jpnn.com - JAKARTA - Rencana Revisi Peraturan Pemerintah nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Komunikasi, serta PP nomor 53 tahun 2000 tentang Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit menuai reaksi.
Praktisi hukum tata negara Margarito Kamis menyatakan, rencana Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melakukan uji publik terhadap dua RPP itu tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
BACA JUGA: Asyikkk, WhatsApp Kini Bisa Video Call
Menurut dia, secara teknis harus melibatkan kementerian lain, seperti Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Pertahanan.
Disamping itu, RPP Nomor 52 dan 53 Tahun 2000 harus melihat segi tidak menganggu keamanan negara, dan isinya tidak boleh melampui atau melabrak Undang-undang, dan normanya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
BACA JUGA: Menguji Kestabilan Jaringan 4G LTE Smartfren di Sungai Musi
"RPP nomor 52 dan 53 Tahun 2000 dari segi prosedur mesti melibatkan partisipasi dan rasional masyarakat, karena telokomunikasi sesuatu yang penting bagi masyarakat," katanya saat Focus Group Discussion "Peninjauan Bersama terhadap Legalitas Penyelenggaraan Uji Publik Mengenai Perubahan PP nomor 52 dan 53 tahun 2000" di Jakarta, Kamis (17/11).
Dia mengatakan pemerintah juga harus melindungi pengguna teknologi. Pemerintah harus berjalan sesuai konstitusi.
BACA JUGA: Epson Luncurkan Tiga Printer Plus Kantor Baru
Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih mengatakan sebaiknya RPP ini ditunda. Menurut dia, sebaiknya revisi terlebih dahulu Undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Kemudian, baru melakukan RPP.
"Seyogyanya perbaiki atau revisi dulu UU-nya," kata dia di kesempatan itu. Setelah itu barulah lakukan konsultasi publik untuk melakukan RPP. Publik boleh memberikan masukan.
Tim Ahli Desk Cyberspace Kemenkopolhukam Marsma TNI Prakoso mengatakan, Indonesia masuk urutan keenam di dunia dalam hal pemakaian telekomunikasi seluler. Karenanya peraturan soal komunikasi yang merupakan alat strategis tidak boleh dilakukan main-main.
"Perlu diingat apabila negara dinyatakan darurat perang maka seluruh komunikasi dapat diambil alih oleh negara untuk kepentingan pertahanan," jelasnya di kesempatan itu.
Dia pun menyatakan RPP 52 dan 53 masih prematur. Menurut dia, ini juga tidak mencerminkan kedaulatan Indonesia di bidang telekomunikasi. "Ini sarat dengan kepentingan bisnis sehingga berpotensi abuse of power," tegasnya.
Kesimpulan FGD yang digelar Journalist of Law Jakarta ini akan disampaikan kepada Kemenkominfo sebagai bahan masukan. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... JBL Hadirkan Sensasi Headphone Nirkabel untuk Sport
Redaktur : Tim Redaksi