Forum (PIF) dan Melanesian Sparehead Group (MSG). Jika negara utama di PIF adalah Australia, Selandia Baru, dan Papua Nugini, maka Vanuatu memegang peranan utama di MSG. Negara-negara yang tergabung di MSG ialah Timor Leste, Papua Nugini, Vanuatu, Kaledonia Baru, Kepulauan Salomon, dan Fiji. Total jumlah Etnik Melanesia di negara-negara ini mencapai 9 juta jiwa.

Konsep Melanesian Socialism dan Melanesian Solidarity pertama kali dicetuskan oleh Perdana Menteri pertama Vanuatu ketika negeri ini baru saja merdeka pada 1981. PM pertama saat itu, yakni Walter Hayde Lini dalam rangka mengampanyekan kemerdekaan untuk daerah-daerah etnis Melanesia yang belum merdeka, misalnya orang Kanak di Keledonia Baru, Timor Leste, dan Papua, Hayde mengutarakan kalimat yang kemudian menjadi semboyan Vanuatu hingga hari ini: Vanuatu will not be free until the entire of Melanesia is free.

Kalimat ini menjadi semacam energi dan cita-cita Vanuatu yang ditularkan kepada seluruh negara-negara anggota MSG agar berjuang hingga semua wilayah-wilayah beretnis Melanesia dapat meraih kemerdekaan penuh.

Tindakan Vanuatu yang nyata ialah pada KTT PIF pada 2010. Sebagai negara yang mendapat giliran untuk memimpin, Vanuatu memanfaatkan posisinya untuk membantu menyuarakan tentang kondisi HAM di Papua.

Vanuatu juga memberikan akses bagi para pejuang kemerdekaan Papua yang tergabung di dalam ULMWP untuk terus berjuang. Indonesia menanggapinya dengan masuk serta menjadi bagian dari MSG dan berhasil diterima sebagai Associate Member di MSG setelah sebelumnya hanya sebagai Observer.

Alasan bergabungnya Indonesia di MSG disebabkan karena jumlah etnis Melanesia di Indonesia hampir mencapai 13 juta dan diklaim sebagai yang terbanyak di Pasifik. Status sebagai Associate Member membuat Indonesia memiliki akses utama terhadap dokumen rahasia.

Hak istimewa ini tidak berlaku bagi negara-negara yang masih berstatus Observer. Vanuatu saat itu tidak berhasil untuk menjadikan ULMWP sebagai Associate Member. Namun hal ini tidaklah mematahkan semangat Vanuatu untuk terus membantu ULMWP sebagai perwakilan sah dari kelompok “Pro Papua Merdeka” di luar negeri untuk terus berjuang.

Maka tindakan Vanuatu di PBB sejak 2016-2020 dapat “dimaklumi” karena dilatarbelakangi oleh faktor persamaan etnis atau ras.

Setelah mengetahui fakta sederhana ini, menurut beberapa pakar politik di Tanah Air, Indonesia perlu berhati-hati dalam menanggapi tiap aksi dari Vanuatu. Meskipun berstatus negara kecil, namun dukungan Vanuatu adalah atas dasar persamaan Ras atau Etnis.

Perlu diingat bahwa isu SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) di seluruh dunia adalah isu sensitif yang bisa mendamaikan atau menjadi faktor perpecahan sebuah negara bahkan menyebabkan perang serta genocide.

Maka Indonesia harus mulai belajar bagaimana tidak menggunakan isu ini sebagai komoditas atau barang “dagangan” yang dengan mudah diperjualbelikan di ruang publik, apalagi untuk menyerang seorang tokoh di muka umum.

Hal yang menimpa mantan Komisioner HAM Indonesia asal Papua, Natalius Pigai bukanlah sebuah hal baru. Apalagi ini adalah kesekian kalinya ujaran rasial ini menimpa dirinya. Seperti diberitakan ada banyak tokoh politik Indonesia yang sering melakukan ini dan diikuti oleh para pendukungnya. Jumlahnya bahkan bisa mencapai ribuan dan tersebar di media sosial.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pemerintah tidak serius menyelesaikan isu ini. Di satu sisi, negara berusaha mengambil hati Papua dengan Otsus dan menjadi bagian dari MSG. Di lain sisi, ujaran rasial terhadap Papua tidak diselesaikan dengan tuntas.

Di saat yang bersamaan ada negara kecil di Pasifik Selatan yang terus tanpa henti mengampanyekan kemerdekaan bagi Papua karena merasa saudara-saudaranya sesama ras Melanesia diperlakukan secara semena-mena oleh negara dengan mayoritas ras dan agama yang berbeda.

Kita dapat melihat sendiri bagaimana isu rasisme mengguncang negeri Paman Sam beberapa waktu lalu melalui aksi “Black Lives Matter” serta peristiwa rasial terhadap mahasiswa Papua 2019 yang berimbas pada kekacauan di sebagian besar kota-kota utama di Tanah Papua.

Pemerintah harus belajar dari sejarah bagaimana Konflik Sampit (1998), Ambon (1999), Poso (2000), Papua 2019 terjadi. Indonesia tentu tahu bagaimana Yugoslavia (1980-1990an), Rwanda (1994), dan Sudan (2013) terpecah dan menjadi negara-negara kecil.

Konflik-Konflik di atas sedikit banyak disebabkan karena isu SARA dibiarkan subur dan tidak cepat tertangani. Penyelesaian konflik-konflik ini pun melalui proses yang panjang dan melelahkan.

Bekas-bekas konflik itu bahkan masih dapat dilihat dan ditemui saat ini. Kebijakan politik dalam negeri dan luar negeri semestinya berkaitan erat satu sama lain. Kebijakan luar negeri Indonesia untuk memantapkan posisinya di Pasifik dengan tujuan menarik simpati negara-negara Pasifik agar tetap mendukung Papua sebagai bagian dari Indonesia harus disertai dengan kebijakan dalam negeri yang juga “ramah” terhadap “Etnis Melanesia Papua”.

Jika tidak, maka kehadiran Indonesia di Pasifik yang awalnya bertujuan menjadi sahabat, akan dipandang sebagai musuh. Bukannya teman, melainkan lawan.(***)

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UNAS, Jakarta


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler