jpnn.com, JAKARTA - Analis politik Pangi Syarwi Chaniago menilai wacana yang menginginkan presiden kembali dipilih MPR merupakan pengkhianatan terhadap agenda reformasi.
Menurut Pangi, salah-satu buah reformasi adalah perubahan mendasar dalam mekanisme pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung. Perubahan ini bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Pengalaman pahit berada di bawah rezim otoriter dengan legitimasi absolut MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah pokok perkaranya.
BACA JUGA: Suhendra Dorong MPR Amendemen UUD 1945 agar Presiden Dapat Dipilih Lebih Dari Dua Kali
MPR ketika itu berubah wujud menjadi stempel kekuasaan, sementara sisi lain presiden menjelma bagai dewa yang antikritik, menjadi feodal seutuhnya. Masyarakat dibungkam dan kebebasan berekspresi dikebiri.
"Perjuangan panjang kaum intelektual dan dukungan dari masyarakat luas akhirnya menumbangkan rezim otoriter beserta perangkat pendukungnya,” ujar Pangi di Jakarta, Jumat (29/11).
BACA JUGA: MPR Sebaiknya Jadikan Rekomendasi PBNU Sebagai Bahan Kajian
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting mengakui transisi dari rezim otoriter ke era domokrasi memang tidak selalu berjalan mulus. Namun, tidak serta-merta menjadi alasan untuk kembali ke fase kelam di bawah sistem yang dulu telah melahirkan otoritarianisme.
Menurut Pangi, komplikasi persoalan pemilu langsung harus diselesaikan dengan pikiran jernih. Bukan reaksioner dengan mengambil jalan pintas, hanya karena malas bersitegang dengan pikiran dan gagal dalam membangun dealetika berpikir.
BACA JUGA: Wacana Pilpres Kembali ke MPR Masih Harus Dikaji
"Indikasi malas berpikir dan gagal dalam berlogika itu tergambar dengan sangat jelas, ketika problematika dan solusi yang ditawarkan tidak nyambung sama-sekali. Jika persoalan politik berbiaya tinggi, politik uang dan keterbelahan publik yang melahirkan konflik menjadi argumen utama untuk menghapus pemilu langsung, maka solusinya bukan serta-merta mengganti sistem," ucapnya.
Pangi mengaku tidak habis pikir, mengapa ada wacana untuk mengembalikan presiden dipilih oleh MPR. Pasalnya, memunculkan wacana itu seakan memperlihatkan mudah lupa sejarah bagaimana di tengah jalan presiden sangat mudah di impeachment/dijatuhkan.
"Presiden dipilih MPR jelas tidak sekuat legitimasi presiden dipilih langsung, dimana tidak mudah menjatuhkan presiden di tengah jalan hanya karena soal like or dislike," tuturnya.
Pangi kemudian mengingatkan pengalaman Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid yang diberhentikan oleh MPR. Menurutnya, hal itu seharusnya cukup menjadi pembelajaran penting betapa rapuhnya legitimasi presiden dipilih melalui mekanisme MPR.
"Masih sangat terbuka solusi dan alternatif lain untuk menekan dan meminimalisir alasan akibat pemilihan langsung yang dipaparkan. Selama upaya perbaikan sistem pemilu belum dilakukan secara optimal, sangat naif sekali rasanya menyalahkan pilihan sistem dan menggantinya dengan sistem lain yang terbukti membawa bangsa ini ke dalam sejarah kelam," katanya.
Pangi khawatir, jangan-jangan pihak yang dulu merasakan nikmatnya kekuasaan dalam sistem otoriter-lah yang mengembuskan wacana pemilihan presiden kembali dilakukan oleh MPR.
"Jangan-jangan mereka yang dulu merasakan nikmatnya kekuasaan dalam sistem otoriter itu sedang menyusun kekuatan, mereka sudah tidak sabar untuk kembali berkuasa," pungkas Pangi.(gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang