Resiko Produk HPTL Jauh Lebih Rendah Dibanding Rokok

Minggu, 19 September 2021 – 03:17 WIB
Ilustrasi orang sedang menggunakan rokok elektrik atau vape. Foto: Natalia Laurens/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama Badan Kesehatan Dunia (WHO) Profesor Tikki Pangestu mengatakan angka perokok di Indonesia saat ini telah mencapai 65 juta jiwa.

Hal ini menurut Tikka mengkhawatirkan, mengingat merokok terkait erat dengan risiko sejumlah penyakit.

BACA JUGA: IndiHome Ajak Masyarakat Unjuk Bakat Seni Budaya Lewat Indonesia Keren

“Semua penyakit tidak menular berkaitan dengan rokok, seperti jantung dan lain-lain. Ini beban besar bagi kesehatan kita,” kata Tikki belum lama ini.

Oleh karena itu, Tikki merekomendasikan solusi alternatif untuk berhenti merokok dalam bentuk penggunaan produk HPTL, seperti rokok elektrik maupun produk tembakau yang dipanaskan, karena telah mengadopsi konsep pengurangan risiko.

BACA JUGA: GBL Lakukan Ekspor Kopi Arabika Perdana ke Arab Saudi

Penggunaan produk-produk tersebut tidak melalui proses pembakaran seperti rokok, sehingga meminimalisasi risiko terhadap kesehatan.

“Pertama, produk ini punya risiko jauh lebih rendah dari rokok. Kedua, produk ini lebih efektif dari nicotine replacement therapy, seperti plester maupun permen karet, untuk mereka yang mau berhenti merokok. Inggris juga sudah menyatakan bahwa produk ini 95% lebih rendah risiko dibandingkan dengan rokok,” ucapnya.

BACA JUGA: Tidak Adil Jika Industri Hasil Tembakau Hanya Dilihat Dari Sisi Kesehatan Saja

Ketiga, negara-negara yang telah mendorong penggunaan produk HPTL seperti Inggris dan Jepang sukses menurunkan angka perokoknya.

Di Inggris, 20 ribu orang berhenti merokok setiap tahunnya.

Sementara di Jepang, selain menurunnya angka perokok, penjualan rokok juga mengalami penurunan hingga 32 persen semenjak produk HPTL mulai diizinkan beredar di negara tersebut.

“Ini hasil survei sangat signifikan. Jumlah perokok turun,” ungkap Tikki.

Agar produk HPTL efektif dalam menurunkan prevalensi merokok di Indonesia, Tikki mengatakan, perlu adanya kampanye edukasi mengenai produk ini dan potensinya bagi perokok dewasa yang ingin berhenti merokok.

Selanjutnya, perokok dewasa harus diberikan kemudahan dalam mengakses produk ini, salah satunya dengan pemberlakuantarif cukai yang proporsional sesuai dengan profil risikonya.

Yang terakhir dan tak kalah penting adalah diperlukan pembatasan akses bagi anak-anak di bawah usia 18 tahun terhadap produk ini.

“Kita harus melihat ini sebagai pelengkap intervensi untuk mengatasi epidemi merokok. Keberhasilan ini tergantung pada kebijakan yang rasional serta efektif dan juga memerlukan kemauan, kemampuan, dan keberanian politik,” kata Tikki.(chi/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler