Rasional Khalwat

Oleh: Dahlan Iskan

Jumat, 19 Januari 2024 – 07:16 WIB
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - MATI satu belum tumbuh yang baru. Yang akan meninggal itu sendiri terlihat sangat gelisah: "siapa yang akan meneruskan semua ini kalau saya meninggal dunia"

Dua minggu kemudian dia meninggal dunia benaran. Di RS Mitra Plumbon, Cirebon. Rabu dini hari lalu. Di usia 75 tahun.

BACA JUGA: Penduduk Turun

Dia adalah kiai besar. Sastrawan. Lulusan Mesir, Tunisia, Libya dan London.

Anda sudah tahu: beliau ialah Buya Syakur. Dari Indramayu.

BACA JUGA: Psyche Stress

Anak pertamanya baru lulus fakultas kedokteran. Masih koas.

Anak satunya lagi masih di madrasah aliah –setingkat SMA di Tasikmalaya.

BACA JUGA: Trance Berdarah

Buya memang menikah lagi belakangan. Istrinya yang sekarang, kini berusia 55 tahun.

Buya Syakur dikenal luas karena pemikirannya yang rasional. Banyak sekali pendapatnya yang kontroversial.

Seandainya tidak ada YouTube, Buya Syakur hanya akan dikenal oleh kalangan terbatas, padahal dia diakui sebagai kiai hebat pun oleh tokoh sekelas Gus Dur.

"Di Indonesia hanya ada tiga orang yang bisa disebut cendekiawan muslim," ujar Gus Dur suatu saat.

Mereka itu ialah Nurcholish Madjid, Quraish Shihab, dan Buya Syakur.

Tentu seharusnya ada empat: Gus Dur sendiri yang nomor satu.

Dengan YouTube, kini nama Buya Syakur sering viral. Yang bukan orang Islam pun sering mengikuti videonya. Dia memang seorang prulalis.

“Jangan mimpi akan ada persatuan pun dalam Islam sendiri. Terimalah perbedaan," katanya di salah satu videonya.

Buya menyebut ahlusunah pernah membunuh 10.000 orang Islam dari golongan Mu'tazilah. Gara-garanya Mu'tazilah berpendapat Tuhan tidak intervensi dalam perjalanan nasib manusia.

Katakanlah yang non-ahlusunah tidak ada lagi. Syi'ah, Ahmadiyah, Baha'iyah dihabisi.

Tinggal ahlusunah. "Nanti akan bertengkar juga di antara aliran dalam ahlusunah," ujarnya.

Baru pada 1991 Buya kembali ke tanah air. Waktunya habis untuk kuliah.

Selama 20 tahun sekolah. Terakhir beliau mengambil gelar doktor di London.

Jangan kaget: doktornya di bidang teater. Disertasinya tentang dialog dalam teater.

Buya memang seniman. Suka menulis puisi. Sudah dibukukan.

Di kampungnya, Indramayu, Buya mendirikan madrasah. Dia membeli tanah puluhan hektare.

Lokasi kampungnya persis di perbatasan antara Indramayu dan Kabupaten Cirebon. Di Desa Candangpinggan. Persis di pinggir kanan jalan Pantura.

Masih banyak yang ingin dilakukan Buya Syakur: mendirikan universitas di pesantrennya, mendirikan rumah sakit, dan yang sebenarnya hampir dideklarasikan ialah Forum Kajian Islam Moderat (FKIM).

Ada nama-nama besar di dalamnya: K.H. Ma'ruf Amin, K.H. Yahya Cholil Staquf, K.H. Said Aqil Siroj, Buya Husein Muhammad, Haidar Bagir, Prof Komarudin Hidayat, Prof Nasaruddin Umar, Prof Hajam, Prof Dedi Djubaedi, Prof Suteja, Gus Ulil Abshar Abdala, Habib Husein Ja'far Al Hadar, dan banyak lagi.

Buya Syakur yang akan jadi ketua FKIM. Dan yang akan paling dirindukan pengikutnya adalah acara rutin yang biasa dipimpin oleh Buya sendiri. Misalnya, zikir Wamimma di Pantai Tegalagung. Seminggu sekali. Dimulai pukul 24.00 sampai subuh. Benar-benar di pinggir laut.

Lalu ada retret khalwat 40 hari. Setahun sekali. Di hutan Sukatani.

Ada lagi khalwat di bulan puasa. Demikian juga pengajian tafsir Qu’ran setiap malam Jumat dan pengajian filsafat tiap Minggu malam.

Buya Syakur telah pergi. Seperti dalang Seno Nugroho, video-videonya akan hidup terus.

Ribuan video sudah diproduksi Wamimma. Gaya bicaranya khas Buya Syakur –bahasa Indonesia logat Sunda.

Yang juga akan abadi ialah senyum khas Buya Syakur. Dia tidak pernah terlihat marah. Pun kepada para pengkritik kerasnya.

Hidup tidak ada yang sulit bagi Buya –karena semua perbedaan ia terima dengan lapang dada. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Terowongan Hasidic


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler