JAKARTA - Mantan Sekretaris Jenderal Ikatan Sosiolog Indonesia, Tripanaji mengatakan, Indonesia memerlukan regulasi yang mengatur tentang organisasi kemasyarakatan (ormas).
Alasannya, jika tak ada payung hukum yang mengatur tentang ormas, ia khawatir, kebebasan berserikat dan berkumpul justru akan kebablasan. Karena itu, diperlukan payung hukum setingkat UU.
“ Saya ambil contoh, terjadi kasus penolakan FPI di Palangkaraya. Ya itu kan aspirasi. Tapi, bila penolakan itu memakai cara kekerasan, bawa parang dengan bawa massa itu kan tak benar, hanya sesuai selera saja. Nah, RUU Ormas hadir, agar tak ada cara-cara seperti itu,” kata Tripanaji, yang juga Anggota Tim Perumus RUU Ormas, di Jakarta, Kamis (28/2).
Menurut dia, tak ada nuansa represif dalam RUU Ormas. Ia ambil contoh tentang sanksi terhadap ormas yang melakukan perbuatan melawan hukum.
Kata dia, tak serta merta sanksi itu akan dijatuhkan langsung ke ormas, namun akan dilihat, apakah itu dilakukan oleh oknum ormas atau ormas secara kelembagaan. Dan bukan pemerintah yang akan menjatuhkan sanksi, tapi tetap lewat pengadilan.
“ Di Pengadilan pun, ormas atau oknum ormas yang tak setuju itu, tetap diberi ruang untuk melakukan pembelaan. Intinya, RUU Ormas ini, bukan untuk memberangus, tapi menjadi regulasi yang mendorong pemberdayaan ormas,” kata dia.
Karena konstitusi pun menyatakan, bahwa benar hak kebebasan berserikat warga itu wajib dijamin. Namun, dalam pasal 28 J, diatur pula, bahwa hak kebebasan berserikat dan berkumpul warga itu tak boleh kemudian melanggar hak warga lainnya. Dalam kontek itu, negara bisa hadir lewat aturan perundang-undangan.
“ Saya kira, perlu ada dialog lagi. Misal sekarang Pak Din Syamsuddin menolak RUU Ormas, ya mari dialog. Sepengetahuan saya, Muhammadiyah, NU, bahkan FPI, adalah organisasi yang paling getol berdialog dalam pembahasan RUU Ormas. Dan mereka sepakat memang perlu regulasi itu,” kata Tripanaji.
Sementara itu, Kasubdit Ormas Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar, mengatakan, bahwa sanksi dalam RUU Ormas tetap bersifat persuasif.
Misalnya sanksi administrasi diberikan apabila ormas memang melanggar aturan hukum.
Tapi, pemerintah atau Pemda, dalam memberikan sanksi administratif, itu setelah melalui berbagai upaya pembinaan yang dilakukan terhadap ormas bersangkutan, tapi tetap tak diindahkan.
Jadi semangatnya pemerintah atau Pemda mendahulukan upaya persuasif berupa pembinaan-pembinaan.
Pemerintah atau Pemda, lanjutnya, juga wajib berkoordinasi atau meminta saran pertimbangan aparat penegak hukum sebelum memberikan sanksi, hal ini penting untuk mencegah subyektifitas.
"Dengan demikian tidak ada satupun celah yang memungkinkan pemerintah atau Pemda subyeketif apalagi represif. Semangat utamanya adalah pembinaan dan pemberdayaan,” tuturnya. (sam/jpnn)
Alasannya, jika tak ada payung hukum yang mengatur tentang ormas, ia khawatir, kebebasan berserikat dan berkumpul justru akan kebablasan. Karena itu, diperlukan payung hukum setingkat UU.
“ Saya ambil contoh, terjadi kasus penolakan FPI di Palangkaraya. Ya itu kan aspirasi. Tapi, bila penolakan itu memakai cara kekerasan, bawa parang dengan bawa massa itu kan tak benar, hanya sesuai selera saja. Nah, RUU Ormas hadir, agar tak ada cara-cara seperti itu,” kata Tripanaji, yang juga Anggota Tim Perumus RUU Ormas, di Jakarta, Kamis (28/2).
Menurut dia, tak ada nuansa represif dalam RUU Ormas. Ia ambil contoh tentang sanksi terhadap ormas yang melakukan perbuatan melawan hukum.
Kata dia, tak serta merta sanksi itu akan dijatuhkan langsung ke ormas, namun akan dilihat, apakah itu dilakukan oleh oknum ormas atau ormas secara kelembagaan. Dan bukan pemerintah yang akan menjatuhkan sanksi, tapi tetap lewat pengadilan.
“ Di Pengadilan pun, ormas atau oknum ormas yang tak setuju itu, tetap diberi ruang untuk melakukan pembelaan. Intinya, RUU Ormas ini, bukan untuk memberangus, tapi menjadi regulasi yang mendorong pemberdayaan ormas,” kata dia.
Karena konstitusi pun menyatakan, bahwa benar hak kebebasan berserikat warga itu wajib dijamin. Namun, dalam pasal 28 J, diatur pula, bahwa hak kebebasan berserikat dan berkumpul warga itu tak boleh kemudian melanggar hak warga lainnya. Dalam kontek itu, negara bisa hadir lewat aturan perundang-undangan.
“ Saya kira, perlu ada dialog lagi. Misal sekarang Pak Din Syamsuddin menolak RUU Ormas, ya mari dialog. Sepengetahuan saya, Muhammadiyah, NU, bahkan FPI, adalah organisasi yang paling getol berdialog dalam pembahasan RUU Ormas. Dan mereka sepakat memang perlu regulasi itu,” kata Tripanaji.
Sementara itu, Kasubdit Ormas Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar, mengatakan, bahwa sanksi dalam RUU Ormas tetap bersifat persuasif.
Misalnya sanksi administrasi diberikan apabila ormas memang melanggar aturan hukum.
Tapi, pemerintah atau Pemda, dalam memberikan sanksi administratif, itu setelah melalui berbagai upaya pembinaan yang dilakukan terhadap ormas bersangkutan, tapi tetap tak diindahkan.
Jadi semangatnya pemerintah atau Pemda mendahulukan upaya persuasif berupa pembinaan-pembinaan.
Pemerintah atau Pemda, lanjutnya, juga wajib berkoordinasi atau meminta saran pertimbangan aparat penegak hukum sebelum memberikan sanksi, hal ini penting untuk mencegah subyektifitas.
"Dengan demikian tidak ada satupun celah yang memungkinkan pemerintah atau Pemda subyeketif apalagi represif. Semangat utamanya adalah pembinaan dan pemberdayaan,” tuturnya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dipo Minta Masalah Anas tak Dibawa ke HMI
Redaktur : Tim Redaksi