jpnn.com, JAKARTA - Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme terus mendapat kritik dari berbagai pihak.
Pasalnya, perpres itu dinilai tak sesuai ketatanegaraan dan rentan akuntabilitas.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Isu PKI Muncul Lagi, TNI dan Polri Dikerahkan di 25 Kota, New Normal
Koordinator Public Interest Lawyer Network (PilNet) Indonesia Erwin Natosmal Oemar menuturkan, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme sudah menjauh dari tupoksi TNI dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
“Isu terorisme adalah isu penegakan hukum, bukan isu keamanan. Jadi meletakan TNI dalam penanganan terorisme sangat tidak tepat dan merusak sistem peradilan pidana terpadu yang sudah ada,” kata dia pada Kamis (28/5).
BACA JUGA: Muncul Petisi Tolak Perpres TNI Tangani Terorisme
Dia pun mengingatkan, salah satu implikasi serius apabila perpres yang memperbolehkan TNI menangani terorisme itu disahkan adalah minimnya akuntabilitas pertanggungjawaban militer ketika melanggar hukum.
DPR juga diimbaunya untuk melihat kembali reformasi yang selama ini terus diupayakan.
BACA JUGA: Perpres Pelibatan TNI Dalam Menangani Terorisme Bakal Timbulkan Kerancuan
“Sepanjang UU Peradilan Militer belum direvisi, maka akan sulit bagi untuk menagih transparansi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh TNI. DPR harus patuh dan cermat melihat posisi ketatanegaran TNI dalam konstitusi. Jangan hanya karena kehilangan akal, capaian reformasi mundur jauh ke belakang,” tambahnya.
Dia juga menekankan, pelibatan TNI merupakan upaya paling terakhir untuk kondisi-konisi tertentu. Itu pun dengan catatan memastikan adanya revisi UU Peradilan Militer.
“Tidak dengan ujug-ujug memasukan TNI dalam kerangka penegakan hukum seperti dalam perpres ini,” tegasnya.
Sebelumnya, awal Mei 2020 lalu pemerintah menyerahkan draft Peraturan Presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme ke DPR.
Penyerahan rancangan perpres itu memicu reaksi sejumlah aktivis, akademisi hingga tokoh masyarakat melalui penandatangan petisi.
Petisi itu ditandatangani Direktur Imparsial Al Araf sekaligus juru bicara petisi dan Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM Najib Azca.
Kemudian, sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat yang menandatangani Petisi Bersama Masyarakat Sipil di antaranya, Guru Besar Fisipol UGM Prof Mochtar Mas'oed, Guru Besar m FH UGM Prof Sigit Riyanto, Alissa Wahid (putri mendiang Gus Dur), dosen FISIP UI Nur Iman Subono, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid, dan dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas. (cuy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan