Bidenflation

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 19 Juli 2022 – 19:43 WIB
Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Foto: AP/Carolyn Kaster

jpnn.com - Sudah jatuh tertimpa tangga dan tertimpa rumah yang ambruk. 

Peribahasa Indonesia menggambarkan penderitaan ganda yang menimpa seseorang dengan sebutan ‘’sudah jatuh tertimpa tangga pula’’. 

BACA JUGA: Sri Mulyani Sebut Potensi Resesi Sangat Nyata, Tenang ya, RI Punya 2 Strategi

Akan tetapi, ada yang lebih buruk lagi, sudah jatuh, tertimpa tangga, lalu tertimpa rumah yang ambruk.

Kondisi ekonomi dunia sekarang diibaratkan seperti sudah jatuh tertimpa tangga.

BACA JUGA: Ada Ancaman Resesi Akibat Inflasi, Sultan Minta Pemerintah Turunkan Pajak

Mungkin bagi komedian hal itu bisa menjadi bahan lawakan yang lucu. 

Akan tetapi, penderitaan ganda itu bukan candaan. 

BACA JUGA: Resesi Seks

Ancaman itu serius sedang mengadang ekonomi dunia.

Selama 2 tahun seluruh dunia jatuh gegara pandemi Covid-19. 

Dalam sejarah dunia, baru kali ini ada pagebluk yang menular ke seluruh pojok dunia. 

Nyaris tidak ada satu pun negara di dunia yang kedap terhadap serangan virus itu. 

Benua Afrika yang kabarnya kebal terhadap virus itu pun sebenarnya ikut terjangkit. 

Akan tetapi, Afrika merasa biasa-biasa saja karena selama ini sudah menjadi langganan virus-virus yang lebih menyeramkan seperti AIDS dan Ebola.

Welcome to globalization. Selamat datang globalisasi. 

Inilah pengalaman nyata kita terhadap globalisasi. 

Bukan cuma barang dan jasa yang mengalir ke seluruh dunia tanpa ada pembatasan dan hambatan, penyakit sejenis virus yang besarnya seperseribu titik di ujung kalimat ini bisa membuat orang seluruh dunia ketularan dan tunggang langgang.

Pandemi sudah hampir berlalu, tetapi tangga yang kita naiki jatuh lagi, dan kita tertimpa tangga. 

Malah kali ini bisa-bisa rumah besar kita ambruk, atau paling tidak rontok gentingnya dan menimpa kita sampai babak belur.

Perang Rusia vs Ukraina adalah perang yang saling menghancurkan rumah tetangga. 

Akan tetapi, berkah dan bencana globalisasi akan menyebabkan perang itu membawa derita ke seluruh dunia, karena perang itu akan membuat pertumbuhan ekonomi seluruh dunia macet. Kalau pertumbuhan ekonomi macet, maka dunia masuk ke jurang resesi.

Resesi selalu dikaitkan dengan ‘’jurang’’. Masuk periode resesi disebut sebagai masuk jurang resesi, seolah-olah kalau sudah masuk jurang akan susah bangkit, atau mustahil bangkit karena sudah mati. 

Padahal kondisinya tidak seburuk itu. Secara definisi, resesi terjadi ketika ekonomi tumbuh negatif alias minus selama dua tahun berturut-turut. 

Para pengelola ekonomi dunia sangat memuja pertumbuhan ekonomi dan menjadikannya sebagai satu-satunya indikator kemajuan. 

Satu hal lagi yang paling ditakuti yaitu kenaikan harga atau inflasi, yang selalu dihindari dengan penuh ketakutan seperti melihat hantu di siang bolong.

Perang Rusia vs Ukraina adalah perang antar-tetangga yang berebut batas tanah yang disengketakan. 

Seharusnya perang ini skalanya kecil karena persoalannya sederhana. 

Rusia bisa disebut sebagai mantan tuan tanah yang sekarang tanahnya mulai berkurang. 

Semasa menjadi Uni Soviet negara-negara kecil di sekitarnya dicaplok dan diambil tanahnya. 

Sekarang setelah Uni Soviet runtuh tanah-tanah itu direbut kembali oleh pemiliknya yang sah.

Rusia tidak keberatan dengan perkembangan itu, akan tetapi--sebagaimana bekas orang kaya di mana-mana--selalu mengalami gejala jiwa yang disebut sebagai post power syndrome, sindrom paska-kuasa, setelah tidak lagi berkuasa. 

Disebut sebagai sindrom karena penyakit ini dialami oleh hampir semua orang yang pernah berkuasa tetapi kemudian pensiun.

Meskipun pensiunnya baik-baik, banyak yang terjangkit sindrom. 

Apalagi yang pensiunnya dipaksa atau dipecat, pasti sindromnya akan menjadi-jadi. 

Itulah yang terjadi dengan Rusia yang menjadi sensi setelah Uni Soviet ambruk. 

Ukraina sebagai tetangga baru yang lebih kecil merasa bosan dengan Rusia, dan karenanya mau pindah ke lain hati dan main mata dengan NATO, Pakta Pertahanan Atlantik Utara.

Rusia gerah oleh ulah Ukraina. Menjadi anggota NATO sama saja dengan meletakkan moncong bedil di tengkuk Rusia. 

Apalagi Rusia--yang masih menyimpan sisa-sisa perang dingin setengah abad—pasti tidak rela bekas wilayah kekuasaannya diambil alih oleh Amerika dan Eropa yang menjadi seteru bebuyutannya.

Perang tidak terhindarkan. Sudah ada yang memprediksi bahwa perang ini akan menjadi pemicu Perang Dunia Ketiga. 

Amerika dan Eropa menyadari hal itu dan berusaha menghindarinya dengan tidak mengirim tentara langsung ke palagan perang. 

Sebagai gantinya, Amerika melakukan proxy war, perang proksi melalui perang ekonomi.

Amerika dan sekutunya menyita dan membekukan aset-aset Rusia yang ada di Eropa dan Amerika. 

Rusia juga diisolasi dan dikucilkan dengan menghentikan hubungan dagang. 

Maunya supaya Rusia cepat menyerah dan berhenti membully Ukraina. 

Alih-alih perang berhenti, malah berkepanjangan sampai hampir setengah tahun dan belum ada tanda-tanda akan ada perdamaian.

Amerika sudah kapok kalah perang. Di Vietnam pada 1970-an Amerika dipermalukan sampai akhirnya harus pulang sambil menahan malu. 

Di Afghanistan. Amerika dengan gagah perkasa masuk untuk mengusir Taliban dari negerinya sendiri. 

Sepuluh tahun menjadi satpam di negeri orang, Amerika akhirnya harus terbirit-birit lari tanpa mau menoleh lagi.

Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada Agustus 2021 memutuskan untuk menarik seluruh pasukannya dari Afghanistan, dan membiarkan Taliban berkuasa. 

Secara ideologis, Biden yang berasal dari Partai Demokrat lebih dekat dengan pendekatan pasifis atau damai dalam kebijakan internasionalnya. 

Sementara pendahulunya, Donald Trump dari Partai Republik lebih dikenal dengan pendekatan perang atau ‘’hawkish’’ dalam hubungan internasional.

Meski demikian, dalam praktiknya sama saja. Kalau sudah menyangkut kepentingan dalam negeri, presiden Amerika mana pun sama saja.

Jimmy Carter yang sekarang memimpin institute perdamaian, dulu juga mengirim tentara ke Iran. 

Semasa kepemimpinan Carter, terjadi Revolusi Iran 1979 yang akhirnya bisa menggulingkan Shah Reza Pahlevi, penguasa Iran yang dianggap sebagai boneka Amerika. 

Pada masa itu terjadi penyanderaan puluhan diplomat Amerika di Kedutaan Besar Teheran sampai 444 hari dan menimbulkan krisis diplomatik terburuk dalam sejarah Amerika.

Joe Biden maunya menghindari perang fisik. Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah perang ekonomi yang akibatnya juga dirasakan di seluruh dunia.

Perang Dunia Ketiga yang melibatkan adu senjata antara Amerika vs Rusia memang tidak terjadi. Akan tetapi, perang ekonomi sekarang ini sama saja dengan Perang Dunia Ketiga di palagan ekonomi.

Amerika berusaha mengisolasi Rusia tapi tidak mempan. Ekspor Rusia dihentikan, tetapi malah Amerika dan Eropa sendiri yang kelabakan. 

Kebutuhan minyak dan energi dunia dari Rusia dan Ukraina hanya sekitar 3 persen, tetapi ketika pasokan itu terhenti ternyata akibatnya terasa di seluruh dunia.

Ekonomi Rusia masih tetap jalan meskipun diblokade dan diembargo oleh Amerika. Rusia masih punya alternatif pasar yang lebih menguntungkan, yaitu pasar China dan India. Tanpa memasok minyak ke Amerika pun ekonomi Rusia masih bisa jalan.

Senjata blokade dan perang ekonomi yang dilakukan Amerika menjadi senjata makan tuan. Sekarang ini justru Amerika yang kelabakan karena ulahnya sendiri. Pertumbuhan ekonomi Amerika mandeg dan terancam resesi. Infalsi sudah mencapai 9,1 persen, angka tertinggi selama 40 tahun terakhir.

Joe Biden menghadapi protes keras di dalam negerinya sendiri. Inflasi ini disebut sebagai ‘’Bidenflation’’, dan Biden dianggap tidak kompeten dalam mengelola ekonomi. Bukan hanya lawan politik Biden yang menilai seperti itu, para pendukungnya dari Partai Demokrat sendiri juga gerah oleh inkompetensi Biden.

Seperti kata pepatah ‘’America sneezes the world catches flu’’, Amerika bersin seluruh dunia akan menggigil karena flu. Amerika yang berulah, seluruh dunia merasakan akibatnya. Kita di Indonesia harus ikut bersiap-siap merasakan akibat resesi

Sudah jatuh tertimpa tangga dan ‘’ketiban’’ rumah yang ambruk. Nasib. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler