JAKARTA - Mengubah mindset masyarakat untuk mengurangi konsumsi beras bukanlah hal yang mudah. Apalagi, masyarakat terus dicekoki oleh berbagai program bagi-bagi beras murah seperti raskin.
Kebijakan itu dianggap menjadi penghalang upaya diversifikasi pangan ke bahan baku pangan karbohidrat nonberas lainnya seperti singkong, sagu, dan umbi-umbian. Padahal, berdasar data Kementerian Pertanian (Kementan) diketahui bahwa luas lahan ubi kayu hingga akhir tahun lalu ditaksir mencapai 1,2 juta hektare (ha) dengan hasil panen 19,5 ton per ha.
Kepala Badan Ketahanan Pangan, Achmad Suryana dalam Dialog Publik "Mengangkat Gengsi Singkong untuk Memantapkan Ketahanan Pangan" di Jakarta, (17/4), membandingkan program serupa yang digalakan di era Presiden Sukarno. Menurutnya, tingkat konsumsi singkong dan umbi-umbian lainnya sempat mencapai angka 30 kilogram per kapita per tahun.
Namun perlahan, tingkat konsumsi umbi-umbian semakin menurun seiring dengan berbagai kebijakan yang mengarah untuk mengkonsumsi beras. "Diakui atau tidak, secara perlahan namun pasti, kontribusinya mulai pudar ketika pemerintah menjalankan program raskin. Tidak hanya singkong, jagung dan umbi- umbian juga lainnya," kata Suryana
Menurut Suryana, langkah pemerintah dengan menggulirkan program raskin justru semakin memanjakan masyarakat untuk mengkonsumsi beras. Akibatnya, progran diversifikasi pangan dengan mengalihkan ke singkong dan umbi-umbian akan semakin sulit diwujudkan.
Selain itu, pola seperti ini berdampak pada hasil produksi dan juga luas lahan ubi kayu atau singkong yang cenderung mengalami penurunan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. "Meskipun dilihat dari segi produktifitas rata-rata tertolong naik 4,3 persen per tahun. Namun, butuh kerjakeras ekstra merubah mandset itu," ujarnya.
Pada kesempatan sama, Ketua MAsyarakat Singkong Indonesia (MSI) Suharyo Husen mencatat, produksi singkong selama 10 tahun terakhir cenderung naik. "Kenaikan produksi terjadi karena peningkatan hasil per hektar dari 12,9 ton menjadi 19,5 ton per hektar," tandasnya.
MSI menargetkan pada tahun 2015 nanti petani sudah tidak lagi menjual singkong dalam kondisi basah. MSI menargetkan, petani harus mampu mengolah singkong terlebih dahulu sebelum mereka menjualnyal.
Bentuk olahan singkong dari petani itu bisa berbentuk chips, gaplek, tepung singkong atau modified cassava flour (mocaf). "Diperlukan kebijakan untuk meningkatkan nilai tambah singkong," pungkasnya. (naa/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Target Raup 200.000 Pelanggan
Redaktur : Tim Redaksi