Revisi PP 109 Dinilai Sebagai Agenda Asing Untuk Mematikan Industri Hasil Tembakau

Rabu, 20 November 2019 – 22:59 WIB
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), Liga Tembakau, Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) & Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia menolak gagasan revisi PP 109. Foto APTI

jpnn.com, JAKARTA - Komite Nasional Pelestarian Kretek menyuarakan keresahan mereka terkait proses revisi PP 109. 

Di mana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 menyoal tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

BACA JUGA: Para Asosiasi Petani Tembakau Menolak Gagasan Revisi PP 109

Revisi PP 109 dinilai sebagai agenda asing untuk mematikan industri hasil tembakau (IHT) yang menjadi tumpuan penghidupan bagi lebih dari 6 juta masyarakat Indonesia pada 2018. Industri ini berkontribusi lebih dari Rp200 triliun kepada pendapatan negara, yang di antaranya berasal dari cukai IHT.

“Saat ini banyak sekali persoalan yang dihadapi petani tembakau dan pengusaha Sigaret Kretek Mesin (SKT) utamanya terkait aturan. Mulai dari cukai, hingga penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan revisi PP 109. Pemerintah, khususnya Kemenkes sepertinya tidak memikirkan nasib kami dan ratusan ribu pekerja yang bergantung pada pabrikan rokok," kata Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Muhamad Nur Azami.

BACA JUGA: Industri Hasil Tembakau Hidupi Jutaan Masyarakat Indonesia

Semestinya, kata dia, para LSM antirokok tersebut harus cukup kritis mempertanyakan motivasi organisasi asing yang mengucurkan dana jutaan dolar untuk menghancurkan mata pencaharian jutaan masyarakat Indonesia.

Terkait wacana revisi PP 109, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian (Kementan), Agus Wahyudi mengaku khawatir jika pembahasan terus dilakukan tanpa melibatkan instansinya, maka pihaknya akan kesulitan menjalankan program peningkatan produksi tembakau nasional.

BACA JUGA: GEBRAK Minta Pemerintah Atur Produk Tembakau Alternatif

Agus mencatat, sepanjang 2018 lalu jumlah produksi tembakau nasional mencapai 182 ribu ton. Sementara kebutuhan tembakau nasional dari IHT mencapai 320 ribu ton.

“Jadi ada gap cukup besar hampir 140 ribu ton yang ditutup dengan tembakau impor. Ini tentunya menjadi tambahan defisit bagi neraca perdagangan kita. Karena itu Kementan menjalankan program substitusi impor tembakau dengan mendorong produksi dalam negeri melalui kemitraan, sehingga targetnya produksi nasional bisa bertambah 100.000 ton. Jadi sebelum merevisi suatu kebijakan, harus diperhatikan juga multiplier effect-nya kepada seluruh stakeholder terkait,” kata Agus.

Sementara, Kasubdit Industri Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Mogadishu Djati Ertanto mengakui, tidak mudah bagi pemerintah untuk merevisi kebijakan yang berdampak bagi jutaan orang pekerja di IHT.

Dalam catatan Kemenperin, saat ini jumlah pabrikan rokok yang beroperasi di Indonesia mencapai 700-an, mulai dari pabrik skala kecil sampai industri besar yang mempekerjakan sekitar 700 ribuan tenaga kerja. 

Selain itu, jumlah petani tembakau yang memasok kebutuhan bahan baku IHT jumlahnya 500 ribu-600 ribuan orang, ditambah 1 jutaan lebih petani cengkeh.

“Belum lagi masyarakat yang berdagang rokok, dan para pekerja di sektor ritel. Tentu tidak mudah merevisi kebijakan yang akan berdampak pada IHT nasional. Apalagi tahun lalu IHT menyumbang pendapatan negara dalam bentuk cukai sekitar Rp180 triliun dan pajaknya Rp190 triliunan. Jadi hampir 10% APBN kita itu didanai oleh IHT,” jelasnya.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler