JAKARTA - Setelah 15 tahun dengan sederet capaian, reformasi masih saja mengundang keraguan, pesimisme, dan pertanyaan. Hal itu sangat disayangkan budayawan dan politisi dari Rumah Gagasan HR14 Partai Amanat Nasional (PAN), Erros Djarot.
“Sebenarnya, sejauh ini cukup banyak capaian reformasi, seperti Pemilu secara langsung, keberagaman parpol, otonomi daerah, dan juga kebebasan pers,” kata Erros Djarot kepada wartawan di Jakarta, Rabu (22/5).
Keadaan saat ini,kata Erros Djarot, telah membuat reformasi mengalami penyusutan makna. Reformasi seolah-olah dianggap sebagai kebebasan yang seluas–luasnya. Padahal, masyarakat saat ini membutuhkan pembebasan, pembebasan dari kemiskinan dan kebodohan.
Sedangkan, isu yang berkembang adalah kebebasan yang notabene adalah agenda para elit politik.
“Kebebasan merupakan agenda yang memungkinkan mereka (elit politik) melampiaskan nafsu atas kekuasaan dan kekayaan,” katanya.
Akibat adanya upaya pembelokan makna reformasi dari para elite politik, lanjut Erros Djarot, akhirnya masyarakat pun menjadi bingung. Karena pada prakteknya, reformasi ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, tidak memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat secara luas.
“Ini menandakan bahwa reformasi telah mengalami pembajakan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah masyarakat atau elite yang sebenarnya membutuhkan reformasi?” tanya Erros Djarot.
Prinsip dari reformasi, kata Erros Djarot, adalah perbaikan sistem yang dikembalikan kepada prinsip–prinsip dasar negara yang paling hakiki. Reformasi muncul setelah begitu banyak ketidakadilan dan kesenjangan yang akhirnya menjatuhkan rejim Soeharto tahun 1998.
“Saya merasa terpanggil untuk mengembalikan cita–cita reformasi. Reformasi harus diupayakan untuk berbagai hal yang berdampak meningkatkan kehidupan masyarakat, bukan hanya untuk elite,” ujarnya. (sam/jpnn)
“Sebenarnya, sejauh ini cukup banyak capaian reformasi, seperti Pemilu secara langsung, keberagaman parpol, otonomi daerah, dan juga kebebasan pers,” kata Erros Djarot kepada wartawan di Jakarta, Rabu (22/5).
Keadaan saat ini,kata Erros Djarot, telah membuat reformasi mengalami penyusutan makna. Reformasi seolah-olah dianggap sebagai kebebasan yang seluas–luasnya. Padahal, masyarakat saat ini membutuhkan pembebasan, pembebasan dari kemiskinan dan kebodohan.
Sedangkan, isu yang berkembang adalah kebebasan yang notabene adalah agenda para elit politik.
“Kebebasan merupakan agenda yang memungkinkan mereka (elit politik) melampiaskan nafsu atas kekuasaan dan kekayaan,” katanya.
Akibat adanya upaya pembelokan makna reformasi dari para elite politik, lanjut Erros Djarot, akhirnya masyarakat pun menjadi bingung. Karena pada prakteknya, reformasi ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, tidak memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat secara luas.
“Ini menandakan bahwa reformasi telah mengalami pembajakan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah masyarakat atau elite yang sebenarnya membutuhkan reformasi?” tanya Erros Djarot.
Prinsip dari reformasi, kata Erros Djarot, adalah perbaikan sistem yang dikembalikan kepada prinsip–prinsip dasar negara yang paling hakiki. Reformasi muncul setelah begitu banyak ketidakadilan dan kesenjangan yang akhirnya menjatuhkan rejim Soeharto tahun 1998.
“Saya merasa terpanggil untuk mengembalikan cita–cita reformasi. Reformasi harus diupayakan untuk berbagai hal yang berdampak meningkatkan kehidupan masyarakat, bukan hanya untuk elite,” ujarnya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rincian Pemilu Serentak Belum Disepakati
Redaktur : Tim Redaksi