MENEMBUS pasar Eropa adalah idaman hampir setiap pengusaha. Namun, perempuan asal Kalibutuh, Surabaya, Catharina Oehler, mewujudkan impian itu sejak 15 tahun lalu. Bahkan, dia melakukannya di jantung Eropa, Swiss.
Inilah laporan wartawan Jawa Pos ABDUL ROKHIM yang meliput Pameran Muba 2013 di Basel, Swiss, 22 Februari-3 Maret nanti.
Bagi orang Asia, khususnya Indonesia, butuh kesabaran ekstra untuk tinggal berlama-lama di Basel, Swiss. Bukan karena kota di perbatasan Jerman dan Prancis itu tidak nyaman. Kota tersebut sangat nyaman. Fasilitas publik terawat dengan baik dan pemandangan kota sangat indah.
Masalah yang bisa dianggap sepele tapi serius ada dua. Yakni, suhu dingin yang menusuk tulang serta harus mau berkompromi dengan selera makan. Suhu dingin tentu tidak bisa diubah. Lain lagi dengan soal makanan. Di kota tempat raksasa produsen bahan kimia BASF dan raksasa farmasi Novartis bermarkas tersebut, sulit sekali menemukan dan membuat makanan yang kaya bumbu seperti di negara-negara Asia, khususnya Indonesia.
Masalah itulah yang dihadapi Catharina Oehler, 39, pada awal-awal tinggal di Basel. Sebagai perempuan yang pintar memasak, membuat dan menikmati makanan penuh bumbu adalah obsesinya tiap hari. Namun, apa daya, kondisi sekitar yang tidak ada bahan bumbu penuh rasa dan makanan olahan yang sesuai selera membuat semua keinginan itu harus ditahan.
"Di sini kena biji cabai sebutir saja pada nggak tahan," ungkap Catharina yang saat ditemui sedang melayani pembeli masakannya di kedai makanan stan paviliun Indonesia di Muba 2013, Rabu (27/2).
Memang ada alternatif makan di kedai makanan Asia seperti kedai makanan Turki, Thailand, India, atau restoran Tiongkok. Namun, hal itu tidak bisa dilakukan setiap hari. "Harganya mahal, lagian pedasnya tidak seenak makanan dari Indonesia," ungkapnya.
Untunglah, Andy Oehler, suami dan orang yang membuat Catharina rela pindah benua, dengan sabar meladeni kegusaran Catharina.
Teknisi mesin yang pernah melayani pasar di beberapa negara Asia itu tidak pernah memaksa selera makan dan keahlian masak istrinya berubah agar sesuai dengan selera dirinya yang asli Swiss. Andy justru memotivasi dan membantu istrinya agar terus memasak sesuai dengan selera lidah Indonesia.
"Bahkan, dia (Andy) menyuruh saya coba-coba untuk memasak ala Indonesia tidak hanya untuk keluarga, namun juga buat orang lain," kenang Catharina yang sebelum ke Swiss sempat mengenyam pendidikan di SMA St Louis, Surabaya, tersebut.
Dari situlah Catharina mulai menimbang-nimbang untuk berbisnis kuliner di Swiss. Dia yakin, di antara sekitar 2.000 warga negara Indonesia (WNI) di Swiss dan puluhan ribu warga Asia lainnya, pasti banyak yang memiliki masalah yang sama dengan dirinya. Yakni, sulit mendapat makanan yang sesuai selera Asia yang berbumbu dan bercitarasa kuat.
"Saya mulai berpikir, potensi pasar makanan bercitarasa Indonesia dan Asia sangat besar. Demand-nya tinggi. Kini masalahnya tinggal bagaimana mendapatkan suplai bahan baku untuk makanan yang berkualitas dan harganya terjangkau," ungkapnya.
Soal kualitas memang tidak bisa ditawar-tawar di Swiss. Rakyat negeri pusat cokelat dan keju itu rela membayar lebih mahal dengan satu syarat: kualitas harus nomor satu. Satu lagi yang membuat Catharina tidak berani berkompromi dengan standar mutu adalah ketegasan Lebensmittel Controller (badan kesehatan pengawas makanan, seperti BPOM di Indonesia, Red) dalam mengawasi standar makanan yang sehat.
"Karena saya mengandalkan jaringan pemasok dari Indonesia, tidak ada pilihan lain selain harus sangat hati-hati saat mendatangkan produk makanan dan bahan makanan," ujarnya.
Menurut Catharina, mendatangkan bahan makanan dan makanan olahan dari Indonesia lebih sering bermasalah di tanah air daripada di Swiss. "Di sini (Swiss, Red) semua aturan jelas. Pilihannya satu, patuhi atau kena denda karena melanggar aturan. Nggak ada nego-nego. Tak ada kompromi," tegasnya.
Sementara itu, di Indonesia, ada beberapa produk "meski diproduksi perusahaan besar, bahkan berskala internasional" yang masih saja sering diketahui tidak mengandung bahan yang sesuai dengan yang tercantum di kemasannya.
"Lebensmittel Controller selalu tahu karena mereka selalu mengontrol. Baik dengan meminta sampel dari kami maupun diam-diam membeli dari kami dan memeriksanya," jelas Catharina.
Kontrol itu biasanya dilakukan 2"3 kali setahun, namun kedatangannya tak bisa diduga. Petugas Lebensmittel Controller kadang datang saat pembeli lagi ramai di stan makanan.
"Makanan yang diketahui tidak disimpan di freezer dengan suhu yang tepat, tidak terbungkus dengan bahan yang sesuai, atau disajikan dengan terbuka, pasti langsung kena tegur," ungkapnya.
Catharina yang sebelum ikut suami ke Swiss sempat bekerja di operator seluler Metrosel pada 1998 itu mengaku pernah rugi karena kurang hati-hati. "Beberapa produk mi instan tidak bisa masuk karena dianggap mengandung zat pewarna yang tidak memenuhi standar. Jumlahnya tidak banyak sih. Namun, sejak itu saya ekstrahati-hati," ungkapnya.
Beberapa makanan dan minuman yang sering didatangkan Catharina, selain mi instan, adalah kerupuk, bir, kecap, saus, dan bahan-bahan bumbu dapur kemasan. Agar standarnya terjamin, dia membeli makanan dan minuman itu dari pabriknya langsung.
"Memang ada permintaan makanan seperti sambal atau bumbu terkenal milik sebuah restoran di Surabaya, namun sulit kami penuhi karena kemasannya sulit dijamin higienitasnya," ungkapnya.
Masalah lain yang juga dirasakan Catharina mengganggu bisnisnya adalah kurangnya kepercayaan dari produsen makanan dan minuman di Indonesia terhadap penyalur di Eropa. "Saya berani bayar langsung, bahkan pengapalannya juga siap saya bayar. Tapi, tetap saja mereka tidak mau membuka perwakilan atau mempercayai saya sebagai distributornya di Eropa," keluhnya.
Akibatnya, dia harus membeli dengan order langsung ke pabrik masing-masing produk yang dicari. "Biayanya tidak selisih banyak. Cuma, sepertinya tidak efisien," ujarnya.
Beberapa perusahaan besar pernah menanggapi keluhannya. Namun, mereka memasang target minimal pembelian. "Ada yang minta harus habis satu kontainer dalam sebulan. Wah, ya sulit sekali kami penuhi," tuturnya.
Meski, diakui Catharina, berbisnis kuliner di Swiss terkesan ribet, dia bersama suami cukup bangga atas hasil yang dicapai selama ini. Dengan mengibarkan bendera usaha "Pasar Indonesia", usaha kuliner Catharina cukup dikenal warga Basel. Tidak hanya di kalangan WNI. Bahkan, "Pasar Indonesia" mulai merambah kota-kota lain di Swiss seperti Zurich, Bern, dan Jenewa. Perkembangan usaha itu tentu saja diikuti penambahan karyawan.
"Saya sekarang dibantu 12 orang dan ada staf di Indonesia yang bertugas mencari pemasok pesanan dari Swiss," ungkapnya.
Target market "Pasar Indonesia" juga tidak terbatas lagi pada acara-acara yang diselenggarakan KBRI atau warga Indonesia, namun mulai meluas untuk pasar umum.
"Kami bersyukur karena sering saya lihat usaha kuliner yang dijalankan orang Indonesia atau warga pendatang lain sulit bertahan lama. Jika 1-2 tahun bisa eksis, tentu manajemennya hebat. Sedangkan kami bisa bertahan hingga 15 tahun dan semoga bisa terus berkembang," harap Catharina bangga. (*/c5/ari)
Inilah laporan wartawan Jawa Pos ABDUL ROKHIM yang meliput Pameran Muba 2013 di Basel, Swiss, 22 Februari-3 Maret nanti.
Bagi orang Asia, khususnya Indonesia, butuh kesabaran ekstra untuk tinggal berlama-lama di Basel, Swiss. Bukan karena kota di perbatasan Jerman dan Prancis itu tidak nyaman. Kota tersebut sangat nyaman. Fasilitas publik terawat dengan baik dan pemandangan kota sangat indah.
Masalah yang bisa dianggap sepele tapi serius ada dua. Yakni, suhu dingin yang menusuk tulang serta harus mau berkompromi dengan selera makan. Suhu dingin tentu tidak bisa diubah. Lain lagi dengan soal makanan. Di kota tempat raksasa produsen bahan kimia BASF dan raksasa farmasi Novartis bermarkas tersebut, sulit sekali menemukan dan membuat makanan yang kaya bumbu seperti di negara-negara Asia, khususnya Indonesia.
Masalah itulah yang dihadapi Catharina Oehler, 39, pada awal-awal tinggal di Basel. Sebagai perempuan yang pintar memasak, membuat dan menikmati makanan penuh bumbu adalah obsesinya tiap hari. Namun, apa daya, kondisi sekitar yang tidak ada bahan bumbu penuh rasa dan makanan olahan yang sesuai selera membuat semua keinginan itu harus ditahan.
"Di sini kena biji cabai sebutir saja pada nggak tahan," ungkap Catharina yang saat ditemui sedang melayani pembeli masakannya di kedai makanan stan paviliun Indonesia di Muba 2013, Rabu (27/2).
Memang ada alternatif makan di kedai makanan Asia seperti kedai makanan Turki, Thailand, India, atau restoran Tiongkok. Namun, hal itu tidak bisa dilakukan setiap hari. "Harganya mahal, lagian pedasnya tidak seenak makanan dari Indonesia," ungkapnya.
Untunglah, Andy Oehler, suami dan orang yang membuat Catharina rela pindah benua, dengan sabar meladeni kegusaran Catharina.
Teknisi mesin yang pernah melayani pasar di beberapa negara Asia itu tidak pernah memaksa selera makan dan keahlian masak istrinya berubah agar sesuai dengan selera dirinya yang asli Swiss. Andy justru memotivasi dan membantu istrinya agar terus memasak sesuai dengan selera lidah Indonesia.
"Bahkan, dia (Andy) menyuruh saya coba-coba untuk memasak ala Indonesia tidak hanya untuk keluarga, namun juga buat orang lain," kenang Catharina yang sebelum ke Swiss sempat mengenyam pendidikan di SMA St Louis, Surabaya, tersebut.
Dari situlah Catharina mulai menimbang-nimbang untuk berbisnis kuliner di Swiss. Dia yakin, di antara sekitar 2.000 warga negara Indonesia (WNI) di Swiss dan puluhan ribu warga Asia lainnya, pasti banyak yang memiliki masalah yang sama dengan dirinya. Yakni, sulit mendapat makanan yang sesuai selera Asia yang berbumbu dan bercitarasa kuat.
"Saya mulai berpikir, potensi pasar makanan bercitarasa Indonesia dan Asia sangat besar. Demand-nya tinggi. Kini masalahnya tinggal bagaimana mendapatkan suplai bahan baku untuk makanan yang berkualitas dan harganya terjangkau," ungkapnya.
Soal kualitas memang tidak bisa ditawar-tawar di Swiss. Rakyat negeri pusat cokelat dan keju itu rela membayar lebih mahal dengan satu syarat: kualitas harus nomor satu. Satu lagi yang membuat Catharina tidak berani berkompromi dengan standar mutu adalah ketegasan Lebensmittel Controller (badan kesehatan pengawas makanan, seperti BPOM di Indonesia, Red) dalam mengawasi standar makanan yang sehat.
"Karena saya mengandalkan jaringan pemasok dari Indonesia, tidak ada pilihan lain selain harus sangat hati-hati saat mendatangkan produk makanan dan bahan makanan," ujarnya.
Menurut Catharina, mendatangkan bahan makanan dan makanan olahan dari Indonesia lebih sering bermasalah di tanah air daripada di Swiss. "Di sini (Swiss, Red) semua aturan jelas. Pilihannya satu, patuhi atau kena denda karena melanggar aturan. Nggak ada nego-nego. Tak ada kompromi," tegasnya.
Sementara itu, di Indonesia, ada beberapa produk "meski diproduksi perusahaan besar, bahkan berskala internasional" yang masih saja sering diketahui tidak mengandung bahan yang sesuai dengan yang tercantum di kemasannya.
"Lebensmittel Controller selalu tahu karena mereka selalu mengontrol. Baik dengan meminta sampel dari kami maupun diam-diam membeli dari kami dan memeriksanya," jelas Catharina.
Kontrol itu biasanya dilakukan 2"3 kali setahun, namun kedatangannya tak bisa diduga. Petugas Lebensmittel Controller kadang datang saat pembeli lagi ramai di stan makanan.
"Makanan yang diketahui tidak disimpan di freezer dengan suhu yang tepat, tidak terbungkus dengan bahan yang sesuai, atau disajikan dengan terbuka, pasti langsung kena tegur," ungkapnya.
Catharina yang sebelum ikut suami ke Swiss sempat bekerja di operator seluler Metrosel pada 1998 itu mengaku pernah rugi karena kurang hati-hati. "Beberapa produk mi instan tidak bisa masuk karena dianggap mengandung zat pewarna yang tidak memenuhi standar. Jumlahnya tidak banyak sih. Namun, sejak itu saya ekstrahati-hati," ungkapnya.
Beberapa makanan dan minuman yang sering didatangkan Catharina, selain mi instan, adalah kerupuk, bir, kecap, saus, dan bahan-bahan bumbu dapur kemasan. Agar standarnya terjamin, dia membeli makanan dan minuman itu dari pabriknya langsung.
"Memang ada permintaan makanan seperti sambal atau bumbu terkenal milik sebuah restoran di Surabaya, namun sulit kami penuhi karena kemasannya sulit dijamin higienitasnya," ungkapnya.
Masalah lain yang juga dirasakan Catharina mengganggu bisnisnya adalah kurangnya kepercayaan dari produsen makanan dan minuman di Indonesia terhadap penyalur di Eropa. "Saya berani bayar langsung, bahkan pengapalannya juga siap saya bayar. Tapi, tetap saja mereka tidak mau membuka perwakilan atau mempercayai saya sebagai distributornya di Eropa," keluhnya.
Akibatnya, dia harus membeli dengan order langsung ke pabrik masing-masing produk yang dicari. "Biayanya tidak selisih banyak. Cuma, sepertinya tidak efisien," ujarnya.
Beberapa perusahaan besar pernah menanggapi keluhannya. Namun, mereka memasang target minimal pembelian. "Ada yang minta harus habis satu kontainer dalam sebulan. Wah, ya sulit sekali kami penuhi," tuturnya.
Meski, diakui Catharina, berbisnis kuliner di Swiss terkesan ribet, dia bersama suami cukup bangga atas hasil yang dicapai selama ini. Dengan mengibarkan bendera usaha "Pasar Indonesia", usaha kuliner Catharina cukup dikenal warga Basel. Tidak hanya di kalangan WNI. Bahkan, "Pasar Indonesia" mulai merambah kota-kota lain di Swiss seperti Zurich, Bern, dan Jenewa. Perkembangan usaha itu tentu saja diikuti penambahan karyawan.
"Saya sekarang dibantu 12 orang dan ada staf di Indonesia yang bertugas mencari pemasok pesanan dari Swiss," ungkapnya.
Target market "Pasar Indonesia" juga tidak terbatas lagi pada acara-acara yang diselenggarakan KBRI atau warga Indonesia, namun mulai meluas untuk pasar umum.
"Kami bersyukur karena sering saya lihat usaha kuliner yang dijalankan orang Indonesia atau warga pendatang lain sulit bertahan lama. Jika 1-2 tahun bisa eksis, tentu manajemennya hebat. Sedangkan kami bisa bertahan hingga 15 tahun dan semoga bisa terus berkembang," harap Catharina bangga. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Takut Dirasuki, Kalau Besar Ingin jadi Polisi
Redaktur : Tim Redaksi