jpnn.com, JAKARTA - Polda Jawa Timur melalui Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri berencana mengajukkan permintaan red notice ke kantor pusat Interpol di Lyon-Prancis untuk mencari dan menahan sementara aktivis dan pengacara HAM Veronica Koman. Permintaan ini menyusul penetapan status DPO (Daftar Pencarian Orang) terhadap Veronica.
Menurut informasi yang diperoleh Polda Jawa Timur, Veronica saat ini berada di Sydney, Australia. Sehingga, Polda Jawa Timur sempat mendatangi konsulat Australia di Surabaya untuk meminta bantuan kerja sama mencari dan menahan sementara Veronica Koman. Sebagai informasi, Indonesia dan Australia telah menandatangani perjanjian ekstradisi pada 1992 dan disahkan melalui UU No. 8 Tahun 1994.
BACA JUGA: Bang Edi Dukung Polisi Terus Buru Veronica Koman
Pertanyaannya adalah apakah permintaan red notice untuk Veronica akan diterima atau ditolak oleh Interpol? Apakah Australia bisa menyerahkan tersangka Veronica kepada Indonesia?
Konstitusi Interpol
BACA JUGA: Veronica Koman Masuk DPO, Diburu di 190 Negara
Berdasar ketentuan hokum ekstradisi, pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang berada di wilayah negara lain, maka negara yang memiliki yurisdiksi kriminal atas si pelaku ataupun kejahatannya tidak boleh melakukan penangkapan atau penahanan atas si pelaku secara langsung di dalam wilayah negara tempatnya berada, sebab tindakan semacam ini sudah merupakan pelanggaran atas kedaulatan teritorial negara yang bersangkutan.
Maka, mekanisme hukum yang bisa dipakai adalah melalui pengajuan red notice ke Interpol dengan tujuan untuk mencari dan menahan sementara pelaku kriminal agar bisa diekstradisi ke negara peminta.
BACA JUGA: Dewan HAM PBB Minta Veronica Koman Dibebaskan, Ini Jawaban Pemerintah
Namun, perlu dipahami bahwa Interpol (The International Criminal Police Organization) tidak sembarangan mengeluarkan atau menerbitkan red notice. Apalagi kalau kasus yang diajukan tidak termasuk dalam kategori kejahatan yang menjadi fokus kejahatan yang ditangani Interpol. Dan, Lebih mendasar dari hal tersebut adalah Interpol bertindak dalam kerangka prinsip-prinsip dasar, konstitusi Interpol, Deklarasi Universal HAM dan hukum HAM internasional.
Dalam pemrosesan red notice, Interpol menetapkan standar seperti tertera dalam Pasal 2b Peraturan Pemrosesan Data Interpol, lembaga inter-kepolisian ini mensyaratkan data yudisial yang mencukupi sebagai salah satu prakondisi dalam menerbitkan red notice.
Selanjutnya, Interpol akan meninjau atau mempelajari apakah kasus yang disangkakan itu masuk dalam yurisdiksi dan sejalan dengan prinsip, konstitusi, spirit deklarasi HAM universal dan hukum internasional?
Ketatnya prosedur dan mekanisme penerbitan red notice karena Interpol tidak ingin lembaganya disalahgunakan oleh negara-negara anggotanya untuk menangkap dan membungkam oponen ekonomi-politik dalam negeri, jurnalis kritis dan pengacara HAM.
Sebuah studi yang dilakukan Parlemen Eropa dan dipublikasikan pada Februari 2019 dengan judul,” “Misuse of Interpol’s Red Notice and Impact on Human Rights—Recent Development”, menunjukkan adanya penyalahgunaan red notice oleh negara-negara tertentu untuk memperkusi pengacara-pengacara HAM, aktivis masyarakat sipil dan jurnalis-jurnalis kritis yang tentunya melanggar standar-standar internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Interpol karenanya tidak akan menerbitkan red notice untuk kasus-kasus yang sifatnya kontroversial. Hal ini memperlihatkan netralitas Interpol dan mewujudkan ketentuan yang diatur dalam konstitusi Interpol, artikel 3 “Melarang untuk melakukan intervensi apapun dan kegiatan yang bersifat politik, militer, agama dan rasial.”
Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Australia
Kalaupun Interpol mengeluarkan red notice, tidak berarti negara-negara anggota langsung mencari dan menahan pelaku kriminal. Hal ini berhubungan dengan nilai hukum yang berbeda di masing-masing negara dan undang-undang ekstradisi.
Indonesia dan Australia, misalnya telah menandatangani perjanjian ekstradisi pada tanggal 22 April 1992 dan telah disahkan melalui Undang- Undang No. 8 Tahun 1994. Dalam perjanjian tersebut, diatur 33 jenis kejahatan yang bisa diekstradisi; kecuali kejahatan politik.
Kejahatan politik adalah orang-orang yang terkait atau terlibat dalam suatu persoalan politik atau mengandung dimensi-dimensi politik. Mengacu pada asas-asas berkaitan dengan ekstradisi yang dikenal dalam hukum internasional, asas kejahatan politik tidak dapat diekstradisikan.
Bagaimana dengan Veronica?
Penetapan status tersangka terhadap Veronica Koman tidak dapat dipungkiri memiliki relasi yang kuat dengan aktivitasnya dalam menyuarakan isu pelanggaran HAM di Papua. Apalagi dia juga menjadi pengacara Aliansi Mahasiswa Papua dan KNPB. Penetapan status tersangka terhadap Veronica bahkan mendapat perhatian dari ahli-ahli HAM Komisi Tinggi HAM PBB di Jeneva. Mereka mendesak pemerintah Indonesia melepaskan semua tuduhan terhadap Veronica dan memberi perlindungan kepadanya sehingga Veronica tetap bisa melaporkan perkembangan HAM di Papua.
Melihat latar belakang ini dan dihubungkan dengan ketentuan yang diatur dalam konstitusi Interpol, maka dapat disimpulkan bahwa Interpol akan menolak permintaan Indonesia untuk mengeluarkan red notice terhadap Veronica. Kita bisa belajar dari penolakan penerbitan red notice terhadap Riziek Sihab dan pencabutan kembali red notice terhadap Benny Wenda setelah dikaji bahwa kasus Wenda bermotif politik, selain tidak ditemukan catatan yang benar-benar murni kriminal.
Demikian pun Australia tidak dapat memberikan ekstradisi, karena adanya kekecualian-kekecualian dalam perjanjian ekstradisi Indonesia-Australia, yakni kejahatan politik atau berdimensi politik tidak dapat diekstradisi.(***)
Penulis adalah Elias Sumardi Dabur, Konsultan Hukum dengan spesialisasi di bidang hukum internasional. Pernah bekerja sebagai Tenaga Ahli Anggota DPR.
Redaktur & Reporter : Friederich