Referendum Kemerdekaan Bougainville dari Papua Nugini Berlangsung Meriah

Sabtu, 23 November 2019 – 11:31 WIB
Warga mengibarkan bendera Bougainville. Foto: Bougainville News

jpnn.com, BUKA - Referendum kemerdekaan Bougainville dari Papua Nugini digelar hari ini, Sabtu (23/11). Daerah kaya sumber daya alam itu kemungkinan besar akan segera jadi negara merdeka.

Kemeriahan dan antusiasme warga begitu terasa di pulau bagian timur Papua Nugini tersebut. Warga setempat memang sudah berpuluh-puluh tahun menantikan kemerdekaan dan akhir dari konflik dengan Papua Nugini.

BACA JUGA: Referendum Kemerdekaan Bougainville dari Papua Nugini Digelar November

Konflik bersenjata antara pemerintah Papua Nugini dengan pemberontak Bougainville terjadi pada 1988-1997. Sekitar 20 ribu nyawa melayang akibat perang tersebut.

Pada 1998, kedua pihak menyepakati gencatan senjata yang bertahan sampai sekarang. Referendum hari ini merupakan bagian dari kesepakatan tersebut.

BACA JUGA: Perusahaan Tiongkok Berulah di Papua Nugini, Terancam Ditutup

"Bougainville telah melalui perjalanan panjang," ujar Presiden Bougainville John Momis sebelum memasukkan surat suaranya ke dalam kotak.

Momis jadi orang pertama yang menggunakan hak suaranya dalam referendum ini. Kedatangannya di tempat pemungutan suara disambut musik dan warga yang bernyanyi serta menari gembira.

BACA JUGA: Setelah 40 Hari Terombang-ambing di Laut, 2 WNI Ikut Upacara HUT RI di Papua Nugini

Reuters melaporkan, lebih dari 200 ribu orang terdaftar sebagai pemilih. Sebagian besar dari mereka terlihat datang ke tempat pemilihan membawa bendera Bougainville.

Pemungutan suara akan terus dibuka hingga 7 Desember mendatang. Hasilnya akan menentukan apakah Bougainville menjadi negara merdeka atau tetap bersama Papua Nugini sebagai wilayah otonomi khusus.

Perang saudara antara pemberontak Bougainville dengan tentara Papua Nugini dipicu perebutan kuasa atas lahan tambang tembaga raksasa, Panguna. Konflik bermula dari perdebatan atas bagaimana keuntungan dibagi. Namun, pertentangan itu justru memaksa perusahaan tambang multinasional, Rio Tinto, yang menambang di sana berhenti beroperasi.

Saat itu, tambang menjadi sumber pendapatan utama bagi Papua Nugini. Tembaga dari Panguna mencakup tujuh persen dari produksi dunia. (ant/dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler