Refleksi Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2021

Oleh: Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A - Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024

Senin, 31 Mei 2021 – 20:00 WIB
Wakil Ketua MPR RI Dr. H. Jazilul Fawaid atau Gus Jazil. Foto: Humas MPR RI

jpnn.com - Presiden Joko Widodo pada 2016 menetapkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila melalui Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2016.

Penetapan tersebut merupakan suatu hal yang sangat penting dan bernilai strategis bagi bangsa Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mengarusutamakan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui refleksi yang bersifat tahunan.

BACA JUGA: Ini Kata Jokowi di Hari Lahir Pancasila

Bangsa Indonesia diajak untuk merenungkan kembali aspek filosofis dan historis dari kelahiran Pancasila sebagai ideologi, dasar negara, serta pedoman hidup bangsa Indonesia.

Peringatan hari lahir Pancasila tahun ini mengusung tema “Pancasila Dalam Tindakan, Bersatu untuk Indonesia Tangguh”

BACA JUGA: Pegawai KPK Diancam Gugur Apabila tak Lakukan Ini di Hari Pancasila

Tema tersebut sangat relevan apabila dikaitkan dengan situasi dan kondisi hari ini. Harus jujur diakui bahwa nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila mulai tergerus.

Arus globalisasi yang sangat masif dan masuknya anasir budaya luar yang tidak cocok dengan budaya bangsa menjadi penyebabnya. Hal ini menjadi makin kompleks ketika Indonesia menghadapi beragam ancaman yang dapat menggoyahkan persatuan dan kesatuan.

BACA JUGA: Gus Jazil: Saatnya Jokowi Mengundang Presiden Palestina - PM Israel Duduk Bersama

Oleh karena itu, refleksi terhadap hari kelahiran Pancasila menjadi hal yang penting untuk dilakukan.

Pembelajaran

Refleksi terhadap hari lahir Pancasila sejatinya akan menghantarkan bangsa Indonesia pada banyak pembelajaran dan kearifan yang diberikan oleh para pendiri bangsa (founding fathers).

Perumusan Pancasila merupakan langkah visioner yang ditempuh oleh para pendiri bangsa yang peduli akan pentingnya sebuah dasar negara sebagai landasan eksistensi dan dinamika Indonesia pasca kemerdekaan.

Para pendiri bangsa juga menyadari bahwa tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pasca kemerdekaan akan lebih sulit dan kompleks dari sekedar melepaskan diri dari belenggu penjajahan.

Oleh sebab itu, dibutuhkan sebuah pedoman hidup bagi bangsa dan negara dalam berdinamika ke depan.

Perumusan Pancasila sebagai dasar negara bukan merupakan sebuah proses yang mudah. Ada banyak dialektika dan perdebatan di dalamnya. Masing-masing perumus Pancasila, yakni Soekarno, Yamin, dan Soepomo, memiliki pandangannya masing-masing.

Namun demikian, kearifan dan mekanisme musyawarah yang selalu dikedepankan mampu menuntun para pendiri bangsa tersebut untuk bersepakat bulat dengan merumuskan sila-sila Pancasila seperti yang kita miliki hari ini. Yang menjadi pembelajaran penting dalam proses formulasi tersebut adalah sikap para pendiri bangsa yang mengedepankan dialog dan mencari persamaan ketimbang berdiri di atas perbedaan pandangan dan pendapat masing-masing.

Dalam sekuensi perumusan dasar negara, yakni Mei hingga Agustus 1945, ada pembelajaran penting lainnya yang bisa kita semua renungi. Redaksional sila pertama dalam rumusan dasar negara yang disusun oleh Panitia Sembilan yang lazim disebut sebagai Piagam Jakarta akhirnya dianulir karena hanya merepresentasikan agama tertentu, sedangkan sejatinya bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural dan terdiri atas beragam agama dan keyakinan.

Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan digantikan menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan wujud kompromi anak bangsa yang menghargai keberagaman, mengedepankan persatuan dan kesatuan, serta mengindari perpecahan.

Pembelajaran lainnya yang bisa kita semua petik dalam perumusan dasar negara adalah kejelian para pendiri bangsa untuk merumuskan nila-nilai budaya bangsa yang saling terkait dan mendasari satu sama lain sehingga lahirlah sebuah dasar negara dan ideologi yang bersifat holistik, integral, dan komprehensif.

Sila pertama Pancasila, menjadi dasar bagi sila kedua, demikian seterusnya. Eksistensi masing-masing sila tidak berdiri sendiri melainkan saling menopang dan melengkapi satu sama lain.

Hal ini menjadi keunggulan tersendiri yang dimiliki oleh Pancasila yang juga disebut sebagai staatsfundamentalnorm atau sumber dari segala sumber hukum yang ada.

Tantangan Kebangsaan

Proses refleksi dengan menyelami kembali kebajikan-kebajikan yang melekat pada perumusan Pancasila tersebut seyogianya menjadi pijakan bagi segenap bangsa Indonesia saat ini untuk mengaktualiasikan kembali secara murni dan konsisten nilai-nilai Pancasila dalam menghadapi ancaman dan tantangan kontemporer yang ada.

Nilai-nilai Pancasila yang mencakupi nilai religius atau ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan dan kesatuan, nilai musyawarah mufakat serta nilai keadilan, harus mewujud dalam sikap tindak manusia Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi para perumus kebijakan dan pembuat keputusan, nila-nilai Pancasila sudah selaiknya menjadi nafas dalam setiap kebijakan atau keputusan yang diambil agar semata-mata ditujukan bagi kepentingan rakyat.

Tantangan kebangsaan yang dihadapi saat ini sangat relevan sebagai pemantik bagi diaktualisasikannya kembali nilai-nilai luhur Pancasila. Pandemi COVID-19 yang menghantam perekonomian ke jurang resesi pada 2020 menjadi pengingat bagi kita semua agar benar-benar konsisten dalam menerapkan kebijakan ekonomi berbasis Pancasila (Ekonomi Pancasila).

Begitu masifnya bencana alam dan musibah yang terjadi di tanah air sepanjang 2021 menjadi pemantik bagi kita semua untuk semakin mempertebal semangat kemanusiaan dengan mengulurkan tangan dan memberikan bantuan kepada saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Tingginya intensitas konflik dan kekerasan di Papua menjadi pelecut untuk menggalang kembali semangat persatuan dan kesatuan demi mengukuhkan soliditas anak bangsa.

Perbedaan cara pandang dan kebijakan dalam merespons pandemi COVID-19 antarpemangku kepentingan menjadi tantangan terhadap komitmen untuk mengedepankan prinsip musyawarah mufakat dalam menyelesaikan persoalan.

Demikian juga halnya dengan problematika kemiskinan dan pengangguran yang semakin meningkat di era pandemi yang menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam menegakkan prinsip-prinsip keadilan.

Nilai-nilai Pancasila tidak cukup dipahami secara konseptual saja, tapi juga perlu dikontekstualisasikan dalam laku hidup sehari-hari sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.

Tanpa aktualisasi, nilai-nilai Pancasila hanya akan bersifat normatif saja, tergerus dan digempur oleh nilai-nilai budaya asing yang masuk ke ruang-ruang publik, terutama menghantam generasi muda yang sangat rentan terpengaruh.

Refleksi terhadap aspek filosofis dan historis Pancasila juga diharapkan mampu menuntun segenap bangsa Indonesia untuk mengarusutamakan Pancasila dalam segenap aktivitas sehari-hari.

Kita tentu tak ingin menjadi seperti Amerika Serikat dan Tiongkok yang bersikap ambigu dengan ideologi yang dipegang. Tiongkok misalnya, walaupun secara eksplisit menganut sosialisme/komunisme, tapi tak segan-segan mempraktikkan liberalisme/kapitalisme dalam perdagangan.

Amerika Serikat di sisi lain, tak sungkan-sungkan menerapkan kebijakan “Buy American” yang bersifat protektif dan bertentangan dengan prinsip kapitalisme yang dianut.

Pancasila sebagai ideologi bangsa, tidak boleh diterapkan secara ambigu seperti kedua negara tersebut. Pancasila harus manunggal dan mewujud dalam setiap pikiran, ucapan, dan sikap tindak manusia Indonesia sehari-hari. Selamat hari lahir Pancasila 1 Juni 2021.(***)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler