Ratih Asmana Ningrum, Peneliti Protein Antikanker sehingga Murah dan Mudah

Gunakan Media Ragi Tempe untuk Hemat Biaya Ratusan Juta Rupiah

Jumat, 15 November 2013 – 08:18 WIB

jpnn.com - Pengobatan penyakit kanker dan hepatitis sangat mahal dan sulit. Dr Ratih Asmana Ningrum mencoba mengatasi masalah itu dengan mengembangbiakkan protein antikanker dan hepatitis interferon Alpha-2B dengan cara sederhana dan murah.

M. Hilmi Setiawan, Jakarta

BACA JUGA: M Rizki Ramadhan, Bocah Genius Menguasai Empat Bahasa Asing

PUNCAK penganugerahan L'Oreal-UNESCO For Women in Science National 2013 di perpustakaan Universitas Indonesia kemarin berlangsung meriah. Dengan ruangan yang tidak terlalu luas, kemeriahan sangat terasa.

Suasana semakin riuh ketika Presiden Direktur PT L'Oreal Indonesia Vismay Sharma mengumumkan para pemenang. Tepuk tangan mengiringi pengumuman pemenang yang salah seorang dii antara mereka adalah Ratih Asmana Ningrum, 34, dari Bioteknologi LIPI. Karya Ratih mengundang apresiasi dewan juri karena menyodorkan penelitian yang bersinggungan langsung dengan kondisi Indonesia terkini, semakin mengancamnya penyakit kanker dan hepatitis

BACA JUGA: Pegang Teguh Tradisi Tidak Merokok dan Minum Miras

Perempuan kelahiran Bandung, 18 Juni 1979, itu mengatakan bahwa pengobatan kanker dan hepatitis yang umum digunakan saat ini berbahan dasar sama, yakni protein interferon Alpha-2B. "Selama ini laporan yang berkembang menyebutkan, penggunaan protein itu cukup efektif. Tingkat kesembuhannya tinggi," ujar Ratih.

Tetapi, kendalanya adalah biaya pengadaannya yang mahal. Penderita penyakit semakin susah karena intensitas penggunaan yang tinggi.

BACA JUGA: Berencana Menolong, Eh...Malah Ditodong Lalu Dibuang ke Jurang

Penderita hepatitis misalnya. Mereka harus menggunakan protein itu tiga kali seminggu selama 48 minggu. Dengan harga rata-rata protein interferon Alpha-2B sekitar Rp 2,5 juta untuk sekali pakai, itu berarti biaya obat tersebut Rp 360 juta. Ongkos itu belum menghitung jasa dokter atau tenaga medis yang membantu proses injeksi.

Perempuan yang menamatkan S-2 dan S-3 di Sekolah Farmasi ITB itu mengatakan, biaya pengadaan protein interferon Alpha-2B itu bisa dicarikan solusi dengan menciptakan produk lokal. Sejak dua tahun terakhir, Ratih dibantu teman-teman sejatinya mengembangkan protein interferon Alpha-2B lokal.

Dia menyatakan sudah bisa menciptakan dan mengembangbiakkan protein tersebut. Media pengembangbiakannya adalah mikroba dalam bentuk ragi yang biasanya dibuat untuk tempe.

Ratih sudah bisa mengambil kode DNA (deoxyribonucleic acid) dari protein interferon Alpha-2B. Selanjutnya, kode DNA itu dia beri tugas untuk berkembang biak di media ragi tempe. Teknologi yang dia gunakan untuk memindahkan DNA tersebut adalah rekombinan genetic-engineering. "Hasilnya positif," jelas dia.

Perempuan yang menjadi pegawai LIPI pada 2005 itu menuturkan, persoalan tidak berhenti pada pengadaan protein interferon Alpha-2B secara mandiri (dalam negeri) saja. Tetapi, dia juga berusaha memodifikasi penggunaan protein antivirus tersebut.

Menurut dia, penggunaan protein interferon Alpha-2B secara injeksi sangat tidak efektif. "Bayangkan penderitanya itu balita dan harus disuntik setiap hari. Tentu tidak nyaman dan kasihan," papar dia. Penggunaan secara injeksi tentunya juga membutuhkan bantuan tenaga terlatih untuk menghindari infeksi.

Untuk itu, Ratih saat ini berupaya memodifikasi protein interferon Alpha-2B supaya bisa dipakai dengan cara oral (terapi oral). Dengan penggunaan secara oral, balita penderita kanker atau hepatitis tentu tidak akan kesakitan setiap hari. Dia bakal merasa meminum multivitamin saja. (*/c4/kim)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dulu Jualan Samsung-Adidas, Kini Kebab Baba Rafi-Keripik Maicih


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler