Realisasikan Pajak Karbon Demi Menjaga Daya Saing Indonesia

Minggu, 12 September 2021 – 11:56 WIB
Kabut polusi udara menyelimuti Jakarta, Sabtu (14/9). Laman US Air Quality Index (AQI) atau indeks kualitas udara melansir, kualitas udara Jakarta berada di kategori tidak sehat. Ilustrasi : M Risyal/ANTARA/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pendiri Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI) Eddie Widiono mengatakan pasar dunia saat ini sudah bergerak dalam pengembangan ekonomi rendah karbon di segala lini. 

Tidak berhenti pada pasar domestik masing-masing negara, katanya, pergerakan ekonomi rendah karbon juga sudah mulai menjadi pertimbangan dalam hubungan perdagangan bilateral dan multilateral. 

BACA JUGA: DPR Dukung Insentif Pajak Bagi Industri Netral Karbon

Eddie Widiono mencontohkan Uni Eropa, misalnya, yang secara resmi telah memulai diskusi dengan Parlemen Eropa mengenai implementasi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM).

“Yang mana, produk-produk yang masuk ke pasar Uni Eropa akan mengalami penyesuaian harga sesuai dengan tingkat emisi karbon yang terkandung dalam produk tersebut. Penyesuaian juga menyangkut apakah negara asal produk tersebut sudah mengatur nilai ekonomi karbon,” kata Eddie Widiono dalam podcast bertajuk “Pro dan Kontra RUU KUP Pajak Karbon Untuk Indonesia” yang diselenggarakan PJCI, Sabtu (11/9/21). †il

BACA JUGA: Pertamina Bidik Reduksi Emisi Karbon 34 Ribu Ton per Tahun dari 5.000 PLTS GES

Podcast PCJI diselenggarakan dua sesi melibatkan panelis Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butar Butar selaku, Kepala Seksi Industri Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, serta Dicky Edwin Hindarto dalam kapasitas konsultan energi.

Eddie Widiono menegaskan pentingnya nilai ekonomi karbon bagi daya saing Indonesia. 

BACA JUGA: Perusahaan Swasta Mulai Menerapkan Nol Emisi Karbon

Menurutnya, Indonesia tidak memiliki keleluasaan untuk menunda penerapan nilai ekonomi karbon. 

Konsep daya saing sebuah negara di pasar global saat ini mengalami pergeseran. 

Daya saing tidak melulu ditentukan oleh kualitas atau harga dari barang dan jasa. 

Namun, sudah memperhitungkan biaya eksternalitas yang ditimbulkan dari jejak emisi karbon barang dan jasa tersebut. 

“Menunda penerapan nilai ekonomi karbon dengan tujuan menjaga daya saing Indonesia sebenarnya kontraproduktif dalam kerangka berpikir daya saing global saat ini,” paparnya.

Paul Butar Butar sepakat bahwa penundaan atas pengenaan nilai ekonomi karbon akan berdampak negatif terhadap daya saing industri Indonesia di pasar dunia. 

“Penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) di sektor ketenagalistrikan serta inisiatif-inisiatif rendah karbon yang digunakan di industri-industri lain merupakan contoh nyata pergerakan menuju ekonomi rendah karbon,” ujarnya.  

Sementara, Joko Tri Haryanto mengambil contoh di Amerika Serikat. 

Menurutnya, dengan menggunakan prinsip yang serupa, Amerika Serikat disebutkan memulai pembahasan peraturan Carbon Border Adjustment yang rencananya diterapkan mulai 2024.  

Sebelumnya, dalam Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (29/7), menyampaikan rencana menerapkan pajak karbon pada 2022. 

Pajak karbon menjadi salah satu rencana yang tertuang dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang dibahas bersama DPR. 

Tarif pajak karbon, kata dia, masih didiskusikan hingga ke ranah internasional agar praktik penerapan harga lebih seragam. 

"Ini sebagai salah satu pembahasan kami, pimpinan dari koalisi menteri keuangan untuk perubahan iklim, bersama Finlandia membahas mengenai bagaimana praktik dari penerapan harga karbon yang lebih seragam sehingga menimbulkan kepastian," ucapnya.  

Perubahan iklim seperti diketahui telah menjadi isu krusial nasional maupun global.

Sejumlah negara-negara di dunia berupaya mengurangi dampak dari perubahan iklim dengan melahirkan Konvensi Kerangka Kerja tentang perubahan iklim atau The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang telah disepakati di Rio de Janeiro pada 1992. 

Indonesia sebagai salah satu negara anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) menyatakan ikut berkomitmen menurunkan tingkat emisi sebanyak 29 persen - 41 persen pada  2030 dengan kerja sama internasional yang dituangkan dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) sesuai dengan Persetujuan Paris atau Paris Agreement. 

Secara bersamaan pula, Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim. 

Terdapat lima sektor utama yang menjadi fokus penurunan emisi gas rumah kaca dalam NDC ini, yaitu limbah, energi dan transportasi, hutan dan lahan termasuk gambut, industri serta pertanian. 

Saat ini, pajak karbon di Indonesia masih dalam proses pengajuan dan pembahasan. 

Pemerintah Indonesia tengah mempersiapkan dua skema atau alternatif yang dapat dijadikan kebijakan untuk pemungutan pajak karbon di Indonesia dengan tujuan memaksimalkan pendapatan negara seiring dengan adanya pengurangan emisi gas rumah kaca. 

Rencana tersebut tercantum dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) tahun 2022.

Ada dua skema dicanangkan pemerintah untuk kebijakan pajak karbon. 

Skema pertama  yaitu mengadakan pungutan pajak karbon dengan menggunakan instrumen perpajakan yang sudah tersedia saat ini. 

Skema kedua, dengan membentuk suatu instrumen baru, yaitu adanya kebijakan tersendiri mengenai pajak karbon di Indonesia. 

Hanya saja, untuk instrumen baru ini nantinya akan menjadi revisi dari UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP. (boy/jpnn) 

Jangan Lewatkan Video Terbaru:

BACA ARTIKEL LAINNYA... BGKF Dorong Pemberian Insentif Pajak Bagi Industri Netral Karbon


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler