Republik Tropis Jadi Desain Scraf Limited Edition

Selasa, 06 Agustus 2013 – 12:59 WIB
KREATIF: Karya karya Eko Nugroho yang unik mengantarkan seniman yang diakui dunia. Foto Dok Pribadi for Jawa Pos/JPNN

jpnn.com - Brand fashion mashur, Louis Vuitton, kepincut pada lukisan karya Eko Nugroho, perupa asal Jogjakarta. Gambar goresan Eko pun dijadikan bagian dari desain produk scarf keluaran perusahaan fashion asal Italia itu.

UMA NADHIF KHOLIFATIN, Jogjakarta

BACA JUGA: Gabungkan Lezat dan Sehat, Banjir Order dari Brand Terkemuka

Bagi Eko Nugroho, 36, seni rupa adalah darah daging hidupnya. Paling tidak, sudah 20 tahun dia menggeluti seni visual itu. Ratusan karya telah dihasilkan. Mulai lukisan, patung, hingga komik.Melalui karya-karyanya, Eko berpetualang mengelilingi dunia. Bukan hanya berpelesir, tapi memamerkan apa yang telah dibuat dengan sepenuh jiwa.

Berbagai pameran pun pernah dia ikuti, baik pameran bersama maupun tunggal.Tidak hanya tingkat lokal dan nasional, Eko juga kerap tampil di event-event pameran internasional. Akhirnya dia bisa mengharumkan nama Indonesia melalui karyanya.

BACA JUGA: Mengunjungi Penderita Kusta yang Mengucilkan Diri

Perusahaan fashion dunia, Louis Vuitton (LV), meminangnya untuk mendesain koleksi fall and winter 2013-2014.Selain Eko, ada dua seniman terpilih yang terlibat dalam proyek tersebut. Mereka adalah Eine dari Inggris dan El Seed dari Prancis.

Tepatnya Januari lalu, pria kelahiran 4 Juli 1977 itu memperoleh kabar dari manajemen LV di Paris. Melalui surat elektronik pihak LV menyampaikan ketertarikannya terhadap karya Eko. Mereka langsung menawari Eko untuk turut menyumbang karyanya yang diwujudkan dalam produk LV.

BACA JUGA: Ranomi Kromowidjojo, Ratu Renang Belanda Keturunan Jawa

"Bahagia sekali mendapat tawaran itu. Tentu itu tidak pernah saya bayangkan," tutur alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta saat ditemui Jawa Pos di kawasan Malioboro, Jogjakarta, Rabu pekan lalu (31/7).

Eko mengaku tidak tahu mengapa pihak LV memilih karyanya menjadi bagian dalam proyek tersebut. Sebab, tidak ada proses seleksi yang harus diikutinya. Begitu mendapat tawaran, dia langsung mengirimkan lukisannya. Apalagi, pihak LV juga tidak menyodorkan tema tertentu kepada Eko. LV benar-benar memberikan kemerdekaan untuk kreativitas sang seniman.

Eko menduga, pihak LV mengetahui karyanya saat dirinya mengikuti pameran di Paris. Tahun lalu Eko memang mondar-mandir Jogja-Paris untuk menggarap beberapa proyek pameran di kota mode tersebut. Di antaranya, pameran bersama 11 perupa Indonesia Trans-Figuration di Espace Cultur Louis Vuitton, Project Art Residency di SAM Art Project, pameran tunggal di Musee d'art Moderne de la ville de Paris.

Eko mengajukan enam lukisan kepada LV. Semuanya mengusung kekayaan alam dan budaya Indonesia. Setelah itu, Maret lalu, dia diundang meeting dengan pihak LV di Hongkong. Rapat itu membahas pemilihan lukisan yang disodorkan Eko. Akhirnya pihak LV memilih lukisan yang berjudul Republik Tropis.

"Republik Tropis merupakan gambaran saya tentang Indonesia. Saya menggabungkan banyak motif bunga, karang laut, makanan, topeng, dan warna-warni yang beragam. Ya, inilah Indonesia, Republik Tropis yang kaya dengan warna budaya dan tradisi yang beragam. Keberagaman yang menunjukkan sikap demokratis yang dijunjung bangsa ini," ujar pria yang setia dengan rambut gondrongnya itu.

Setelah lukisan dipilih, pengerjaan scraf dilakukan di Italia. Meski begitu, Eko tetap bisa memantaunya lewat komunikasi dengan tim LV di Paris. Juni lalu pihak LV mengirim rancangan scarf itu ke Jogja. Sebulan kemudian, pada 23 Juli, scarf itu pun jadi dan di-launching di Indonesia.

Desain bertajuk Republik Tropis tersebut diwujudkan dalam bentuk scarf berbahan sutra crepe dengan ukuran 136 x 136 cm. Scraf itu hanya diproduksi 500 helai di dunia. Ya, LV memang menjadikan scraf itu koleksi terbatas.

Saat ditanya mengenai reward yang diberikan pihak LV, perupa yang pernah mengadakan pameran tunggal Threat As a Flavour di Arndt, Berlin, Jerman, tahun lalu itu enggan menjawabnya. Eko mengatakan, kesempatan yang diberikan LV merupakan hal yang tidak ternilai harganya.

"Apresiasi LV itu tidak didapatkan oleh setiap seniman. Maka, betapa bangganya saya bisa mengenalkan karya kepada dunia," ucapnya.

Wajar saja rasa bangga dan bahagia begitu membuncah pada dirinya. Sebab, apa yang didapat Eko merupakan sebuah proses panjang dalam hidupnya. Dia memulai karir dari nol. Dari seniman yang suka menggambar di dinding (mural), poster, hingga komik. Eko sangat menyukai dunia seni visual. Bahkan, hampir bisa dibilang dia selalu mengawali segalanya dengan menggambar.

"Visualisasi memang sangat memengaruhi saya daripada tulisan. Visualisasi bisa menggambarkan apa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata," terang suami Mita Ratna Harjanti itu.

Jika ditilik ke masa lalu, Eko mengungkapkan, profesi seniman bukanlah cita-citanya. Seperti layaknya anak-anak,saat kecil Eko ingin menjadi pilot. Namun, menginjak SMP dia menyukai komik. Bahkan, dia mulai membuat komik sendiri. Saat SMA pun dia�memilih Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Jogjakarta untuk menyalurkan kegemarannya itu. Begitu pula ketika dia melanjutkan kuliah di ISI Jogjakarta.

Dia mengaku pilihan itu sangat didukung orang tua. "Orang tua saya demokratis. Mereka membebaskan anak-anaknya memilih yang terbaik," kata pria yang sebulan lalu berusia 36 tahun itu. Eko mengaku di tubuhnya tak mengalir darah seni dari orang tuanya. Ayahnya pegawai swasta, sedangkan ibunya hanya di rumah.

Sembilan tahun kuliah, Eko banyak mengadakan pameran. "Tidak terhitung berapa pameran yang pernah diikutinya. Mungkin sudah ratusan pameran saya ikuti," ujar peraih Academy Art Award for Emerging Artis dari kampusnya itu.

Pameran pertama di luar negeri diikuti Eko saat Art Residency di Fukuoka Asian Art Museum, Jepang. Proyek tersebut bekerja sama dengan Cemeti Art House, sebuah rumah seni di Jogja.

Dalam berkarya, Eko tidak ingin sendirian. Dia selalu mendorong orang-orang di sekelilingnya untuk memublikasikan karya mereka. Salah satu wujudnya dia membuat media khusus seni rupa The Daging Tumbuh. Sebuah media yang menampung karya siapa pun, diproduksi secara terbatas, dan diedarkan secara underground. Media yang terbit enam bulan sekali itu digagas Eko mulai 2000. Dia meyakini, di Indonesia banyak sekali orang berbakat dengan hasil karya yang menakjubkan. Karena itu, mereka harus dihargai dan diwadahi.

Eko memang sangat peduli dengan regenerasi seni di Indonesia. Sebagai seniman dia termasuk yang terbuka pemikirannya. Selain menjadikan budaya tradisional sebagai inspirasi utama, dia mengolahnya dengan budaya pop sehingga karyanya diwarnai lukisan atau gambar yang bergaya pop art.

Meski karyanya telah mendunia, dalam benak Eko tidak pernah terlintas keinginan untuk meninggalkan Indonesia demi mengejar karir internasional.

"Saya tidak akan meninggalkan Indonesia. Saya akan tetap tinggal di Jogjakarta. Sebab, Indonesia dan Jogja adalah inspirasi saya," katanya.

Menurut dia, Indonesia dan Jogjakarta menyimpan hasil dan fenomena kebudayaan yang tidak bisa disamakan atau ditemukan di negara lain. (*/c2/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Malu Sebut Diri Bang Toyib, Hanya Sempat Tidur Ayam


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler