jpnn.com - BUKITTINGGI – Para pakar hukum tata negara (HTN) merekomendasikan agar keberadaan Mahkamah Partai yang diatur dalam Undang-Undang tentang Partai Politik lebih diperkuat lagi.
Kelembagaan mahkamah partai politik, baik komposisi dan syarat pengisiannya, harus diatur dalam undang-undang. Begitu pula dengan mekanisme penyelesaian sengketa parpol, mesti diatur secara detail.
BACA JUGA: Simak! Ini Saran dari Kemenkes untuk Lawan Virus Zika
Demikian rekomendasi yang disampaikan pakar-pakar hukum tata negara, sebelum mengakhiri Konfrensi Nasional Hukum Tata Negara (KHTN) ke-3 di Balai Sidang Bung Hatta, Bukittingi, Selasa (7/9).
Konfrensi itu akan digelar kembali dua tahun mendatang, dengan melibatkan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara.
BACA JUGA: 90 Persen Penduduk Sudah Rekam e-KTP
Sebelum menyampaikan rekomendasi terkait penyelesaian sengketa parpol, para peseta KHTN ke-3, menggelar parallel group discussion selama hampir dua hari. Diskusi berseri yang difasilitatori Khairul Fahmi itu, menghadirkan lima narasumber dan puluhan kertas kerja pemakalah.
Kelima narasumber pemancing diskusi itu yang dihadirkan itu adalah mantan Hakim Konstitusi Republik Indonesia Profesor Dr Maruarar Siahaan.
BACA JUGA: Silakan Kemenkominfo Putuskan Jika Ingin Blokir Aplikasi Gay
Kemudian dosen Universitas Atma Jaya Jogyakarta, Dr W Riawan Tjandra. Serta, ilmuwan sosial-politik dari Eropa, Philips J Vermonte dan Dr Paul Rowland.
Selain merekomendasikan penguatan mahkamah parpol dalam undang-undang, peserta KNHTN ke-3 berharap, mahkamah parpol independen dan objektif dalam menyelesaikan sengketa internal. Pemeriksaan perkara di mahkamah parpol harus bersifat terbuka untuk publik.
"Sehingga mahkamah partai sebagai institusi peradilan, mampu menciptakan keadilan substansi dan progresif," kata Dr Sirajudin, penulis buku Dasar-Dasar Hukum Tata Negara itu.
Selain itu, keputusan mahkamah partai, diharapkan peserta KNHTN ke-3, benar-benar tegas, final dan mengikat. "Keputusan mahkamah partai mestinya mengikat, tanpa dapat diajukan kembali ke pengadilan," kata Emi Hajar Abra.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan berpendapat, jika putusan mahkamah parpol masih bisa dibawa ke pengadilan berarti terjadi inkonsinsesti undang-undang.
"Dengan diberikannya ruang pada pengadilan negeri adalah bagian dari bentuk tidak taatnya penegakan hukum," kata Emi.
Pendapat berbeda disampakan Fauzin dari Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura. Dalam makalahnya, Fauzin berpendapat, mahkamah hanya menjadi mekanisme penyelesaian perselisihan di internal parpol. Putusan mahkamah partai tidak memiliki kekuatan hukum yang benar-benar mengikat.
"Ide mahkamah parpol menarik didorong menjadi lembaga di luar parpol. Sehingga mahkamah parpol menjadi instrumen negara, bukan instrumen parpol. Secara kelembagaan, harus bersifat mandiri dari intervensi manapun," usul Fauzin.
Usulan lain disampaikan pimpinan Bawaslu DKI Jakarta Achmad Fachrudin. Menurut Achmad, untuk menyelesaikan konflik internal partai secara demokratis dan bertumpu pada kekuatan internal parpol, perlu dilakukan judical review Pasal 32 Ayat 5 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Parpol.
Alasan Achmad, berdasarkan pengalaman empirik, khususnya dalam kasus sengketa internal Golkar dan PPP, keputusan mahkamah partai yang disebutkan final dan mengikat, tidak bisa dijalankan secara operasional.
Bahkan menjadi pemicu konflik berkepanjangan. "Lebih baik pasal tersebut dihapuskan saja atau minimal direvisi," sarannya.
Saran untuk penyelesaian konflik internal parpol juga disampaikan Esty Ekawati, peneliti politik LIPI.
Dia berpendapat, parpol yang kini terlibat sengketa, mestinya bisa belajar dari konflik PKB semasa kepemimpinan Gus Dur.
Belajar dari pengalaman tiga kali konflik internal, PKB mulai melakukan pembenahan partai pasca Pemilu 2009.
Strategi yang dilakukan PKB antara lain membangun silaturahmi dengan kiai besar yang sempat keluar dari PKB. Kemudian memberikan bantuan dan program kepada kiai untuk kebutuhan pesantren.
Bukan itu saja, PKB juga memantapkan nilai-nilai NU. Kemudian, menyatukan tokoh-tokoh besar yang beperan dalam membesarkan PKB, seperti Hasyim Muzadi, KH Ma'aruf Amin, Khofifah Indar Parawansa, Machfud MD, dan lainnya.
Jadi Naskah Akademik
Menurut Pakar Hukum Tata Negara dari Unand, Profesor Saldi Isra, semua rekomendasi yang tertampung dalam KNHTN ke-3, akan dituangkan dalam bentuk naskah akademik yang akan diserahkan kepada pemerintah sebagai dasar revisi undang-undang parpol. "Nanti, akan diserahkan," ujarnya.
Pemerintah sendiri, diperkirakan akan menyambut baik rekomendasi dari peserta KNHTN ke-3.
Apalagi, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang hadir dalam salah satu seminar mengatakan, peran mahkamah partai memang perlu diperkuat.
"Sebab, dalam kasus PPP maupun Golkar, penyelesaian mahkamah parpol masih juga menghadirkan keributan. Karenanya, perlu pengaturan sangat mendalam. Diperlukan juga pengaturan internal yang demokratis," kata Yasona Laoly.
Dia berpendapat, penyelesaian konflik internal parpol, tidak hanya menyangkut dari tingkat tertinggi, tapi mesti sampai ke tingkat terindah. Parpol yang matang dan moderen, diyakini Yasona, bisa menyelesaikan hal itu.
"Pemerintah selalu dituding melakukan intervensi. Padahal (konflik parpol),bisa diselesaikan secara internal. Bukan intervensi pemerintah. Mau tidak mau, untuk kedepannya bagaimana kita mendewasakan parpol sebagai salah satu media demokrasi. Jangan sampai sengketa parpol membuatnya tidak berperan lagi," ulas Yasonna Laoly. (frv/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Harta Bupati Banyuasin Mulai Diobrak-abrik KPK, Hasilnya...
Redaktur : Tim Redaksi