Sudah lebih dari 84 ribu warga Indonesia meninggal karena COVID. Virus yang tidak pandang bulu ini bisa menyerang siapa saja, termasuk ratusan pemuka agama dari berbagai keyakinan.
ABC Indonesia menghubungi beberapa elemen dari kalangan Islam, Katolik dan Protestan untuk mendapat angka seberapa banyak tokoh agama yang meninggal di masa pandemi COVID dan jika ada dampaknya bagi komunitas mereka.
BACA JUGA: Para Kepsek Membuat Survei soal PTM, Hasilnya Mencengangkan
Sebagai agama mayoritas di Indonesia, jumlah pemuka agama Islam yang meninggal dunia sejauh ini lebih besar dibandingkan agama lainnya.
Panser Nadhlatul Ulama mencoba mengumpulkan data mengenai ulama yang meninggal di masa pandemi COVID-19.
BACA JUGA: Pemerintah Indonesia Minta Maaf Karena Aparat TNI Injak Kepala Seorang Warga Papua
Menurut Fathurrochman Karyadi, salah seorang anggota tim Panser NU Data, pengumpulan data dilakukan bekerja bersama dengan sejumlah elemen di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).
Fathurrochman mengatakan data ini nantinya bisa dipakai agar mereka bisa berbuat lebih banyak lagi dalam upaya mencegah COVID-19.
BACA JUGA: Tips Tetap Sehat di Tengah Pandemi Covid-19
"Di dalamnya terdapat RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) PBNU, Satkor Covid-19 RMI, PDNU (Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama), Gerakan Ayo Mondok, dan Gusdurian," kata Atunk, panggilan Fathurrochman kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.
Dari informasi yang dikumpulkan sampai hari Senin (26/07/2021) tercatat ada 732 ulama yang meninggal sejak bulan Februari 2020.
Tapi Atunk mengatakan tidak semua dari mereka yang meninggal dunia disebabkan karena COVID.
"Kalau dibilang ada yang wafat karena COVID, ya memang ada akan tetapi belum bisa dipastikan siapa saja dan berapa banyak."
"Karena di pesantren termasuk keluarga kiai dan santri yang wafat belum terbuka hasilnya apakah karena positif COVID atau negatif," kata Atunk lagi.
'Kurang mematuhi protokol kesehatan'
Salah satu pondok pesantren yang pemimpinnya meninggal dunia karena COVID1-9 adalah Pondok Pesantren Krapyak di Yogyakarta yang dikelola oleh Yayasan Ali Maksum.
Pondok pesantren tersebut sekarang dikelola oleh generasi keempat dari keluarga Ali Maksum.
Maya Fitria adalah salah seorang dari generasi keempat tersebut, yang sekarang menjadi Sekretaris Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
Menurut Maya, sama seperti sebagian masyarakat Indonesia lainya, pada awalnya kalangan di pondok pesantren tidak menganggap pandemi COVID-19 sebagai hal yang serius.
Menurut Maya, titik balik dari kesadaran para pengasuh pondok adalah ketika ibu Maya sendiri, Nyai Hanifah Ali meninggal dunia bulan November lalu karena COVID-19.
"Sebelumnya memang para kyai di sini masih kurang mematuhi protokol kesehatan, setelah ibu saya meninggal, baru semua lebih serius mengikuti aturan yang kita terapkan di pondok," kata Maya. Banyak orang kehilangan rujukan
Maya mengatakan di tiga pondok pesantren di Krapyak ada empat tokoh senior yang meninggal selama pandemi dan dua di antaranya postif COVID.
"Dua pengasuh utama Pondok yang meninggal adalah KH Attabik Ali [Pesantren Ali Maksum] karena COVID, dan KH. Najib Abdul Qodir [Pesantren Al Munawir] bukan karena COVID," kata Maya Fitria kepada ABC Indonesia.
Sebagai Satgas di pondok pesantren milik Yayasan Ali Maksum yang memiliki sekitar 4.500 santri tersebut, Maya juga mengatakan untuk memudahkan penanganan COVID-19, termasuk ajakan untuk divaksinasi, adalah keseriusan para guru dalam memahami pandemi.
"Seperti soal vaksin, pada awalnya banyak yang enggan. Namun sekarang dari 400 tenaga pengajar, sekitar 90 persen sudah divaksinasi dosis pertama."
"Kita masih menunggu vaksin kedua bulan depan," ujarnya.
Mengenai dampak meninggalnya para pengasuh utama terhadap keberlangsungan pondok, Maya mengatakan walau para kyai sepuh bisa digantikan oleh mereka yang muda, pondok pesantren seperti yang dikelola Yayasan Ali Maksum tetap sangat kehilangan mereka.
"Beliau yang meninggal kan aset. Kita sangat kehilangan mereka. Kyai itu kan simbol bagi pesantren."
"KH Atabik Ali misalnya sudah menjadi guru bagi banyak murid, murid-muridnya sudah sangat banyak yang kemudian berada di berbagai pesantren."
"Para kyai ini menjadi rujukan bagi banyak pondok," ujarnya. Mencoba mempertahankan jemaat
Pendeta Ronald Rischardt, S. Th adalah koordinator Divisi Relawan Gereja Melawan Covid-19/GMC-19 di PGI, atau Persekutuan Gereja-Gereja se-Indonesia, lembaga yang membawahi gereja Kristen Protestan di Indonesia.
Kepada ABC Indonesia, Pendeta Ronald mengatakan sejauh ini dari informasi yang mereka kumpulkan, sudah ada lebih dari 200 pekerja gereja yang meninggal karena COVID di seluruh Indonesia.
"Yang kita maksudkan sebagai pekerja gereja adalah termasuk pendeta, penginjil, penatua di gereja," jelasnya.
"Kebanyakan memang juga memiliki penyakit bawaan dan juga meninggal karena keterbatasan fasilitas dan keadaan di tempat masing-masing," katanya.
Di Indonesia, PGI membawahi 91 sinode atau majelis gereja yang berbeda.
"Setiap sinode (gereja) memiliki umat minimal 10 ribu orang. Jadi dampak dari pandemi ini juga sangat terasa bagi gereja, tidak saja berkaitan dengan pekerja yang meninggal," kata Pendeta Ronald.
Menurutnya yang paling terasa adalah gereja yang selama ini menggantungkan diri pada kehadiran jemaat di gereja untuk memberikan sumbangan bagi kelangsungan kehidupan gereja.
"Kalau gereja-gereja utama seperti misalnya HKBP, GPI, Gereja Pantekosta dan yang lain, para pendeta mendapat gaji bulanan."
"Gereja ini juga menyumbangkan iuran bulanan ke PGI, kita sekarang melihat juga mereka mulai mengalami kesulitan," kata Pendeta Ronald.
Dengan tidak adanya kegiatan kebaktian langsung di gereja, menurut Pendeta Ronald banyak gereja yang harus kreatif menyelenggarakan kebaktian virtual.
"Karena virtual, jemaat yang biasanya ke gereja A, bisa saja sekarang mengikuti kegiatan di gereja lain. Jadi para pendeta harus kreatif untuk menyelenggarakan kegiatan karena kan bersaing juga dengan gereja lain untuk mempertahankan jemaat dan mencari yang baru," kata Ronald lagi. 'Enggan balik ke gereja'
Di kalangan gereja Katolik juga ada sejumlah pastor yang meninggal dunia.
Menurut Pater Otto Gusti, dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) di Ledalero, Flores di provinsi Nusa Tenggara Timur, yang sebagian besar penduduknya beragama Katolik, virus COVID-19 juga memakan korban di kalangan pekerja gereja.
"Di Flores cukup banyak yang meninggal dunia dua bulan terakhir," ujarnya.
"Jumlah imam yang meninggal dunia karena COVID-19 di Flores dan Lembata lima orang. Sedangkan umat sudah hampir 100 orang.
"Kegiatan gereja untuk sementara dibatasi. Misa dan yang lainya ditiadakan hingga awal Agustus," katanya kepada ABC.
Di Jakarta, Benny Hari Juliawan SJ adalah Provinsial Ordo Jesuit di Indonesia, sebuah ordo dalam hirarki gereja Katolik di Indonesia yang memiliki 248 imam Jesuit, 59 diantaranya bertugas di paroki (gereja lokal).
"Ada 2 orang yang meninggal tahun lalu karena COVID. Satu pastor dan satu bruder. Romo Maryono di Semarang dan Bruder Prihana di Jakarta," katanya.
Menurut Pastor Benny meninggalnya para pastor tentu punya pengaruh pada gereja, tapi tidak sebesar pengaruh yang ditimbulkan oleh pandemi secara keseluruhan.
"Kalau pastor meninggal, paroki akan kehilangan tenaga, tapi bisa dicarikan pengganti dari tempat lain," katanya.
Dampak lebih luas bagi gereja adalah dari tidak hadirnya umat di gereja.
"Baru sekitar November 2020, orang bisa lagi ke gereja, tapi dibatasi hanya sekitar seperlima dari kapasitas biasa .dan orang tua serta anak-anak dilarang datang."
"Ini jadi soal ketika gereja sudah dibuka lagi. Banyak orang muda enggan balik ke gereja," katanya.
Dampak finansial menurutnya juga sudah dirasakan gereja.
"Karena orang tidak ke gereja, otomatis pendapatan gereja dari kolekte turun drastis."
"Selain itu karya gereja seperti rumah retret juga kelimpungan karena orang tidak berani atau tidak bisa datang.
"Biaya pemeliharaan bangunan gereja/rumah retret, biaya pegawai semuanya tetap tapi pemasukan turun," ujarnya.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Puan Maharani Ajak Masyarakat Optimistis Hadapi Pandemi Covid-19