Reformasi Lahirkan Demokrasi Nominal

Kamis, 30 Mei 2013 – 00:42 WIB
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf mengatakan calon presiden (Capres) yang ada saat ini adalah mutlak dari pilihan partai. Pilihan itu tak memperhatikan keinginan dari masyarakat sehingga terkesan rakyat dipaksa memilih.

“Capres yang ada saat ini seperti Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, Hatta Radjasa adalah para calon digadang-gadang partainya tanpa ada proses demokrasi yang sesungguhnya. Masyarakat dipaksa apa yang disodorkan tanpa bisa memilih yang terbaik,” kata Asep saat dihubungi wartawan, Rabu (29/5).

Untuk menaikan daya saing, para calon berlomba-lomba menggunakan iklan untuk pencitraan demi mendapatkan legitimasi masyarakat akan ketokohan. “Kita ini bukan hanya negara demokratis tapi juga agamis. Iklan hanya menampilkan citra semata yang seolah pro-rakyat tanpa bukti,” tegas Asep.

Kalau memang para tokoh itu pro-rakyat dan memiliki rekam jejak yang jelas seperti yang sering ditampilkan dalam iklan, ketua partai seharusnya tidak takut untuk maju bersaing secara demokratis melalui konvensi berdasarkan suara rakyat. ”Mereka takut bersaing dengan rakyat biasa yang bisa dilihat dari proses pemilihan mereka sebagai Capres di partainya masing-masing,” tegasnya.

Makanya, ia tidak heran bila di Indonesia ada capres yang sudah kalah masih maju lagi dan maju lagi. Menurut Asep, mereka tidak malu, maju tanpa proses demokratis. Berulang-ulang mereka lakukan ini. Partai politik pengusung Capres tersebut sesungguhnya mengabaikan UUD bahwa setiap warga negara yang memenuhi syarat bisa menjadi calon presiden.

“Hak itu menjadi terbatas. Ini pengabaian demokrasi sehingga maknanya menjadi semu. Tokoh yang tidak punya partai dan uang jangan berharap bisa menjadi Capres. Mereka hanya ramai ditingkat wacana saja," ungkap Asep.

Masyarakat baru bisa berharap dapat pemimpin terbaik kalau ada perubahan mendasar seperti adanya konsensus bahwa semua partai harus melakukan konvensi. ”Kalau itu yang terjadi akan luar biasa hasilnya, tapi itu juga sulit, karena semua punya kepentingan yang tidak mudah untuk dikompromikan. Jika dulu zaman orde baru, demokrasi itu baru pada tataran semantik atau bahasa saja, pada orde reformasi lahir demokrasi nominal, jadi hanya ada lembaga dan perangkatnya saja, namun belum ada ruhnya,” kata Asep. (fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dijuluki Ustaz Kecil, Penampilan Fathanah Meyakinkan

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler