jpnn.com, JAKARTA - Seseorang rentan terkena penyakit cacar api atau herpes zoster (HZ) di masa pandemi COVID-19.
Demikian dikemukakan pakar penyakit kulit dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI), Anthony Handoko.
BACA JUGA: 5 Tips Bagi UMKM Agar Dagangan Laris Manis saat Ramadan
"Pada masa pandemi yang sudah berlangsung lebih dari 1 tahun ini, secara umum kita cenderung mengalami penurunan daya tubuh akibat stres psikis, serta kelelahan yang berkepanjangan untuk selalu waspada terhadap COVID-19."
"Maka, sangatlah mungkin seseorang lebih mudah terkena HZ pada masa ini," kata CEO Klinik Pramudia itu dalam keterangan tertulisnya.
BACA JUGA: Varian Baru Dazzling Series: Solusi Wajah Lembut, Cantik dan Bercahaya
Dia mengatakan, mereka yang pernah terkena cacar air juga berisiko besar mengalami HZ apabila memiliki daya tahan tubuh lemah.
Seperti, lansia, penderita HIV/AIDS, pasien transplantasi organ, penderita kanker, stres psikis, pasien pasca operasi dan pasien yang minum obat-obatan dengan efek dapat menekan sel imun tubuh.
BACA JUGA: Bunda Harus Tahu, Penyakit Mematikan ini juga Menyerang Anak-anak
Menurut Anthony, fokus pencegahan terhadap HZ yaitu meningkatkan imunitas tubuh secara umum, serta menghindari kontak terhadap virus dari penderita HZ.
Dari sisi penularan, HZ yang disebabkan virus varicella zoster (VZV) ditularkan melalui pertukaran napas dan kontak dengan lesi atau gejala di kulit.
Penularan HZ terjadi ketika ada kontak langsung dengan cairan pada lepuhan ruam yang dialami penderita.
Apabila terinfeksi, mereka akan terkena cacar air, bukan herpes zoster. Lalu virus itu bisa berkembang sewaktu-waktu menjadi Herpes Zoster.
Masa inkubasi setelah pertama kali kontak hingga timbulnya lesi di kulit sekitar 10 hingga 21 hari.
"HZ terutama terjadi pada kelompok usia 45-64 tahun. Namun, saat ini tren kasus HZ cenderung terjadi pada usia yang lebih muda dan lebih sering terjadi pada wanita. Kira-kira 30 persen populasi pernah mengalami HZ semasa hidupnya," tutur Anthony.
Gejala HZ biasanya tidak spesifik. Sebelum muncul tanda nyata pada kulit (ruam merah dan lenting berisi air) biasanya hanya berupa rasa lelah, sakit kepala dan lemas (disebut gejala pro-dormal) yang berlangsung selama 1-5 hari.
"Bagi sebagian besar orang, rasa nyeri akan berkurang dengan menghilangnya ruam, namun bagi beberapa orang, HZ dapat menyebabkan komplikasi seperti rasa nyeri yang menetap yang dikenal dengan istilah Neuralgia Paska Herpes (NPH."
"Komplikasi ini muncul sebagai akibat rusaknya serabut syaraf akibat dari aktivitas virus yang berulang," tutur Anthony.
Dampak HZ pada kualitas hidup seseorang dikatakan hampir setara kesulitannya dengan dampak yang ditimbulkan penyakit gagal jantung, diabetes, serangan jantung dan depresi, salah satunya akibat rasa nyeri berkepanjangan atau NPH.
Selain NPH, komplikasi yang juga bisa timbul adalah kehilangan pengelihatan jika HZ terjadi di sekitar mata, masalah neurologis seperti radang otak dan kelumpuhan wajah, dan infeksi kulit berkepanjangan.
Tetapi, apabila diobati secara cepat dan tepat, harapan kesembuhan HZ akan meningkat.
Saat ini, terapi HZ dikenal dengan strategi 6A yakni Attract patient early (deteksi dini), Asses patient fully (menilai kondisi pasien secara lengkap).
Kemudian, Antiviral therapy (obat anti virus), Analgetik (obat anti nyeri), Antidepressant/anticonvulsant (obat anti deperesi/kejang) dan Allay anxieties-counselling (informasi dan edukasi konseling).
Selain 6A tersebut, diberikan terapi topikal (obat oles) dan terapi suportif, seperti istirahat yang cukup dan menjaga kebersihan, anjuran agar pasien tidak menggaruk dan menggunakan pakaian yang longgar untuk kenyamanan.(Antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang