Reforma Agraria di Wilayah Pesisir, Perlu Penegasan Status dan Rekomendasi Penguasaan Tanah Timbul

Selasa, 15 Juni 2021 – 15:00 WIB
Kementerian ATR/BPN menyatakan reforma agraria di wilayah pesisir memerlukan penegasan status dan rekomendasi penguasaan tanah timbul. Foto: ATR/BPN.

jpnn.com, JAKARTA - Berbicara tentang reforma agraria tidak bisa terlepas dari wilayah pesisiri, maupun pulau-pulau kecil, dan pulau-pulau kecil terluar. Hal itu juga terkait dengan tanah timbul yang merupakan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) di wilayah pesisir.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) #RoadtoWakatobi_ dengan tema "Penegasan Status dan Rekomendasi Penguasaan Tanah Timbul" secara daring, Senin (14/6).

BACA JUGA: ATR BPN Bagikan Sertifikat Tanah Lewat Program PTSL Secara Gratis

FGD ini digelar dalam rangka menuju GTRA Summit 2021 yang rencananya akan digelar di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Oktober 2021.

Wakil Menteri ATR/Kepala BPN Surya Tjandra memaparkan persoalan terkait wilayah pesisir dan daerah kepulauan yang dihadapi selama ini antara lain adalah sumber daya pesisir dan laut hanya menyumbang sekitar 20 persen terhadap pendapatan domestik bruto (PDB).

BACA JUGA: Kementerian ATR Sosialisasikan Program Strategis Nasional di Konawe Selatan

Padahal, kata Surya, sekitar 5,8 juta km persegi atau 75,7 persen wilayah Indonesia adalah lautan.

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) di 2020 memperlihatkan bahwa provinsi-provinsi daerah kepulauan justru menunjukkan provinsi-provinsi termiskin seperti NTT, Maluku, NTB, Papua dan Papua Barat

BACA JUGA: KLHK dan Pemkab Wakatobi Sepakati Kerja Sama Pembangunan Infrastruktur

"Ini ironi yang barangkali bisa jadi pemicu untuk mulai berpikir kreatif bagaimana mendukung daerah kepulauan ini," kata Surya Tjandra.

Dia menerangkan kehadiran negara mendukung pembangunan wilayah pesisir telah ditunjukkan dari komitmen Presiden Jokowi untuk membangun dari pinggiran dengan 3T, yakni Terdepan, Terpencil, Tertinggal.

Ini tentunya memikirkan bagaimana negara hadir yang salah satunya untuk wilayah-wilayah pesisir yang selama ini kurang diperhatikan.

"Kita butuh hadir yang lebih pasti, lebih strategic, lebih jelas, dan bagaimana kita wujudkan dari kerja-kerja kita. Dalam hal ini, Kementerian ATR/BPN bisa jadi jangkarnya. Saya kira untuk berbagai sektor lain karena kita seringkali berhadapan langsung dengan kebutuhan masyarakat dan teman-teman kita di daerah paham situasinya seperti apa dan bagaimana kita bisa membantu sektor lain,” terangnya.

Berdasar Pasal 7 Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, potensi TORA dari tanah timbul banyak ditemukan di wilayah pesisir.

Menurut Surya, hal ini perlu direspons dengan baik.

Namun, pertanyaan yang harus dijawab saat ini adalah bagaimana skema dalam penegasan status dan rekomendasi penguasaan tanah timbul untuk memberikan kepastian hak atas tanah dari tanah timbul tersebut.

"Nah, hal ini perlu dibahas sehingga bisa segera menjawab kebutuhan yang ada di lapangan termasuk skema akses reform," tutur Surya.

Dia menjelaskan bahwa fakta di lapangan menunjukkan ada kebutuhan untuk memanfaatkan tanah-tanah timbul di pesisir yang tujuannya meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya nelayan-nelayan tradisional dengan kegiatan-kegiatan yang dapat menaikkan nilai ekonomi.

Oleh karena itu, Surya berharap forum FGD ini bisa menjadi wadah untuk belanja masalah dan solusi dari lintas sektor, sehingga ada bisnis proses yang disepakati bersama untuk nantinya disusun petunjuk teknis penegasan status dan rekomendasi penguasaan tanah timbul.

"Sehingga tanah timbul bisa benar-benar mendatangkan manfaat untuk masyarakat di pesisir yang perlu kita perhatikan lebih jauh," ujarnya.

Anggota Komisi II DPR RI Hugua berharap dengan adanya GTRA Summit 2021 mendatang dapat diperoleh komitmen dari seluruh gubernur yang wilayahnya terdapat pesisir, pulau-pulau kecil dan pulau-pulau kecil terluar untuk mempercepat rencana tata ruang wilayah (RTRW) di masing-masing wilayah.

"Kami harapkan dengan forum ini dapat memberikan penegasan status dan rekomendasi pada tanah-tanah timbul di wilayah pesisir," kata Hugua yang juga hadir pada forum itu.

Direktur Jenderal Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN, Andi Tenrisau menjelaskan di dalam Pasal 65 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang HPL, HAT, Sarusun dan Pendaftaran Tanah, disebutkan bahwa pemberian HAT di wilayah perairan dilaksanakan berdasarkan perizinan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Artinya, sudah jelas pengaturannya bahwa di wilayah perairan dapat diberikan hak atas tanah," tegas Andi Tenrisau.

Hadir sebagai narasumber pada FGD ini yakni Kepala Pusat Kelautan dan Lingkungan Pantai, Badan Informasi Geospasial Yosef Sigit Dwi Purnomo, Direktur Toponimi dan Batas Daerah, Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Sugiarto, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Yusuf, dan Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Kelautan Institut Pertanian Bogor Yonvitner. FGD dimoderatori oleh Direktur Penatagunaan Tanah, Direktorat Jenderal Kementerian ATR/BPN Sukiptiyah. (*/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler