jpnn.com, JAKARTA - Perluasan gambar peringatan bahaya merokok dari 40 persen menjadi 90 persen yang dicetuskan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkeu) dinilai hanya akan mematikan industri hasil tembakau.
Hal itu disampaikan Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) Sudarto dalam diskusi Menilik Regulasi Industri Hasil Tembakau di Era Kenormalan Baru belum lama ini.
BACA JUGA: Tarif Cukai SKT tak Naik, Petani Tembakau dan Cengkih Bakal Terlindungi
“Regulasi pemerintah terkait wacana revisi PP 109/2012, membuktikan pemerintah tidak memberikan keadilan kepada pelaku IHT. Pandemi seharusnya memberi peluang bukan memperberat,” kata Sudarto.
Dijelaskan Sudarto, kondisi IHT sebelum munculnya krisis kesehatan sudah berat, ditambah kebijakan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok tiap tahunnya.
BACA JUGA: Vanessa Angel: Sekarang Lebih Mikir sih
Situasi ini yang kemudian mengakibatkan sejumlah pabrik rokok gulung tikar karena barangnya tidak terjual dan berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Kurun 2012-2018 tercatat 544 pabrik rokok tutup se-Indonesia karena kenaikan cukai. Jika satu pabrik memiliki 200 karyawan, maka enam tahun ini terdapat 108 ribu pekerja yang kehilangan mata pencaharian,” jelas Sudarto.
BACA JUGA: Struktur Tarif Cukai Rokok jadi Celah Pengusaha, KPK Minta Harus Lebih Sederhana dan Transparan
Terpisah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro di kesempatan yang berbeda juga menyoroti mengenai kebijakan pemerintah di tengah pandemi dan lebih memprioritaskan mengenai penyerapan tenaga kerja di daerah.
Terlebih, di Bojonegoro industri tembakau merupakan sumber perekonomian masyarakat karena menyerap banyak tenaga kerja.
Apalagi persoalan PHK banyak dialami daerah lain.
“Kami berharap pemerintah pusat bisa menimbang-menimbang terhadap kebijakan yang akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja,” tegas Bupati Bojonegoro Anna Muawanah.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy