JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo menilai Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, tidak lagi layak dipertahankan. Sebab PP dimaksud sangat mudah disalahgunakan dan diperdagangkan.
“Sudah bukan rahasia lagi bahwa remisi dalam praktiknya ibarat barang dagangan. Sangat mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berwenang melaksanakan PP ini, yakni oknum Kemenhukham,” ujar Bambang di Jakarta, Minggu (14/7).
Menurut pria yang akrab disapa Bamsoet ini, para oknum dimaksud bahkan tidak lagi segan-segan mengajukan pertanyan berani bayar berapa. Dan biasanya pertanyaan dialamatkan kepada para narapidana kasus korupsi dan terpidana kasus narkoba. Karena mereka dinilai masih memiliki sejumlah uang yang sangat besar.
Sementara di sisi lain, para terpidana dua kasus ini juga biasanya berani bayar berapa saja untuk mendapatkan keringanan hukuman.
Sebagai contoh ia memaparkan heboh pemberian grasi bagi Meirika Franola alias Ola, terpidana mati dalam kasus narkoba. Saking hebohnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD ketika itu menduga kuat jaringan mafia narkoba sudah berhasil menembus Istana Negara.
“Proses untuk mendapatkan grasi itu pasti cukup panjang. Berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan rekan-rekan Ola agar rekomendasi grasi bisa sampai ke meja presiden? Artinya selain bisa diperdagangkan, PP Nomor 99/2012 pun bisa dijadikan alat untuk memeras,” katanya.
Karena itu belajar dari kasus grasi untuk Ola, Bamsoet menilai PP 99 tahun 2012 sebaiknya dibatalkan agar tidak lagi terjadi ekses di kemudian hari.
“Sejak masih digagas Denny Indrayana, ide pengetatan remisi bagi terpidana kasus korupsi, kasus narkoba dan kasus terorisme sudah mengundang perdebatan. Juga abnormal karena semula digunakan kata moratorium remisi,” ujarnya.(gir/gil/jpnn)
“Sudah bukan rahasia lagi bahwa remisi dalam praktiknya ibarat barang dagangan. Sangat mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berwenang melaksanakan PP ini, yakni oknum Kemenhukham,” ujar Bambang di Jakarta, Minggu (14/7).
Menurut pria yang akrab disapa Bamsoet ini, para oknum dimaksud bahkan tidak lagi segan-segan mengajukan pertanyan berani bayar berapa. Dan biasanya pertanyaan dialamatkan kepada para narapidana kasus korupsi dan terpidana kasus narkoba. Karena mereka dinilai masih memiliki sejumlah uang yang sangat besar.
Sementara di sisi lain, para terpidana dua kasus ini juga biasanya berani bayar berapa saja untuk mendapatkan keringanan hukuman.
Sebagai contoh ia memaparkan heboh pemberian grasi bagi Meirika Franola alias Ola, terpidana mati dalam kasus narkoba. Saking hebohnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD ketika itu menduga kuat jaringan mafia narkoba sudah berhasil menembus Istana Negara.
“Proses untuk mendapatkan grasi itu pasti cukup panjang. Berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan rekan-rekan Ola agar rekomendasi grasi bisa sampai ke meja presiden? Artinya selain bisa diperdagangkan, PP Nomor 99/2012 pun bisa dijadikan alat untuk memeras,” katanya.
Karena itu belajar dari kasus grasi untuk Ola, Bamsoet menilai PP 99 tahun 2012 sebaiknya dibatalkan agar tidak lagi terjadi ekses di kemudian hari.
“Sejak masih digagas Denny Indrayana, ide pengetatan remisi bagi terpidana kasus korupsi, kasus narkoba dan kasus terorisme sudah mengundang perdebatan. Juga abnormal karena semula digunakan kata moratorium remisi,” ujarnya.(gir/gil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Densus Kirim Tim ke Hutan Tamanjeka
Redaktur : Tim Redaksi