Rasio Kredit Bermasalah Jadi Sorotan Tajam

Rabu, 21 Desember 2016 – 03:37 WIB
Ilustrasi. Foto: JPNN

jpnn.com - SAMARINDA – Laju kucuran kredit oleh lembaga keuangan untuk dunia usaha maupun masyarakat diperkirakan meningkat tahun depan seiring proyeksi pemulihan ekonomi.

Meski begitu, risiko tinggi masih menghantui likuiditas perbankan.

BACA JUGA: Aksi Korporasi Demi Perkuat Struktur Permodalan

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kaltim Fauzi Bahtar menyebut, kalangan pengusaha meyakini, rasio kredit bermasalah alias non performing loan (NPL) tahun depan bisa ditekan.

Meski sampai Oktober lalu, statistik masih menunjukkan tanda rawan.

BACA JUGA: Manfaatkan Digital, UKM di Kudus Semakin Menggeliat

Terutama pada sektor-sektor besar, seperti pertambangan dan konstruksi.

“Dari berbagai komponen perekonomian, secara nasional sudah mulai menunjukkan perbaikan. Angka pertumbuhan perekonomian tentu secara tidak langsung mampu membuat peningkatan kredit. Meski di daerah, NPL di daerah kurang bagus, secara umum pengusaha masih optimistis,” kata Fauzi.

BACA JUGA: Jaringan e-Commerce Indosat Sasar Indonesia Tengah dan Timur

Diketahui, rasio NPL Kaltim per Oktober lalu mencapai 8,26 persen, melebihi batas toleransi rata-rata di angka lima persen.

Bahkan, pada beberapa lapangan usaha, rasio NPL menyentuh level dua digit.

Terpisah, Manajer Bidang Komunikasi dan Koordinasi Kebijakan KPw-BI Kaltim Rifki Ismail menjelaskan, NPL di perbankan secara nasional saat ini berada pada kisaran tiga persen.

Sehingga dari sisi korporasi perbankan secara keseluruhan, tingkat kolektabilitas masih aman.

Namun dia menegaskan, tingginya rasio kredit bermasalah di daerah tetap perlu mendapat sorotan.

Perbankan, diyakininya, sudah menyiapkan sejumlah antisipasi.

Dari menalang perputaran dana kantor bank di daerah, hingga memperketat likuiditas pada kelompok nasabah tertentu.

Di sisi lain, BI juga sudah memberlakukan pelonggaran kebijakan moneter untuk mengimbangi keadaan fiskal dan menjaga tingkat konsumsi masyarakat.

Seperti penurunan BI 7-days repo rate yang membuat suku bunga kredit turun secara perlahan, dengan jangka waktu tenggang tiga sampai enam bulan.

“Dari sektor konsumsi, BI telah melonggarkan kebijakan LTV (loan to value/uang muka perumahan), dengan menurunkan persen bunganya agar masyarakat dimudahkan. Juga uang muka pembiayaan kredit kendaraan bermotor yang dilonggarkan,” sebutnya saat diwawancarai Kaltim Post, Sabtu (17/12) lalu.

Rifki menerangkan, BI akan terus mengimbangi kebijakan moneter terhadap kebijakan dan kondisi fiskal.

Dan, untuk menggairahkan konsumsi rumah tangga, meski kredit diperlonggar, tapi perbankan juga mesti selektif memberikan pembiayaan.

“Bank harus menanggung risiko, sehingga perlu juga mempertimbangkan operasional perusahaan. Selain itu, juga perlu mempertimbangkan rasio-rasio standarisasi penghitungan kesehatan keuangan mereka. Perbankan mesti memastikan dana cadangan tetap ideal untuk terus menyalurkan kredit,” ulasnya. (mon/man/k18/jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Komitmen Geo Dipa pada Keselamatan Diganjar Penghargaan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler