jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat melalui Petisi Bersama Masyarakat Sipil menolak Rancangan Peraturan Presiden (Perpres), tentang Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme, dianggap berpotensi mengganggu criminal justice system, mengancam HAM dan demokrasi.
“Rancangan perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme mengganggu criminal justice system, mengancam HAM dan demokrasi,” kata Direktur Imparsial sekaligus juru bicara petisi, Al Araf dalam keterangannya, Rabu (27/5).
Al Araf menjelaskan pada 4 Mei 2020 lalu, pemerintah menyerahkan draf perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme kepada DPR. Selanjutnya DPR akan memberikan pertimbangan kepada pemerintah.
BACA JUGA: New Normal, Ribuan Pasukan TNI/Polri Dikerahkan, Pengamat: Keniscayaan
Al Araf menilai bahwa hukum dalam masyarakat demokratik berfungsi untuk memberi, mendefinisikan, dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara. Yakni dengan cara menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of power.
“Dengan berpijak pada hal itu, maka produk kebijakan penanganan teorisme di Indonesia harus dapat menjaga keseimbangan imperatif antara perlindungan terhadap liberty of person dalam suatu titik dengan perlindungan terhadap security of person," lanjutnya.
Lebih jauh, Al Araf menilai pengaturan tentang kewenangan TNI di dalam draf perpres terlalu berlebihan sehingga akan mengganggu mekanisme criminal justice sistem, mengancam HAM dan kehidupan demokrasi itu sendiri.
BACA JUGA: Hebat! Putra Asli Papua Ini Lulus Seleksi TNI AD
“Pengaturan kewenangan penangkalan dalam rancangan peraturan presiden sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya (Pasal 3 draft Perppres). Sementara itu, peraturan presiden ini tidak memberi penjelasan lebih terperinci terkait dengan ‘operasi lainnya’,” papar Al Araf.
Dengan pasal itu, kata Al Araf, TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri, sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama ia mengingatkan bahwa secara konsepsi, istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tetapi hanya pencegahan.
BACA JUGA: Gegara Sepucuk Surat, Trump Gentar Serang Kapal Tanker Iran, Nih Isinya!
Berbeda halnya dengan rancangan perpres tersebut, TNI diberi kewenangan untuk dapat melakukan penangkalan.
“Kami menilai bahwa pemberian kewenangan yang luas kepada TNI dalam mengatasi terorisme tanpa dibarengi dengan kejelasan mekanisme akuntabilitas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum tentu membahayakan hak-hak warga," kata dia.
Menurutnya, bila terdapat kesalahan operasi di lapangan yang mengakibatkan hak-hak warga negara terlanggar, maka mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas.
"Karena militer masih tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer dan belum tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum,” ungkapnya.
“Kami menilai rancangan perpres tersebut akan mengganggu mekanisme criminal justice system dalam penanganan terorisme di Indonesia,” tambahnya.
Dengan alasan kejahatan terorisme, militer yang bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum dikhawatirkan dapat melakukan fungsi penangkalan dan penindakan secara langsung dan mandiri dalam mengatasi ancaman kejahatan terorisme di dalam negeri.
Hal ini tidak sejalan dengan hakekat dibentuknya militer (raison d’etre) sebagai alat pertahanan negara, yang dilatih untuk menghadapi perang, bukan untuk penegakan hukum.
Pemberian kewenangan penangkalan dan penindakan tindak pidana terorisme di dalam negeri dengan alasan menghadapi ancaman terorisme kepada presiden, objek vital dan lainnya (Pasal 9 draf Perppres) akan merusak mekanisme criminal justice sistem.
Tak hanya itu, adanya tugas penangkalan dan penindakan yang bersifat mandiri (bukan perbantuan) untuk mengatasi kejahatan tindak pidana terorisme di dalam negeri, dipandang akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan tugas antara militer dengan kelembagaan negara lainnya yakni dengan BNPT, aparat penegak hukum dan lembaga intelijen negara itu sendiri.
“Hal ini justru akan membuat penanganan terorisme menjadi tidak efektif karena terjadi overlapping fungsi dan tugas antar kelembagaan negara,” lanjut Al Araf.
Dia mengatakan pola penanganan terorisme dengan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada TNI, sebagaimana dimaksud dalam draf perpres tersebut akan membuka ruang dan potensi collateral damage yang tinggi, cenderung represif, stereotyping (stigmatisasi).
"Sehingga menjadi ancaman serius bagi HAM dan kehidupan demokrasi di Indonesia,” sambungnya.
Terpisah, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM Dr. Najib Azca MA PhD mengemukakan, dalam petisi itu mendesak kepada parlemen agar meminta pemerintah untuk memperbaiki draf perpres itu secara lebih baik dan benar karena secara substansi memiliki banyak permasalahan.
Di sisi lain, kata dia mengingatkan, Presiden Jokowi perlu hati-hati membuat perpres tentang pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme.
Selain Al Araf dan Najib Azca, sejumlah aktivis, tokoh masyarakat, dan akademisi yang turut menandatangani petisi itu di antaranya, Guru Besar Fisipol UGM Prof Mochtar Mas'oed, Guru Besar FH UGM Prof Sigit Riyanto, Alissa Wahid (putri almarhum Gus Dur), dosen FISIP UI Nur Iman Subono, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid, dan dosen Universitas Paramadina Dr. Phil Shiskha Prabawaningtyas. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy