jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Risk Studies Kusnanto Anggoro menyebut terdapat tiga kegentingan yang memaksa ketika Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
Menurut Kusnanto, syarat pertama keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum berdasarkan UU.
BACA JUGA: Dalami Peran Mekeng, KPK Garap Eni Saragih
Kedua, lanjut Kusnanto, terjadi kekosongan hukum. Selanjutnya, kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama.
Di sisi lain, Kusnanto tidak melihat terpenuhinya tiga syarat ketika sebuah Perppu diterbitkan untuk menganulir Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil revisi.
BACA JUGA: Anak Buah Prabowo Minta Jokowi Berkonsultasi dengan KPK Sebelum Memilih Menteri
"Jelaslah sudah bahwa Perppu tidak cukup beralasan untuk menolak revisi UU KPK," kata Kusnanto dalam keterangan tertulisnya.
Di samping itu, dia menerangkan, usia UU KPK sudah 17 tahun berjalan. Dengan begitu, wajar dilakukan revisi dalam rangka memperkuat kelembagaan dan personalia yang memimpin KPK.
BACA JUGA: Nasir PKS Lebih Setuju Revisi UU KPK Diterapkan Dahulu
Misalnya, muncul Badan Pengawas setelah UU KPK direvisi. Hal itu bertujuan agar KPK tidak sewenang-wenang dalam menjalankan fungsinya. Selain itu, adanya SP3 juga memenuhi prinsip akan hak asasi manusia.
"Karenanya biarkan berlaku terlebih dahulu baru kemudian direvisi melalui judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi," ungkap Kurnanto. (mg10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan